Alun-Alun, Baju Adat, dan Sekolah Kebangsaan

Medio Januari 2022, Perkumpulan Begandring Soerabaia membuat liputan soal kontroversi nama Alun-Alun Surabaya di Balai Pemuda. Melalui channel Heritage Walk, mereka ingin mengedukasi publik tentang keabsahan sejarah dari bangunan tersebut.

Selain itu, perkumpulan yang ditukangi para ahli dari berbagai disiplin ilmu itu juga ingin menyatakan protes keras karena ada pengaburan dan distorsi sejarah Balai Pemuda gara-gara keberadaan Alun-Alun Surabaya.

Sebelum syuting disepakati ada jajak pendapat. Tidak perlu banyak, cukup beberapa orang saja. Pengumpulan pendapat tersebut dimaksudkan untuk menguatkan alasan membuat konten sebelum membahas sejarah Balai Pemuda.

Jajak pendapat pun dimulai. Beberapa pengunjung dicegat, lalu dimintai pendapat. Pertanyaannya gampang, Anda sekarang berada di mana? Dan apa nama gedung yang Anda lihat itu?

Dari semua pengunjung yang ditanya, seratus persen menjawab tidak tahu soal nama Balai Pemuda. Mereka yang rata-rata milenial, hanya tahu nama Alun-Alun Surabaya. Berikut ruang bawah tanahnya (basement).

Celakanya lagi, ada juga pengunjung yang ketika ditanya menyebut jika Gedung Balai Pemuda itu adalah Balai Kota Surabaya. Duh, sungguh memprihatinkan!

Fakta sejarah, Alun-Alun Surabaya tempatnya bukan di kompleks Balai Pemuda, melainkan di kawasan Tugu Pahlawan. Ketika itu, di sana adalah lapangan alun-alun yang menjadi satu lapangan dengan stadstuin (taman kota). Di satu lapangan luas ini terdapat dua pendopo, yakni Pendopo Kasepuhan dan Pendopo Kanoman.

Dalam syuting, bukti-bukti berupa buku dan peta kuno dibeber. Disajikan di dua tempat, yakni di Balai Pemuda dan Alun-Alun Contong.

Video itu kemudian di acara diskusi publik Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Jawa Timur. Semua terperangah, tak percaya anak-anak muda ternyata tidak tahu Gedung Balai Pemuda yang bersejarah itu.

Baca Juga  Koridor Jalan Tunjungan Wujud Dimensi Sosial Adaptive Reuse

MSI Jawa Timur pun bertindak dengan memberikan rekomendasi: kembalikan nama Balai Pemuda. Rekomendasi tersebut lalu disampaikan Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi.

MSI Jawa Timur juga mendesak Pemerintah Kota Surabaya mengeluarkan kebijakan baru dalam dunia pendidikan, yakni menyisipkan materi pelajaran sejarah bermuatan lokal. Pelajaran itu harus diajarkan mulai tingkat SD, SMP, hingga SMA.

Sayangnya, sampai sekarang belum ada tindak lanjut dari rekomendasi MSI tersebut. Nama Alun-Alun Surabaya masih bertengger di Balai Pemuda.

Dahlan Iskan bersama pengurus Begandring yang memakai baju adat Jawa. foto: begandring

Pakaian adat dari berbagai daerah warnai peringatan Ultah ke-2 Harian Disway. foto: begandring

 

***

Pada 4 Juli 2022, Harian Disway mengadakan perayaan ulang tahun kedua. Koran milik Begawan Media Dahlan Iskan itu, masih terbit hingga sekarang, di saat koran-koran lain tutup lataran bangkrut.

Pada acara yang digelar sederhana itu, Perkumpulan Begandring Soerabaia kembali bikin kejutan. Kalau datang dengan busana biasa-biasa saja, tentu perhatian publik juga biasa-biasa saja.

Lalu, disepakati datang dengan dresscode yang lain daripada yang lain. Apa itu? Memakai busana ala Bung Karno muda. Benar-benar nyentrik.

Busana tersebut berupa kemeja putih dengan balutan jas hitam. Memakai dasi kupu-kupu. Bagian bawahnya jarik batik. Plus blangkon di kepala.

Skenario berhasil. Ketika rombongan datang dengan memakai busana Soekarno muda, Dahlan Iskan tertegun. Dia memandangi dari bawah sampai ke atas.

Dahlan yang tak lepas dari senyum bahagia lantas merangkul satu per satu rombongan Begandring, kemudian memperkenalkan kepada semua undangan yang datang.

Sejurus kemudian, Dahlan mengajak foto bersama. Tangan Dahlan mengapit rombongan Begandring seperti mengantarkan pasangan pengantin.

“Saya senang Anda menggunakan busana seperti ini. Saya akan buat setelan busana ala Soekarno muda seperti ini!” begitu ucap Dahlan.

Baca Juga  Penasaran, Direktur IFI Ikut Jalan-Jalan Sejarah ke Kampung Eropa

Keingintahuan Dahlan tak berhenti sampai di situ. Dia juga bertanya, bagaimana ceritanya Soekarno bisa memakainya, berikut makna dari busana tersebut.

Para pegiat sejarah Begandring pun menceritakan, suatu ketika Bung Karno diminta untuk melepas jas yang dianggap berbau kolonial ini, tapi Soekarno menolak.

Busana yang dipakai Soekarno sama dengan Tjokroaminoto serta Tjokrosudarmo. Bagi Soekarno, perpaduan jas dan kain batik serta blangkon ini adalah simbol kesetaraan antara bumiputera dan Eropa.

Sekolah Kebangsaan di Rumah Lahir Bung Karno Pandean. foto: diskominfo surabaya

 

***

Sejak pendiriannya, Perkumpulan Begandring Soerabaia concern dengan dengan isu-isu budaya dan sejarah. Melalui aktivitasnya, perkumpulan ini  berupaya ikut berperan dalam rangka pemajuan serta pemberdayaan manusia dan kebudayaan.

Dalam aktivitasnya Begandring Soerabaia menjalankan trilogi peran, yakni peran eksploratif dengan menggali dan menelusuri jejak sejarah. Edukatif dengan berbagi hasil eksplorasi melalui kegiatan kegiatan seperti diskusi publik dan jelajah sejarah bersama masyarakat umum.

Satu lagi, advokatif dengan mendorong pengambil kebijakan untuk bersama berupaya melalukan pelestarian, pengembangan dan pemanfaatan sejarah dan cagar budaya.

Salah satu isu yang digulirkan adalah pentingnya sekolah memberi pelajaran bermuatan lokal Surabaya. Hal ini dibutuhkan agar tidak ada missing link, terputusnya pemahaman sejarah kota oleh warganya. Ini sangat berbahaya. Kota yang kehilangan jati dirinya. Surabaya terancam kehilangan ruh kepahlawanannya.

Sudah tak terhitung berapa kali protes melalui rilis terbuka dibuat. Begitu pun dengan surat resmi yang disampaikan ke Pemerintah Kora Surabaya dan DPRD Kota Surabaya.

Suatu ketika, ada momen Bulan Bung Karno. Yang ditandai dengan peringatan tanggal lahir Bung Karno pada 6 Juni dan berakhir pada haul Bung Karno pada 21 Juni.

Di Surabaya, memaknai Bulan Bung Karno diisi dengan serangkaian kegiatan. Hal ini dilakukan untuk lebih memperkenalkan Bung Karno. Bail spirit, kiprah, dan tempat lahirnya.

Baca Juga  Desa Koeti: Titik Eksplorasi Dordtsche Petroleum Maatschappij Pertama di Surabaya

Momen ini tidak disia-siakan para pegiat sejarah Begandring. Mereka menggelar diskusi terbuka. Menghadirkan Andreas Pereira (anggota DPR RI), Bambang DH (anggota DPR RI), dan Adi Sutarwijono (ketua DPRD Kota Surabaya).

Salah satu rekomendasi diskusi adalah pentingnya menggelar Sekolah Kebangsaan. Rekom ini sangat mengena. Pemerintah Kota Surabaya akhirnya menyetujui menggelar Sekolah Kebangsaan itu. Rupanya, butuh “pressure” politik juga untuk mengeksekusi ide dan gagasan.

Selang sepekan, Sekolah Kebangsaan pun digelar Pemerintah Kota Surabaya. Semua pemateri dari Begandring Soerabaia. Ada tiga lokasi yang digunakan, yakni di Rumah Kelahiran Bung karni di Pandean, HOS Tjokroaminoto di Peneleh, dan Kantor Pos Kebon Rojo.

Sekolah Kebangsaan ini diikuti perwakilan sekolah-sekolah di Surabaya. Tiap acara digelar, ada ratusan siswa yang datang karena diwajibkan. Para pemateri diwajibkan memakai baju adat, yakni busana Cak Surabaya. Sedangkan untuk kru diwajibkan memakai baju pejuang.

Jauh sebelum Sekolah Kebangsaan digelar, pemakaian baju adat ini sudah disampaikan Begandring kepada Dinas Pendidikan Surabaya sebagai muatan lokal.

Intinya, bagaimana sekolah-sekolah mewajibkan siswanya memakai busana Cak dan Ning  pada hari tertentu. Semisal Hari Jumat atau Hari Sabtu.

Karena sejatinya, semakin banyak sekolah muatan muatan lokal, maka itulah yang menjadi target kurikulum Merdeka Belajar. Pun kurikulum muatan lokal bisa jadi kekhasan yang dimiliki masing-masing sekolah. (*)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *