Benteng Kedung Cowek adalah The Last Standing Fort of Surabaya.
Sebuah petikan dari Surat Kabar De Locomotief (19/8/1903) bertuliskan:
Onze kusthatterijen.
Het is voor onze nationale defensie te hopen sehrijft het Soer. Hbld. dat de Java-sche kustverdedigingswerken solieder ge-maakt zijn.
Artinya adalah Benteng Pertahanan Pantai Kami. Benteng ini diharapkan untuk Pertahanan Nasional kita, tulis Sur. Hbld. (Soerabaiasche Handelsblad) bahwa pertahanan pantai Jawa dibuat lebih kokoh.
Benteng pertahanan pantai yang dimaksud adalah Benteng Kedung Cowek di Surabaya. Menurut data dari koran koran yang beredar pada tahun tahun sebelumnya atau sejaman bahwa benteng ini sudah mulai dibicarakan oleh kalangan anggota dewan di Belanda pada akhir abad 19. Kemudian informasi lebih detail didapat dari keberadaan sebuah blue print, yang menggambarkan bahwa rancang bangun benteng ini ditandatangani oleh petinggi zeni di Batavia pada 15 Januari 1900.
Zeni adalah satuan militer yang melakukan tugas-tugas teknik militer untuk mendukung operasi tempur pasukan darat.
Setelah dan sejak ditandatanganinya cetak biru itulah, pemberitaan tentang pembangunan mengiringi proses pembangunan benteng yang menghadap ke Selat Madura. Pembangunan benteng Kedung Cowek di Surabaya itu menjadi isu yang seksi kala itu, baik di negeri Belanda maupun di negeri koloninya, Hindia Belanda.
Sekarang infrastruktur pertahanan pantai ini dikenal dengan sebutan Benteng Kedung Cowek yang terletak di kelurahan Kedung Cowek, kecamatan Bulak, Surabaya. Letaknya strategis. Persis di bibir pantai. Namun tidak terlihat jika dilihat dari Selat Madura. Letaknya tersembunyi. Tapi mematikan musuh. Benteng ini dipersenjatai dengan mesin mesin altileri laras laras panjang penangkal serangan udara dan tentu saja penangkal serangan laut. Betapa sebuah perancangan bangunan yang apik.
Rombongan sejarawan dan budayawan dari negeri Belanda yang dipimpin oleh Monique Soesman berkunjung ke Surabaya pada pertengahan tahun 2018, dengan sumber sumber yang didapat dari delpher.nl, mereka meyakini bahwa Kusthatterijen Kedoeng Tjowek adalah fasilitas militer yang mulai dibangun pada awal awal abad 20.
Fungsinya adalah untuk melindungi pulau Jawa dari kemungkinan serangan musuh. Kala itu Benteng Kedung Cowek ini bukan satu satunya infrastruktur yang ada di pantai Surabaya.
Ada infrastruktur serupa yang berjajar di sepanjang garis pantai mulai dari Kedung Cowek (timur) hingga ke kawasan Marine Establishment yang sekarang menjadi pangkalan Koarmada II. Tapi sekarang gugusan pertahanan pantai itu sudah hilang, kecuali Benteng Kedung Cowek.
Dalam upaya pertahanan Jawa kalau itu, utamanya dalam menjaga Selat Madura yang menjadi alur lalu lintas kapal, maka di sisi Gresik dan Madura bagian barat juga pernah dibangun gugusan pertahanan pantai. Kini semuanya juga sudah hilang. Sebagian masih menyisakan jejak jejaknya baik di Surabaya, maupun Gresik dan Madura.
Benteng Kedung Cowek menjadi satu satunya jejak infrastruktur pertahanan pantai yang masih ada dan berdiri kokoh di tepian pantai Surabaya. Meski ada beberapa gugus pertahanan yang sudah dibongkar. Diakui oleh mereka, sejarawan dan budayawan Belanda, bahwa Benteng Kedung Cowek adalah The last standing fort (kusthatterijen) in Surabaya.
Cagar Budaya
Di tahun 2018 sempat terdengar isu bahwa lahan dimana bekas pertahanan pantai itu berada sudah dimiliki pihak swasta. Sekelompok pegiat sejarah Surabaya, yang terdiri dari beberapa komunitas sejarah, kuwatir setelah mendengar isu tersebut.
Apalagi pihak Pemerintah Kota Surabaya, melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, mengatakan bahwa aset itu sulit dicagar budayakan karena masalah kepemilikan yang sudah beralih dari pihak Kodam V ke pihak swasta.
Mendengar kabar yang tidak baik ini maka para pegiat sejarah ini beraudensi ke Panglima Kodam V Brawijaya, yang kala itu dijabat oleh Letjen TNI R. Wisnoe Prasetja Boedi (25 Januari 2019 – 22 April 2020). Dalam audensi itu, Wisnoe yang didampingi oleh jajaran dan asisten militer di lingkungan Kodam V Brawijaya, menjelaskan bahwa aset Benteng Kedung Cowek yang sebelumnya berfungsi sebagai gudang peluru adalah aset yang masih dimiliki Kementerian Pertahanan dan dikelola oleh Kodam V Brawijaya.
Para pegiat sejarah itu lantas menyampaikan perhatiannya terhadap pentingnya keberadaan bekas Benteng yang bernilai sejarah itu kepada Wisnoe sebagai petinggi di wilayah teritorial Kodam V Brawijaya. Singkat cerita Wisnoe setuju jika Benteng Kedung Cowek diberi status Cagar Budaya sebagai upaya penyelamatan, pelestarian dan pemanfaatan aset militer itu.
Maka berkolaborasi lah antara Kodam V Brawijaya dan pemerintah Kota Surabaya di era kepemimpinan walikota Surabaya Tri Rismaharini. Selanjutnya pada 2020, turunlah penetapan Benteng Kedung Cowek sebagai bangunan Cagar budaya. Namun, ejak penetapan di tahun 2020 hingga sekarang (2023), ternyata kondisi Benteng belum ada perubahan.
Perhatian Dewan
A. Hermas Thony, Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya, yang sekaligus sebagai tokoh Kebudayaan Surabaya, berpendapat bahwa Benteng Kedung Cowek ini masih terbiarkan begitu saja. Padahal nilai historisnya luar biasa dan keberadaan fisiknya juga masih ada.
Melihat keberadaan Benteng Kedung Cowek, lantas Thony membandingkan dengan peninggalan peninggalan serupa yang dimiliki oleh militer.
“Coba kita lihat Benteng Pendem Ngawi yang nama aslinya Benteng Van den Bosch dan Benteng pendem atau Benteng Van der Wijk di Gombong, Jawa Tengah, ternyata mereka bisa menjadi tempat tujuan wisata yang terbuka untuk umum. Mestinya Benteng Kedung Cowek juga bisa”, jelas Thony yang ditemui di ruang kerjanya di gedung DPRD Kota Surabaya di jalan Yos Sudarso baru baru ini.
Benteng Van der Wijk di Gombong (Jawa Tengah) dan Benteng Van den Bosch di Ngawi (Jawa Timur) yang sudah menjadi aset wisata edukatif dan historis ini adalah hasil kerjasama antara pemerintah daerah dengan pihak orotitas militer mulai dari tingkat lokal hingga tingkat yang lebih tinggi.
Benteng Kedung Cowek di kota Surabaya, yang sekaligus tempat dimana markas Kodam V Brawijaya berada, seharusnya mudah dilakukan kolaborasi untuk upaya pelestarian dan pemanfaatan demi kepentingan bersama dan publik.
“Sudah sangat selayaknya bangunan bersejarah, yang menyimpan nilai nilai kepahlawanan ini, dilestarikan dan dimanfaatkan untuk kepentingan publik karena kota Surabaya ini adalah Kota Pahlawan”, tegas AH Thony.
Diketahui dalam perkembangan kota Surabaya, kawasan wilayah pantai timur ini menjadi kawasan strategis dan ekonomis. Pertumbuhan dan pembangunan kota semakin ke kini semakin merambah ke kawasan itu. Bahkan di sekitar kawasan Benteng Kedung Cowek sudah terlihat pondasi pondasi bakal bangunan pencakar langit yang akan menghadap ke Selat Madura.
“Potensi dan kondisi Benteng Kedung Cowek ini bakal menjadi arena balapan sengit antara perkembangan pembangunan kota melawan pemertahanan kesejarahan kota”, Thony mengingatkan semua pihak agar tanggap terhadap perkembangan kota Surabaya ke depan.
Perkembangan Pembangunan Kota (Urban Development) melawan Pengelolaan Heritage Perkotaan (Urban Heritage Management) segera berpacu dan bahkan sudah sedang berpacu. Siapa lebih cepat, maka dia yang menang.
“Jika pembangunan kota di wilayah itu lebih cepat, maka tersingkir lah urban heritage itu. Ini berarti satu persatu penanda kepahlawanan kota Surabaya akan tanggal. Jika itu terjadi, maka cepat atau lambat, lambang lambang kepahlawanan kota Surabaya sebagai kota pahlawan akan hilang”, tambah Thony.
Maka disaat merefleksi kesejarahan kota Surabaya di bulan Mei 2023 ini, saatnya semua pihak sadar akan pentingnya dalam upaya bersama melestarikan nilai nilai kepahlawanan dan Cagar budaya. (Nanang)