Kalimas dalam Ensiklopedia Kearifan Lokal Surabaya

Nama Kalimas sungguh fenomenal. Sungai yang membelah Kota Surabaya menjadi “Brang Kulon” dan “Brang Wetan”. Istilah “Brang” berarti sebelah atau seberang, sekadar peristilahan yang secara kultural menunjukkan keberadaan alami di seberang barat dan seberang timur Surabaya dari pembatas alami Kalimas.

Belahan alami ini sudah ada selama berabad-abad. Sejatinya, sungai ini dulu dikenal dengan nama Kali Surabaya. Sungai yang menjadi titian peradaban yang menyertai jalannya perkembangan Kota Surabaya hingga sekarang.

Nama Kali Surabaya itu tertulis dalam literasi yang diproduksi era kolonialisasi. Peta kuno menuliskan frasa Kali Surabaya (Rivier van Soerabaia dan Surabaya River) untuk menamai alur sungai yang menjulur dari percabangan kali di Ngagel hingga bermuara ke Selat Madura.

Bahkan, nama Kali Surabaya ke arah selatan tidak hanya sebatas daerah Ngagel, tapi menjulur jauh hingga Kali Brantas di Mirip, Kabupaten Mojokerto.

Mengapa sungai sepanjang itu dinamakan Kali Surabaya?

Penamaan ini tidak lepas dari keberadaan naditira pradeca Surabaya. Yang tertulis i Curabhaya pada Prasasti Canggu yang dibuat di masa Raja Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit pada 1358 M.

Prasasti ini menuliskan nama nama desa di tepian sungai (naditira), yang kala itu memberi layanan jasa tambangan (naditira pradeca). Karenanya, Prasasti Canggu juga dikenal dengan istilah Piagam Penyeberangan atau Ferry Charter.

Apakah di Surabaya ada jasa tambangan saat 1358 M? Jawabnya ada.

Selain desa Surabaya, juga ada desa Bkul dan desa Gsang. Ketiga nama kuno ini adalah sebagian dari nama-nama lain yang tersebut pada Prasasti Canggu. Sekarang, jika “Bkul” menjadi kawasan Bungkul, “Gsang” menjadi kawasan Pagesangan, maka “Curabhaya” menjadi Surabaya, sebuah kota metropolis (abad 21) yang bermula dari desa kecil (abad 14).

Dari abad 14 hingga abad 21, Surabaya secara alami tetap sebagai tempat peradaban di tepian sungai, bahkan dibelah oleh sungai. Sungai yang awalnya bernama Kali Surabaya akhirnya berganti nama menjadi Kalimas.

Baca Juga  Menggembalikan Sesanti Sura ing Baya

Sebenarnya nama Kalimas adalah untuk penamaan kanal baru mulai dari Kampung Baru (utara Jembatan Merah) hingga ke kawasan Ujung yang bermuara di Selat Madura, dibuat pada awal abad 19.

Menurut Ady Setyawan, pegiat sejarah Roode Brug Soerabaia, ketika mengikuti susur Kalimas pada 17 Mei 2022, nama kanal Kalimas berasal dari nama keluarga Belanda “Maas”.

“Di negara Belanda sendiri, tepatnya di Kota Maastricht dan Rotterdam, juga ada sungai yang bernama “Maas”. Maas adalah sebuah sungai besar di Eropa yang berhulu di Prancis dan mengalir melewati Belgia dan Belanda sebelum masuk ke Laut Utara,” jelas dia.

Sementara di Surabaya, imbuh Adi, pembangunan kanal/kali yang diberi nama Maas, sebenarnya bertujuan memberi akses angkutan ekspedisi air dan upaya mencegah banjir di Surabaya. “Nama Maas untuk kanal baru itu menjadi fenomenal karena kanalnya sangat bermanfaat bagi Surabaya,” tandasnya.

Maka dapat diduga, fenomenal Kanal Maas ini berpengaruh pada perubahan nama Kali Surabaya, khususnya pada ruas sungai mulai percabangan kali di Ngagel yang mengalir hingga ke utara sampai ke muara. Maka jadilah nama Kalimas untuk alur sungai yang membelah Surabaya.

Peradaban Kalimas

Usia Kalimas sangat tua. Berdasarkan Prasasti Canggu, nama Surabaya di tepian sungai ini sudah teridentifikasi sejak tahun 1358. Bisa jadi sebelum tahun 1358, nama Surabaya di bantaran sungai sudah ada.

jika diurut dari keberadaan nama Kali Surabaya, ditambah dengan temuan  data dan fakta arkeologi di sekitar kali, telah teridentifikasi keberadaan peradaban lama Surabaya. Pertama, temuan sumur Jobong di Pandean, yang menurut hasil uji karbon terhadap fragmentasi tulang manusia hasil ditemukan di sekitar sumur Jobong bahwa tulang tertua adalah dari tahun 1430 M. Ini berarti bahwa bejana sumur itu sendiri sudah ada sebelum tahun 1430.

Baca Juga  H.P. Berlage dan G.C. Citroen Untuk Surabaya, Apa hubungannya?

Kedua, perkampungan Ampel Denta yang dibuka Raden Rahmad pada 1420. Raden Rahmad selanjutnya dijuluki Sunan Ampel (Susuhunan di Ampel Denta).

Berikutnya, perkampungan di Sekitar Sulung (barat Kalimas). Menurut data peta Surabaya 1677, tersebut adanya satu tempat di Sulung yang merupakan peninggalan era pra Mataram. (Von Faber: Oud Soerabaia).

Pun di kawasan Keputran dan Dinoyo, sebagaimana tersebut pada peta tahun 1700 an, di sana pernah ada komplek permukiman pribumi yang lengkap dengan alun-alunnya. Namanya, Alun-Alun Dinoyo. Semua permukiman kuno di Surabaya ini ada di tepian Kalimas.

Memasuki era kolonial pada abad 17, konsentrasi permukiman bertumpu di sekitar kawasan Jembatan Merah. Di kawasan ini, sebelum bangsa Eropa datang, sudah menjadi permukiman etnis China, selanjutnya disebut Pecinan.

Ketika permukim Eropa sudah mulai tumbuh di barat Kalimas (sekitar Jembatan Merah), maka terbentuklah tata permukiman yang diatur berdasarkan etnis oleh administrasi Hindia Belanda di Surabaya. Etnis Eropa bertempat di barat Kalimas. Sedangkan etnis Vreemde Oosterlingen, yakni etnis Timur Jauh seperti China, Melayu, India dan Arab, bertempat di timur Kalimas.

Dari abad ke abad, kawasan Kota lama (Eropa, Pecinan, Melayu) semakin padat. Perkembangan Surabaya kemudian bergerak ke selatan mengikuti alur sungai.

Pada abad 20, industrialisasi dibangun di Ngagel, kawasan Surabaya Selatan. Di sana muncul pabrik minyak, pabrik konstruksi besi, pabrik elektronik dan pabrik rokok. Sebuah jembatan yang berada di dekat pabrik rokok hingga saat ini masih dikenal dengan nama Jembatan BAT (British American Tobacco).

Susur Kalimas

Akhir Mei 2022, perwakilan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unair akan berangkat ke Jepang untuk menghadiri penganugerahan Times Higher Education (THE) Awards Asia. Unair menjadi satu satunya dari 500 universitas di Indonesia yang lolos dalam ajang bergensi tingkat Asia ini.

Baca Juga  Hari Pahlawan, Tonggak Inspirasi Pembangunan Masa Depan

Keberhasilan FIB Unair dalam menembus ajang bergengsi ini karena terobosan FIB di bidang teknologi dalam penyajian nilai-nilai budaya dan kearifan lokal melalui kemasan Ensiklopedia.

Tahun 2021, FIB Unair bersama bekerja sama dengan Dinas Perpustakaan Kearsipan (Dispusip) Kota Surabaya, Begandring Soerabaia dan Roodebrug Soerabaia, membuat Ensiklopedia Kearifan Lokal berbasis teknologi digital. Materi budaya itu disajikan dalam 5 bahasa, yaitu Indonesia, Jawa sub dialek Arek Surabaya, Inggris, Perancis dan Jepang. Terobosan dibidang kebudayaan ini  menghantarkan FIB Unair masuk 8 besar penerima THE Awards Asia.

Berangkat dari pengakuan dunia pendidikan tingkat Internasional ini, FIB Unair melanjutkan menulis Ensiklopedia Kearifan Lokal Surabaya. Kali ini yang menjadi perhatian Tim Ensiklopedia Kearifan Lokal adalah Kalimas.

“Kalimas menyimpan banyak cerita dan keberadaannya layak digali sebagai wahana pengetahuan, pendidikan dan penelitian,” kata Dekan FIB Unair Prof Dr Purnawan Basundoro.

Tim Ensiklopedia Kearifan Lokal melakukan susur sungai dengan melakukan perekaman dengan kamera 360 derajat. Hal ini sangat membantu publik karena bisa secara langsungmenikmati lokasi demi lokasi yang menjadi materi Ensiklopedia Kearifan Lokal.

Menurut Kukuh Yudha Karnanta, dosen FIB Unair, kegiatan perekaman dengan menggunakan kamera 360 akan berlanjut pada Minggu 22 Mei 2022.

“Untuk menambah rasa hiburan pada konten Ensiklopedia Kearifan Lokal, komunitas sejarah akan tampil berkostum ala tradisional untuk memperkuat suasana Kalimas kembali ke masa silam,” terang pria kalem ini.

Kukuh berharap informasi kearifan lokal ini akan membuka peluang wisata air Kalimas.

“Dari atas air di Sungai Kalimas, kita bisa menikmati Surabaya dan mempelajari sejarah Surabaya,” katanya. (*)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *