Tinggal selangkah saja Raperda Cagar Budaya Kota Surabaya segera disahkan menjadi Perda. Ketua Komisi D DPRD Kota SurabayaKhusnul Khatimah dikonfirmasi membenarkan bahwa pembahasan Raperda Pengelolaan Cagar Budaya telah selesai di tingkat Panitia Khusus (Pansus), Senin (28/11/2022).
“Selanjutnya akan diparipurnakan,” ujar Khusnul Khatimah yang juga politisi PDIP itu.
Yang menggembirakan, dalam Raperda itu ada Badan Pengelola Cagar Budaya (BPCB). Dikutip dari Jawa Pos edisi 29 November 2022, bahwa BPCB ini dituangkan dalam pasal 27.
Pasal tentang Badan Pengelola Cagar Budaya (BPCB) adalah pasal yang selama ini ditunggu-tunggu demi pemanfaatan cagar budaya bagi masyarakat Surabaya.
Dengan hadirnya Badan Pengelola Cagar Budaya maka Bangunan Cagar Budaya (BCB) tidak hanya berhenti pada pelestarian, tapi bisa berlanjut pada pengelolaan dan pemanfaatan sehingga bisa dapat memberi nilai lebih.
Surabaya kaya akan bangunan cagar budaya dan nilai nilai sejarah dan budaya. Setidaknya ada sekitar 200 BCB yang tersebar di kota Surabaya.
Melalui Perda Cagar Budaya yang baru, nantinya eksistensi benda, struktur dan bangunan cagar budaya tidak hanya diselamatkan melalui upaya upaya pelestarian, tapi lebih dari itu, keberadaannya dapat dimanfaatkan untuk tujuan tujuan pendidikan, ilmu pengetahuan, penelitian, kebudayaan dan pariwisata yang ujung ujungnya memberi nilai ekonomis.
Khusnul mengatakan Badan Pengelola Cagar Budaya nantinya bisa merangsang tumbuhnya sektor ekonomi kreatif sebab bangunan cagar budaya tidak sekadar menjadi bangunan mati, tetapi menjadi wadah kreativitas warga Surabaya.
Pemanfaatan Rumah HOS Tjokroaminoto sebagai museum. foto: begandring
Dikelola Lebih Serius
Pada awal tahun 2022, Panitia Khusus (Pansus) Raperda Pengelolaan Cagar Budaya mengundang beberapa narasumber ahli. Saah satunya para pegiat sejarah dari Perkumpulan Begandring Soerabaia.
Setelah mempelajari draf Raperda, tim pengkaji Begandring Soerabaia mendapati satu hal penting yang seharusnya masuk dalam raperda tapi tidak dituangkan. Yaitu Badan Pengelola Cagar Budaya. Padahal Raperdanya sendiri berbunyi Raperda Pengelolaan Cagar Budaya.
Apalagi Raperda, yang diajukan Pemerintah Kota Surabaya ini, menjadi turunan dari Undang Undang 11/2010 tentang Cagar Budaya, di mana dalam pasal 97 terdapat aturan tentang Badan Pengelolaan Cagar Budaya. Karenanya, Begandring Soerabaia mengusulkan kepada Pansus agar memasukkan Badan Pengelola Cagar Budaya ke dalam Raperda.
Rojil Nugroho Bayu Aji, sejarawan dan dosen Universitas Negeri Surabaya, berharap keberadaan Badan Pengelola Cagar Budaya dalam Perda Cagar Budaya Kota Surabaya menjadi langkah bagus.
“Ke depan Badan Pengelola Cagar Budaya ini dapat menyelamatkan, menjaga dan memanfaatkan cagar budaya di Surabaya. Surabaya ini memiliki banyak bangunan cagar budaya dan kawasan bersejarah yang harus bisa dimanfaatkan untuk kemajuan kebudayaan dan edukasi bagi generasi mendatang,” jelas Rojil.
Prof. Purnawan Basundoro, sekretaris Tim Ahli Cagar Budaya Kota Surabaya dan Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unair, mengatakan, keberadaan badan tersebut bisa mengelola bangunan cagar budaya dengan lebih baik dan serius.
“Nantinya, Badan Pengelola Cagar Budaya ini bisa mendorong agar bangunan cagar budaya bisa bermanfaat maksimal. Badan Pengelola diharapkan bisa lebih profesional mengelola cagar budaya”, terang Purnawan.
Khusnul Khotimah berharap dengan terbentuknya Badan Pengelola Cagar Budaya nanti bisa menjadi mitra yang sejajar dengan Tim Ahli Cagar Budaya yang sudah ada.
“Mereka bisa duduk bersama dalam langkah koordinasi menjalankan tugas tugasnya. TACB melakukan perlindungan, BPCB melakukan pemanfaatan”, tambah Khusnul yang dihubungi melalui celuler pada Selasa malam, 29 November 2022.
Kehadiran BPCB dalam Perda Cagar Budaya Kota Surabaya ini memang sangat relevan dengan UU 11/2010, khususnya dengan Pasal 97.
Pasal 97 (1) berbunyi Pemerintah dan pemerintah daerah memfasilitasi pengelolaan kawasan Cagar Budaya. (2) Pengelolaan kawasan Cagar budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakat terhadap Cagar budaya dan kehidupan sosial.
Sedangkan pada ayat (3) berbunyi pengelolaan kawasan Cagar budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh badan pengelola yang dibentuk oleh pemerintah, pemerintah daerah dan atau masyarakat hukum adat.
Ayat (4) berbunyi Badan Pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat terdiri atas unsur pemerintah dan atau pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat.
Sementara pada ayat (5) menyebut bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Cagar budaya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pengelolaan, menurut UU, adalah upaya terpadu untuk melindungi, mengembangkan dan memanfaatkan cagar budaya melalui kebijakan pengaturan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.
Sedangkan Pemanfaatan adalah pendayagunaan cagar budaya untuk kepentingan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat dengan tetap mempertahankan kelestariannya.
Karenanya, Badan Pengelola Cagar Budaya (BPCB) Kota Surabaya ini penting sebagai penghubung antara cagar budaya dengan pemanfaatannya bagi kesejahteraan rakyat. Terlalu sayang, jika Surabaya yang begitu kaya akan Cagar budaya kurang atau tidak memanfaatkan kekayaan Cagar budayanya untuk menunjang peningkatan kesejahteraan rakyat.
Studi banding ke Kota Lama Semarang. (ki-ka) Tjahjono Rahardjo, Agus Surya Winarta, Dyah Katarina (Komisi D DPRD Surabaya), Penulis dan AH Thony (Wakil Ketua DPRD Surabaya)
Kolaborasi Pentahelix
Dalam hal upaya pemanfaatan Cagar budaya, konsep kerja sama lintas lembaga sangat dibutuhkan karena masing masing lembaga memiliki kompetensi dan wewenang di bidangnya. Adalah kolaborasi pentahelix yang melibatkan lima institusi: pemerintah, dunia usaha, akademisi, komunitas dan media.
Konsep pentahelix ini sendiri sudah menjadi kerangka dalam unsur pembentukan Badan Pengelola sesuai dengan Undang Undang 11/2010 tentang Cagar Budaya. Dalam pasal 97 ayat (3) dan (4) disebutkan bahwa Badan Pengelola yang dibentuk oleh pemerintah, pemerintah daerah dan atau masyarakat hukum adat dapat terdiri atas unsur pemerintah dan atau pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat.
Anggota Bagian Operasional Badan Pengelola Kawasan Kota Lama (BPK2L) Semarang, Agus Suryo Winarto, menyambut akan hadirnya Badan Pengelola Cagar Budaya dalam Perda Cagar Budaya Surabaya dan sekaligus mengingatkan agar dalam kerja kolaboratif antar unsur dalam BPCB senantiasa melihat local wisdom dan local history.
“Jangan sampai jika suatu ketika ada intervensi pusat, lalu pusat melalui PUPR, seperti di Kota Lama Semarang, datang untuk membantu revitalisasi kawasan, tetapi mereka tidak berkoordinasi dengan Badan Pengelola yang notabene adalah orang orang lokal, dan yang terjadi adalah ketidak sesuaian hasil revitalisasi dengan kondisi sejarah lokal”, jelas Agus seorang pengusaha yang tergabung dalam kepengurusan Badan Pengelola Kawasan Kota Lama (BPKKL) Kota Semarang.
Ia mencontohkan pemasangan tiang-tiang penerangan jalan umum (PJU) di kawasan Kota Lama Semarang yang tidak sesuai dengan data dan fakta sejarah.
“Yang dipasang itu tiang lampu taman, bukan tiang lampu jalan. Padahal tiang lampu jalan, berdasarkan fakta sejarah, tidak seperti itu”, tegas Agus dalam zoom meeting antara dirinya, Tjahjono Rahardjo (keduanya mewakili BPKKL) dan penulis mewakili Begandring Soerabaia pada Selasa malam, 29 November 2022.
Agus Suryo Winarto (dari unsur Dunia Usaha) dan Tjahjono Rahardjo (dari unsur akademisi) dalam kepengurusan Badan Pengelola Kawasan Kota Lama Semarang menyambut baik hadirnya Badan Pengelola Cagar Budaya di Kota Surabaya.
Mereka berpesan agar unsur unsur yang duduk di Badan Pengelola bisa saling terbuka dan saling take and give demi menjalankan tugas bersama untuk pemanfaatan Cagar Budaya di Kota Surabaya.
“Masing masing unsur tidak boleh merasa lebih berkuasa dan mampu”, pungkas Agus Surya Winarto yang terus idealis menjaga marwah sejarah dan kearifan lokal di kawasan Kota Lama Semarang. (*)