Surabaya berasal dari Curabhaya, bukan Hujunggaluh

Perdebatan mengenai letak Ujunggaluh, yang dianggap sebagai awal mula Surabaya, masih berlanjut. Kelihatannya diam dan padam, tapi masih menyala, seperti api dalam sekam.

Keyakinan posisi letak Ujunggaluh yang dianggap sebagai awal mula Surabaya didapat dari sumber buku Hari Jadi Kota Surabaya, 682 Tahun Sura ing Baya, terbitan Humas Pemkot Surabaya, 1975. Buku ini merupakan kumpulan artikel dan laporan proses penelitian Hari Jadi Kota Surabaya (1973-1975).

Sebagai rangkuman dan kesimpulan, dituliskan bahwa Hujunggaluh (pelabuhan) letaknya ada di wilayah administrasi Kota Surabaya. Karenanya, selanjutnya dianggap bahwa Hujunggaluh sebagai cikal bakal Surabaya.

Apa benar?

Saya mempelajari dan meneliti baik buku dan peta dengan seksama, sambil mengamati letak alami dari tempat-tempat yang disebut dalam buku Hari Jadi Kota Surabaya itu. Selain mendatangi tempat tempat di Surabaya seperti Kampung Galuhan dan Jagir Wonokromo, juga mendatangi sumber prasasti yang menyebut nama “Hujunggaluh” di Krian (Kabupaten Sidoarjo) dan Canggu (Kabupaten Mojokerto).

Ada poin-poin penting yang ditulis dalam buku Hari Jadi Kota Surabaya yang menjadi kesimpulan bahwa Hujunggaluh ada di wilayah administrasi Surabaya.

Pertama, Kampung Galuhan dianggap sebagai toponimi Hujunggaluh. Kampung Galuhan ini berupa kampung dan ada taman, Taman Galuhan. Letaknya dekat jalan Pawiyatan dan Pirngadi di kecamatan Bubutan.

Disebut dalam buku itu bahwa kata Galuhan dari kampung itu berasal dari perubahan kata “Hujunggaluh”. Juga digarisbawahi bahwa nama Galuhan itu warisan dari nama Hujunggaluh.

Padahal nama Jalan Galuhan itu adalah nama baru sebagai ganti dari nama Belanda. Perubahan nama jalan dari nama-nama Belanda menjadi nama-nama lokal dan Indonesia terjadi pada tahun 1950. Perubahan nama dari nama Belanda menjadi nama lokal ini sebagaimana diberitakan dalam surat kabar Nieuwe Courant, yang terbit pada 28 Maret 1950. Judul beritanya adalah “Wijziging van Straatnamen” (Perubahan Nama Nama Jalan).

Sebelum menjadi nama Galuhan, asalnya bernama Jan Van Der Heidenstraat. Sementara Lapangan Galuhan dulunya bernama Lorentplein. Di sekitarnya ada nama jalan Gambuhan, yang dulu bernama Huygenstraat.

Jadi, nama Galuhan dan Taman Galuhan bukan berasal dari Hujunggaluh seperti yang ditulis di buku Hari Jadi Kota Surabaya.

Baca Juga  Bulan Bung Karno: Warisi Apinya, Jangan Abunya

Kedua, letak Hujunggaluh berdasarkan sumber prasasti Kamalagyan di Krian bahwa berada di hulu sungai. Ini sebagaimana tertulis dalam petikan isi prasasti: “Maparahu samanghulu mangalap banda ring hujung galuh tka”. (Berperahu menuju ke hulu untuk mengambil harta benda di Hujunggaluh).

“Hulu” yang dimaksud adalah hulu sungai. Hulu sungai ini letaknya di selatan-barat (barat daya) dari letak prasasti. Sementara letak Surabaya dari prasasti berada di utara-timur (timur laut). Jika Ujunggaluh terletak di Surabaya, maka itu tidak benar.

Hujunggaluh memang ada dan tersebut, berdasarkan prasasti Kamalagyan 1047 atau pertengahan abad XI, adalah sebuah pelabuhan besar. Ketika itu adalah eranya Raja Airlangga, kerajaan Kahuripan di abad XI.

Hujunggaluh tidak ada kaitannya dengan Surabaya dan pada masa itu nama Surabaya belum ada.

 

 

Curabhaya

Nama Surabaya tersebut dengan jelas baru pada era Majapahit di masa pemerintahan Hayam Wuruk. Nama Surabaya ditemukan pada Prasasti Canggu (1358). Prasasti yang ditemukan di Desa Canggu, Kabupaten Mojokerto ini, menuliskan nama nama desa di tepian sungai (Naditira Pradeca) yang memberi jasa penyeberangan atau tambangan (anambangi). Desa paling hilir di sungai Brantas adalah Curabhaya.

Posisi Curabhaya ini berada di utara Bkul (Bungkul) dan Gsang (Pagesangan). Jadi secara berurutan dari selatan ke utara sesuai aliran sungai adalah Gsang (Pagesangan), Bkul (Bungkul) dan Curabhaya (Surabaya).

Jika nama desa Gsang kini menjadi Kawasan Pagesangan, Bkul menjadi kawasan Bungkul, maka desa Curabhaya kini menjadi Kota Surabaya. Lantas dimanakah desa Curabhaya atau titik awal peradaban Surabaya? Pertanyaan ini yang tidak pernah diulik, ditanya dan dibahas. Padahal rambu rambu mengenai lokasi Curabhaya (Surabaya) sudah ada di depan mata.

 

Lokasi Surabaya

Berdasarkan petunjuk prasasti Canggu, Surabaya di sekitar sungai. Sebagai gambaran dan perbandingan dengan dua desa lainnya (Gsang dan Bkul), posisi keduanya berada di dekat sungai. Pagesangan dekat Kali Surabaya. Bungkul dekat Kalimas. Jelasnya Curabhaya juga dekat sungai di utara Bungkul. Dimanakah?

Baca Juga  Masuk ke Zaman Romawi di kota Nijmegen, Belanda. 

Buku Erwerd Eenstad Geboren (Faber: 1953) menggambarkan Surabaya berada di antara dua sungai: Kalimas dan Pegirian. Bahwa di utara Peneleh terdapat permukiman baru yang dibuka oleh Raja Kertanegara pada 1275 sebagai hadiah untuk para Jawara yang bermukim di Pandean Peneleh (Glagah Arum) atas jasa mereka yang telah membantu Raja dalam menumpas pemberontakan Kanuruhan pada 1270. Permukiman baru itu bernama Surabaya (1275).

Pernah adanya peradaban di Pandean, Peneleh dan Pengampon bisa diketahui dari penemuan arkeologi pada 2018. Yaitu berupa Sumur Jobong di kampung Pandean I Surabaya. Sumur semacam ini jamak ditemukan di bekas ibukota Majapahit Trowulan.

Dari temuan sumur Jobong di Pandean beserta fragmentasi tulang tulang manusia, batu bata kuno dan pecahan keramik, diketahui bahwa orang Pandean (berdasarkan uji karbon tulang tulang di Australia) yang meninggal paling lama adalah meninggal tahun 1430. Selebihnya ada yang meninggal tahun 1600-an.

Jika diambil dari kematian tahun 1430, berarti tahun itu masih masuk pada era era kerajaan Majapahit. Namun sumur nya sendiri yang menjadi bejana atau sarana kematian diduga kuat sudah ada sebelumnya. Tapi tidak diketahui dibuatnya kapan.

Dari satu satunya temuan benda arkeologi di Surabaya ini, maka dapat diduga bahwa kawasan diantara dua sungai: Kalimas dan Pegirian adalah kawasan peradaban tertua di Surabaya.

Nama Surabaya terukir di sana. Pertama tertulis di prasasti Canggu (1358). Ini otentik. Kedua tersebut dalam buku Erwerd Eenstad Geboren oleh Von Faber.

Sayang data otentik dan jelas ini belum ada upaya kajian untuk mencari mula kota Surabaya. Justru yang seolah formal adalah Hujunggaluh. Padahal Hujunggaluh (1047 M) malah belum jelas. Curabhaya (1358 M) lebih jelas.

Berita perubahan nama jalan dari berbau kolonial. Koran Nieuwe Courant, 1950

 

Peradaban di Kalimas dan Pegirian

Curabhaya yang terdeteksi berada di antara dua sungai itu berevolusi dan bergerak. Seiring dengan perubahan waktu dan perkembangan, Surabaya merambah ke utara kawasan Pengampon. Yakni di kawasan Ampel Denta dimana Raden Rahmad datang dan mulai menyebarkan ajaran Islam pada 1440 an.

Baca Juga  Mengenal Henri Maclaine Pont alias Tuan Kreweng, Pendiri Museum Trowulan-Mojokerto

Raden Rahmad tidak hanya menyebarkan agama Islam, tetapi juga menjadi seorang pemimpin masyarakat secara sosial. Menurut Oud Soerabaia, Raden Rahmad yang selanjutnya bergelar Sunan Ampel, juga menjadi kepala daerah, yang selanjutnya disebut bupati Surabaya.

Zaman pun berganti, perkembangan suatu daerah tidak bisa dikungkung oleh alam (sungai) maka perluasan Surabaya bergerak keluar sungai, melintas batas Sungai Kalimas.

Dalam buku yang diterbitkan Asia Maior, Soerabaja 1900-1950 diilistrasikan adanya kompleks pemerintahan klasik Surabaya yang bertempat di barat kawasan Pengampon. Tepatnya di Sulung. Dalam buku itu digambarkan bahwa di kawasan Sulung ini ada kompleks Alun Alun yang lengkap dengan pendopo Kasepuhan (Eerstregent woning) dan pendopo Kanoman (Tweeregent woning).

Selanjutnya kawasan ini menjadi pusat pertahanan Trunojoyo sebagaimana dilaporkan Speelman ketika menyerang Surabaya di bawah Trunojoyo pada 1677. Dalam peta yang dibuat Speelman sebagai laporan, di Sulung disebutkan ada komplek bangunan dari era pra Mataram. Bisa diduga bahwa pra Mataram adalah era Majapahit.

Secara resmi Surabaya diserahkan kepada VOC pada 1743 yang sekaligus sebagai ibukota wilayah Pantai Utara Jawa sisi Timur (Java van den Oosthoek) dengan kepala daerah yang disebut Gezaghebber. Secara sistim, Java van den Oosthoek di bawah pemerintahan seorang Gubernur yang berkantor di Semarang.

Ibukota Java van den Oosthoek adalah Surabaya. Nama Surabaya semakin eksis dari waktu ke waktu. Memasuki era Pemerintah Hindia Belanda, Surabaya selain sebagai ibukota Oost Java, Jawa Timur, Surabaya menjadi wilayah otonom, Gemeente Soerabaia. Sekarang menjadi Kota Surabaya.

Dari kronologis peristiwa dan waktu, Surabaya sekarang bermula dari Desa Curabhaya di era Majapahit. (*)

Di era Airlangga, tidak ada sebutan Surabaya. Kalau toh ada nama Hujunggaluh, tetapi letaknya di Hulu. Bukan di hilir sungai. (*)

Artikel Terkait

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x