Namanya Sabar Swastono. Karib disapa Cak Sabar. Pendiri Kampung Lawas Maspati. Salah satu kampung heritage di Surabaya. Kampung yang jadi jujugan wisatawan. Baik domestik maupun mancanegara. Berbagai event internasional yang digelar di Kota Pahlawan acap kali menjadwalkan kunjungan ke kampung tersebut.
Kampung Lawas Maspati berada di tengah Kota Surabaya. Berdekatan dengan Tugu Pahlawan dan Pasar Turi yang legendaris itu. Kampung padat penduduk. Memiliki banyak keunikan. Selain masih ada bangunan-bangunan kuno, warga di sana masih memertahankan warisan budaya Suroboyo. Tak terkecuali tradisi gotong royong.
Keunikan-keunikan itu pada akhirnya mengatarkan Kampung Lawas Maspati meraih sejumlah penghargaan. Banyak kepala daerah di Indonesia yang penasaran hingga kemudian datang mengunjungi kampung itu.
Melihat Kampung Lawas Maspati seperti mewakili klangenan warga Surabaya. Terlebih di malam hari, geliat aktivitas warga sungguh berasa. Jagongan, dolanan, main catur, dan lain sebagainya. Di depan pintu masuk gang ada bangunan kecil, di atasnya tertulis “Tiket Masuk Rp 2.000”. Rupanya, selain warga, mereka yang masuk di Kampung Lawas Maspati dikenakan biaya. Juga tersedia paket wisata sebesar Rp 2 jutaan.
Rumah Cak Sabar hanya beberapa meter dari ujung gang. Tidak kelewat besar. Sekitar 6 x15 meter persegi. Di depan rumahnya teronggok tanaman toga. Juga beberapa burung dalam sangkar, kerajinan, dan ukiran kayu.
Di dalam rumah terlihat sesak. Dipenuhi sofa, mesin jahit, vinyl, spanduk, poster, dan barang-barang lain yang sisa dari kegiatan di Kampung Lawas Maspati. Sementara dinding rumah, tertempel banyak penghargaan yang telah dibingkai.
“Masih banyak (penghargaan, red) yang belum saya pajang. Ruangannya gak cukup,” kata Cak Sabar, lalu tersenyum.
Green and Clean
Ihwal lahirnya Kampung Lawas Maspati sejatinya dilatarbelangi oleh keinginan menghidupkan ekonomi warga. Ceritanya, Kampung Lawas Maspati berulangkali dinobatkan sebagai pemenang lomba. Kompetisi yang sering diikuti adalah Surabaya Green And Clean dan Merdeka dari Sampah.
Tiap tahun, Kampung Lawas Maspati selalu memenangi kompetisi yang digelar Pemerintah Kota Surabaya itu. Bahkan, penghargaan yang diperoleh bisa lebih dari satu ketegori. Selain dapat piala, piagam, juga uang pembinaan.
“Setelah jadi pemenang, terus kelanjutannya apa? Itulah yang kemudian memaksa saya untuk mencari terobosan agar Kampung Maspati ini bisa “dijual”,” tutur Cak Sabar.
Pria bertubuh subur itu lalu berpikir tentang peluang pariwisata. Surabaya tidak punya alam yang bisa dijual seperti Bali atau Lombok. Lalu, apakah kampung bisa jadi alternatif? Menjual tradisi dan warisan budayanya. Gampangnya begitu.
Cak Sabar melihat Kampung Lawas Maspati memiliki keunggulan. Berada di situs Keraton di Surabaya. Masih menyisakan rumah-rumah peninggalan Belanda. Juga masih kuatnya akar budaya dan tradisi Suroboyo. Jika bisa dikemas, tentu bisa memberi nilai tambah ekonomi warga.
“Awale yo onok ae sing gak seneng. Cumak aku duwe prinsip, lek sing seneng lebih akeh, mesti sing gak seneng katut. (Awalnya ada juga yang tidak mendukung. Tapi saya punya prinsip, kalau yang mendukung lebih banyak lainnya pasti berjalan, Red),” tutur Cak Sabar.
Cak Sabar dan beberapa warga kemudian menggelar beberapa acara. Hampir tiap bulan. Seperti Jaran Kepang, Manten Pegon, Tari Remo, Musik Patrol Tandak Bedes, dan masih banyak lagi. Penontonnya kebanyakan dari warga sekitar.
Saking semangatnya, Cak Sabar pun mengundang Tri Rismaharini (waktu itu Wali Kota Surabaya). Cak Sabar kemudian mengirim surat kepada Bu Risma.
“Tak surati dewe mewakili tokoh Kampung Lawasa Maspati. Ping pisan, pindo, telu, gak dibales. Tak surati terus. Akhire yo dibales. Paleng Bu Risma grisien be e, ha..ha… (Saya surati atas nama tokoh Kampung Lawas Maspati. Sekali, dua kali, tiga kali gak dibalas. Akhirnya, Bu Risma membalas. Mungkin Bu Risma risih juga, ha..ha., Red).”
Dalam suatu acara, pejabat Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Surabaya dan pejabat kelurahan setempat, datang. Setelah melihat dan menanyakan banyak hal, mereka melaporkan ke Bu Risma.
Cak Sabar tak ingin kehilangan momen. Setelah tahu jadwal kedatangan Bu Risma, Cak Sabar sekaligus melaunching Kampung Lawas Maspati, tahun 2016.
Surati Jokowi
Bukan hanya Bu Risma, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) juga beberapa kali disurati Cak Sabar. Suratnya dilampiri undangan kegiatan. Sama responsnya. Berkali-kali disurati tidak ada balasan. Hingga, suatu ketika ada utusan Kementerian Pariwisata datang.
“Teko mrene, jare nyampekno salam Pak Jokowi durung isok teko. Mboh bener ta gak, gaeku gak penting. Sing penting suratno diperhatekno. (Datang ke sini, katanya menyampaikan salam Pak Jokowi belum bisa datang. Entah benar atau tidak, bagi saya gak penting. Yang penting surat saya diperhatikan, Red).”
Cak Sabar kemudian dimasukkan menjadi anggota kelompok pelestari budaya dan pariwista. Di bawah binaan Kementerian Pariwisata. Mereka yang tergabung di situ sering mengadakan pertemuan. Seperti seminar dan Focus Group Discussion (FGD). Jaringan pertemanan Cak Sabar makin luas.
“Mangkane tak enteni sampek saiki. Mogo-Mugo Pak Jokowi gelem teko nang kampungku. (Makanya saya tunggu sampai sekarang. Semoga Pak Jokowi mau datang ke kampung saya, Red).
Sekarang, kegiatan di Kampung Lawas Maspati lebih semarak. Menneg BUMN Erick Thohir, beberapa waktu lalu, mengunjungi kampung itu. Kunjungan dari berbagai daerah juga jauh lebih banyak dari sebelumnya. Terutama turis asing.
Cak Sabar juga bisa menjual paket wisata sampai jutaan rupiah. Datang ke Kampung Lawas Maspati menikmati suguhan budaya dan menikmati kuliner khas Surabaya.
“Wargaku seneng. Ben onok kunjungan dodolane payu. Dodol panganen, jajan, sopenir. Arek-arek sing isok bahasa Inggris yo seneng. Oleh bayaran dadi guide. (Warga saya senang. Tiap ada kunjungan, jualannya laku. Jual makanan, jajanan, souvenir. Anak-anak yang bisa bahasa Inggris juga senang. Mendapat bayaran dari guide, Red),” ujar Cak Sabar, sumringah. (*)