Bung Karno, Tugu Pahlawan, dan Perlambang Lingga-Yoni

Masih ada kisah tercecer di balik pembuatan Monumen Tugu Pahlawan. Salah satunya terkait sikap Sukarno rancangan desain Tugu Pahlawan. Hal itu terungkap dalam buku catatan yang dibuat R. Sarodja Prawirodjojo, pelaksana pembangunan Tugu Pahlawan.

Sukarno alias Bung Karno sempat menolak beberapa gambar yang diajukan kepadanya. Karena dianggap tidak cocok dengan keinginan dan harapannya. Hingga kemudian dilakukan beberapa kali revisi. Bung Karno juga ikut turun tangan dalam finishing desainnya.

Hingga akhirnya, disetujui membuat tugu yang berbentuk seperti paku terbalik. Tugu ini memiliki arti bahwa angka 10 terekspresikan pada jumlah lekukan pada tubuh tugu. Kemudian angka 11 atau bulan November terwakili oleh jumlah getah-sap pembentuk batang tubuh tugu. Sedangkan angka 19 diekspresikan melalui jumlah gunungan pada sabuk relief sebagai simbol api perjuangan dan angka 45 terwakili tinggi tugu, yaitu 45 yards.

keberadaan Tugu Pahlawan untuk mengenang perjuangan para pahlawan kemerdekaan bangsa Indonesia dalam pertempuran 10 Nopember 1945 di Surabaya. Pembangunan ditandai dengan peletakan batu pertama oleh Soekarno pada 10 November 1951 dan diresmikan pada 10 November 1952 itu,

Makna peringatan 10 November 1945 inilah yang telah diketahui oleh publik. Padahal, masih ada makna penting lain yang belum dijangkau, yaitu harapan Soekarno kepada generasi penerus bangsa untuk mengisi buah kemerdekaan yang telah dihasilkan para pahlawan bangsa.

Salah satu gambar Tugu Pahlawan.

 

Soekarno menjadikan Tugu Pahlawan sebagai perlambang biologi dan kesuburan, yang melahirkan generasi penerus tangguh. Secara filosofis, Tugu Pahlawan menjadi perlambang Lingga-Yoni, yaitu simbol organ maskulin dan feminin. Lingga (maskulin) mengandung energi penciptaan. Akan tetapi energi tersebut akan bekerja jika disatukan dengan energi shakti, yang disimbolkan dalam wujud yoni (feminin) untuk melahirkan dan memberikan kekuatan bagi energi penciptaan.

Baca Juga  Curabhaya, Surapringga, Su Shui dan Sourabaya

Dengan demikian, penyatuan antara lingga sebagai organ maskulin dengan yoni yang merupakan simbol organ feminin, akan menghasilkan energi yang merupakan dasar dari semua penciptaan.

Secara biologis, bertemunya lingga dan yoni adalah bertemunya organ laki-laki (sperma) dan perempuan (indung telur) sehingga kelahiran anak manusia sebagai pusaka atau energi dalam meraih cita cita.

Lambang maskulin tampak pada wujud tugu yang berdiri tegak menjulang ke atas. Itulah lingga, artinya sebuah objek tegak, tinggi yang menuntut falus atau Batara Siwa.

Sedangkan lambang feminin muncul pada kolam air pada bagian dasar tugu, artinya sebuah tempat untuk melahirkan.

Sementara pemaknaan proses biologi kelahiran ini syuting pada relief sabuk simbol api perjuangan pada pangkal tugu.

Simbol relief ini berupa formasi yang membentuk gunungan (segi tiga) yang di dalamnya terdapat Padmamula (benih awal mula manusia, sperma), stamba (tiang yang berdiri tegak, alat vital pria), cakra-trisula (pusaka pusaka Krisna dan Arjuna, anak manusia).

Legacy

Nama Jalan Guntur dan Jalan Megawati di kawasan Peneleh Surabaya, yang dibuat sejak Maret 1950, diduga kuat terkait dengan Presiden Soekarno yang saat remaja. Di mana pernah hidup di Pandean, Peneleh dan Plampitan. (Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, edisi 1966 dan 2007).

Penelusuran tim Begandring Soerabaia, menemukan sebuah rumah yang menurut pengakuan dan sepengetahuan warga setempat pernah ditempati Soekarno muda. Rumah ini beralamat di Plampitan II, posisinya beririsan dengan Jalan Megawati dan Jalan Guntur. Cucu Soekarno, Puti Guntur Soekarno beberapa kali mengunjungi rumah itu.

Jika Soekarno muda pernah tinggal di Plampitan II, awal 1920-an, dan penamaan Jalan Guntur dan Jalan Megawati pada tahun 1950 ketika sudah menjadi Presiden, diduga Soekarno dengan previlige-nya bisa menyematkan nama anak laki-laki dan perempuannya  sebagai tetenger pribadinya di kampung itu, sebagai legacynya di Kota Surabaya.

Baca Juga  8 September diperingati sebagai Hari Aksara Internasional (World Literacy day).

Guntur nama khas untuk laki-laki, yang secara harfiah berarti halilintar atau petir. Sedangkan petir sendiri merupakan gelar dewa yang dimiliki oleh dewa Indra. Ia dewa cuaca dan Raja Khayangan. Menurut mitologi Hindu, Indra adalah dewa yang memimpin delapan Wasu, yaitu delapan dewa yang menguasai aspek-aspek alam.

Sementara Megawati adalah nama khas perempuan dari kata “Mega”, yang berarti awan dan menghasilkan air. Maka Mega, yang pada akhirnya menghasilkan air, memiliki sifat feminin. Jadi sesungguhnya Guntur dan Mega merupakan simbol semesta. Penyatuan dua unsur utama dalam semesta.

Menurut Hendra Budianto, seorang penganut Buddhis asal Banjar, yang secara praktis bergiat di sejarah peradaban Hindu Budha dan berprofesi arsitek, penyatuan dua unsur utama dalam semesta ini merupakan dwitunggal yang melambangkan  siwa+uma (hindu) dan vairocana-locana (buddha mahayana).

“Guntur yang berarti halilintar dan api, memiliki sifat maskulin atau laki laki. Sedangkan Megawati yang berarti awan dan air, bersifat feminin atau perempuan. Jadi keduanya adalah perpaduan semesta,” jelas Hendra ketika ditemui di Taman Joko Dolog Surabaya, Rabu (29/6/2022).

Adanya dugaan penamaan Jalan Guntur dan Jalan Megawati di kawasan Peneleh ada pengaruh Bung Karno, maka hal itu bisa dibilang penamaan yang sakral dan spiritual oleh Bung Karno, karena melalui perenungan yang dalam dan sangat filosofis.

Nama Guntur dan Megawati menjadi nama jalan di Surabaya adalah sebuah warisan dan pesan kepada rakyat Surabaya, Bung Karno cinta kepada Surabaya sebagai kota kelahiran dan kampung halaman. Tugu Pahlawan, Jalan Guntur, dan jalan Megawati adalah wujudnya. (*)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *