Kala Itu, Begini Rancangan Kota Mandiri Cikasur Abad 19

Penulis: Agung Pribadi

Berdasarkan catatan Junghuhn pada tahun 1854, dataran tinggi Hyang, Argopuro yang berada di wilayah Probolinggo dan Situbondo, merupakan tempat yang mirip dengan Eropa baik secara kelembapan, suhu, maupun cuaca. Informasi tersebut menjadi inspirasi NB Van Der Stok dan JJ Van Gennep, para pengagum Junghuhn, untuk membuat rancangan kota Mandiri Modern berwawasan lingkungan di Cikasur pada tahun 1895.

Pemandangan Cikasur pada tahun 1911. Sumber: Pinterest

Van Gennep adalah salah satu pengusaha perkebunan di Jember. Dia adalah rekan bisnis George Bernie, pengusaha legendaris lain di Jember saat itu. Sementara JP Van Der Stok adalah salah satu ahli Kependudukan Hindia Belanda. Impian NB Van Der Stok bersama Van Gennep adalah membangun “kota mandiri ” berwawasan lingkungan di Cikasur Gunung Argopuro antara tahun 1895 – 1900.

Kota mandiri modern Cikasur bakal dilengkapi pembangkit listrik, rumah sakit, penginapan, peternakan dan perkebunan di wilayah Cikasur Gunung Argopuro, serta dilengkapi pula dengan jalur Kereta melalui dari Stasiun Kraksan menuju ke Rambipuji melewati Cikasur. Dikarenakan dana yang dibutuhkan luar biasa besar, maka konsesi dataran tinggi Hyang melibatkan beberapa pihak selain Pemerintah Hindia Belanda.

Setelah setting rel kereta Api Kraksaan – Cikasur – Rambipuji sudah selesai dibangun, yang perlu dikerjakan selanjutnya adalah membuat sumber energi listrik. Saat itu, sumber listrik sudah ditemukan tempatnya dengan memanfaatkan Sungai Daluwang. Biasanya para pendaki mengambil selada di sungai ini.

Dari pos Cikasur ke arah utara menuju baderan dengan menyeberang sungai, akan ditemukan bangunan hidrolik prototipe pembangkit listrik kota mandiri Cikasur.

Sehubungan dengan dibangunnya jalur kereta api Lumajang – Jember serta Probolinggo Kraksaan, maka konsesi kota Mandiri Cikasur ditawarkan kepada perhimpunan Soerja Soemirat, lembaga Donor kesehatan Hindia Belanda yang juga mempelajari laporan Junghunn tentang daerah yang cocok untuk kesehatan masyarakat Eropa.

Baca Juga  KH Mas Mansur dan Pergulatan Jurnalisme Profetik

Dengan proposal yang dibuat oleh Van Gennep dan NJ Stock, rel kereta Api menuju Sikasur akan menjadi titik sentral. Adapun jalur dari Kraksan rencananya dibangun melalui Pesanggrahan, Baderan, Watukursi dan selanjutnya menuju Aloon-aloon Radje yang sekarang terkenal dengan Cikasur.

Para pemandu di Gunung Argopuro pada tahun 1911. Sumber: Pinterest

 

Sedangkan dari Rambipuji akan melalui sungai Tanggul sampai Gunung Kerintjing, gunung gilap dan gedung Ampel. Tempat ini akan menggantikan tempat pemulihan serupa di Lawang, Tosari, Ungaran dan Bandung serta yang lainnya.

Karena persoalan daerah kawasan pegunungan hyang Argopuro khususnya yang membentang dari pantai Utara menuju kawasan perkebunan di selatan yang berbukit-bukit dan lembah yang sangat curam, akhirnya diputuskan membuat jalur kereta api gantung (mirip rel kereta api cepat Jakarta – Bandung). Ide itu mengadaptasi jalur kereta api gantung di Jerman: Wuppertaler Schwebebahn. Disebut Wuppetaler karena berada di kota Wuppetaler. Saat itu di Jerman tahun 1905, kereta ini baru beroperasi 5 tahun.

Artinya, saat itu, suatu teknologi kereta yang amat tinggi akan dibangun di Cikasur: suatu kawasan yang sampai saat ini masih terpencil.

Setelah survei dan sebagainya, akhirnya dihitung jumlah tiang pancang yang akan digunakan dari stasiun Kraksaan menuju ke Cikasur lanjut ke Rambupuji. Proyek ini akan menghabiskan biaya sekitar 1 juta Gulden yang akan dikerjakan oleh Continentale Lebensversicherung Jerman.

Berteduh di Hyang, Argopuro. Sumber: Pinterest

Entah karena apa proyek ini mangkrak. Yang tersisa adalah sedikit bangunan di Cikasur yang berupa PLTA, bangunan Rumah Sakit, serta beberapa bangunan penginapan. Kemudian konsensi Cikasur dijual ke Ladeboer yang kemudian diubah menjadi lapangan terbang guna mendukung pariwisata dan peternakan Cikasur.

Seandainya saja proyek ini selesai, kita akan bisa melihat keindahan gunung Argopuro tanpa perlu jalan kaki 51 km. (*)

 

Baca Juga  Aksara Jawa di Mata Warga Asing.

Agung Pribadi. Pegiat Sejarah Komunitas Begandring dan Pendaki Gunung.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *