Senang dan bangga. Begitulah yang saya rasakan manakala Dahlan Iskan, mantan bos saya di Jawa Pos Group, menghubungi melalui pesan WA. Mantan Menneg BUMN dan Dirut PLN itu secara terbuka memuji artikel di begandring.com yang saya tulis.
Artikel tersebut diunggah pada 17 Juni 2022. Judulnya, Surat-Surat Cinta Bung Karno untuk Haryatie. Dahlan lantas minta dibantu untuk melacak keterangan dan data terkait sosok Haryatie, istri keenam Bung Karno yang asli Arek Suroboyo.
Dahlan menghubungi saya, Minggu (19/6/2022) dinihari sekira pukul 03.00. Kemudian disambung lagi pada pagi, siang, sore dan malam hari. Banyak pertanyaan dilontarkan pria yang kerap dipanggil Abah tersebut. Di antaranya isinya begini:
Dari mana Anda dapat info bahan bahwa keluarga Ibu Haryatie ada di situ? Sejak kapan tahu? Apakah tetangga disitu tahu kalau itu rumah Ibu Haryatie? Apakah tetangga juga ingin lihat koleksi surat2 itu?
Apakah Anda perlu merayu agar dia mau membuka surat-surat itu?
Total ada berapa surat BK utk Haryatie yg tersimpan di rumah itu?
Saya kemudian menceritakan keberadaan Haryatie yang saya ketahui dari rumah di Jalan Cipunegara. Rumah itu ditempati Enny Wishnu Wardhani, keponakan Hariyatie. Dia pernah diambil sebagai anak mupu (anak angkat dari lingkungan keluarga sendiri). Di rumah itu tersimpan surat-surat asli Bung Karno kepada Hariyatie. Termasuk foto-foto keluarga yang belum pernah dipublikasikan.
Di rumah itu, saya menggali kisah Hariyatie dan Bung Karno. Saat itu saya menulis hasil penelusuran, lalu saya kirimkam ke Dahlan Iskan. Pendeknya, saya berkolaborasi dengan Dahlan Iskan untuk sebuah produk jurnalistik. Kolaborasi dua jurnalis beda zaman.
Tidak cuma di Cipunegara, ada juga rumah di Jalan Comal. Rumah itu diduga dibeli Bung Karno untuk keluarga Hariyatie. Di rumah Jalan Comal itu Bung Karno biasa menginap bila ada kunjungan ke Surabaya yang bersifat pribadi.
Kini, rumah di Jalan Comal Surabaya tak ada penghuninya. Orang-orang sekitar mengabarkan, sebelum kosong, rumah itu pernah dipakai untuk kantor surveyor.
Rumah di Jalan Comal berkesan bangunan peninggalan era kolonial. Lokasinya strategis. Berada di kawasan elit Kota Surabaya, dekat kawasan Darmo. Dikenal sebagai kawasan hunian orang-orang kaya. Tidak hanya sekarang, tapi juga ketika di era kolonial. Kawasan Darmo adalah salah satu kawasan elit di Surabaya. Tidak sembarangan orang dapat memiliki aset di sini. Apalagi pada zaman dulu.
***
Dahlan Iskan mengunggah tulisannya tentang Haryatie di Disway, media miliknya sekarang. Disway merupakan kependekan dari Dahlan Iskan Way atau Caranya Dahlan Iskan. Ya, cara Dahlan Iskan dalam menyampaikan pandangan, gagasan, dan pemikirannya lewat tulisan.
Awalnya, disway berwujud blog pribadi: disway.id. Didirikan pada 2018. Dahlan Iskan konsisten menulis tiap hari di blognya itu. Pada 9 Februari 2019, disway.id dikelola manajemen DBL Indonesia.
Dahlan Iskan kemudian mendirikan Harian Disway, 4 Juli 2020. Sebuah media baru berbentuk print media. Penerbitan Harian Disway adalah hasil pemikiran Dahlan Iskan selama lockdown pandemi.
Artikel Dahlan Iskan tentang Haryatie diunggah di Disway, Rabu (22/6/2022). Diberi judul Surat Cinta. Saya surprise karena Dahlan memajang foto saya dan Enny Wishnu Wardhani. Foto itu saya ambil dari rumah Enny di Jalan Cipunegara.
Artikel tentang Haryatie yang ditulis Dahlan Iskan itu sangat memikat. Bahasanya renyah dan bernas. Kalimatnya pendek-pendek. Terkesan lincah. Membaca artikel itu seperti bercakap-cakap dengan penulisnya. Itulah yang menjadi karakter Dahlan dalam melahirklan tulisan yang enak dibaca dan bermutu.
Dahlan membuka tulisan dari polemik soal Jalan Mastrip. Di mana jalan itu diganti dengan Jalan Prabu Siliwangi. Kala itu, salah satu yang ikut protes adalah saya. Sempat terjadi aksi unjuk rasa. Soal perubahan jalan itu kemudian dikoreksi. Bukan Jalan Mastrip, tapi Jalan Gunung Sari diubah menjadi Jalan Prabu Siliwangi. Hanya, perubahan jalan tidak total, sekitar 400 meter.
Dari polemik perubahan Jalan Mastrip itu, tulis Dahlan, saya bertemu seorang wanita, anak angkat istri Bung Karno yang ke-6. Namanya Hariyatie.
Saya sungguh tersanjung karena Dahlan bercerita background saya. Sebelum berkarir di JTV dengan jabatan terakhir sebagai Wapimred, saya sempat magang di BBC Nottingham ketika sebagai mahasiswa di Nottingham Trent University Inggris (1999-2000) dan bekerja sebagai penyiar berita bahasa Inggris TVRI Surabaya (1997-1999).
Hingga saya menginisiasi berdirinya Begandring Soerabaia, perkumpulan pegiat sejarah. Perkumpulan ini banyak melakukan aktivitas produktif dan invovatif. Salah satunya melakukan jelajah sejarah Kota Surabaya secara periodik.
Di ujung artikelnya, Dahlan menutup dengan manis:
Nanang tidak akan menemukan jenis surat-surat cinta seperti itu sekarang dan di masa yang akan datang. Kini banyak surat cinta yang langsung di-delete keesokan harinya. Atau ter-delete. (*)