Begandring.com: Surabaya (18/12/23) – Indonesia bisa dibilang negara yang memiliki simbol simbol bahasa. Bukan pada bahasa Indonesia sebagai bahasa nasionalnya, tapi pada bahasa bahasa ibunya yang tersebar dari Sabang sampai Merauke dengan berjajarnya pulau pulau. Di pulau pulau yang dipisahkan lautan itulah simbol simbol bahasa atau akrab disebut aksara (Nusantara) berasal dan bertumbuh.
Khususnya pada Aksara Jawa, yang sejak tahun 2021 dikonggreskan, disadari bahwa keberadaannya ada tapi seperti tiada, hidup seperti mati yang umum disebut mati suri. Semangat Kongres (2021) adalah menghidupkan, benar benar hidup, bisa dipakai dan dimanfaatkan demi pelestarian budaya dan tentu saja yang mensejahterakan masyarakat.
Dengan demikian Aksara Jawa tidak sekadar menjadi hiasan yang bersifat mati, tapi menjadi bagian penting dalam kehidupan sehari hari sesuai dengan zamannya. Aksara Jawa bisa memberi arti penting dalam kehidupan masa kini (modern).
Berikut Perpustakaan Nasional menulis mengenai Aksara Nusantara berikut jejak sejarahnya, termasuk aksara lainnya yang berkembang dari Aksara Jawa Hanacaraka. Aksara apa itu?
Masyarakat Jawa mengenal bahasa dan aksara Hanacaraka, sedangkan Masyarakat Sunda mengenal Cacarakan. Cacarakan sebenarnya juga mengadopsi dari Hanacaraka. Cacarakan ini adalah aksara yang dahulu digunakan oleh masyarakat di Kesultanan Cirebon, kerajaan Sumedang dan Galuh (Ciamis). Juga digunakan sebagai Bahasa pemersatu untuk menggempur VOC.
Kisah bagaimana Cacarakan berkembang, berawal dari ketika Mataram menyerang pasukan VOC di Batavia pada tahun 1626 dan 1628. VOC terlalu kuat dan malah berhasil mencaplok Jawa Barat pada 1800. Sejak itu pemerintah Belanda selain mengajarkan aksara Latin juga memperkenalkan Cacarakan di sekolah Desa.
Susunan Cacarakan memuat cerita yang mudah dihafal :
Hana caraka = ada dua utusan
Data sawala = bertengkar karena kebenaran
Padha jayanya = sama saktinya
Maga bathanga = keduanya gugur.
Masa pendudukan Jepang Cacarakan masih diajarkan di sekolah rakyat, tetapi sejak 1945 tidak lagi diajarkan.
Selain Cacarakan yang digunakan di tiga daerah tersebut (Cirebon, Sumedang, Galuh), masyarakat Sunda lainnya menggunakan Aksara Ratu Pakuan. Pakuan adalah nama ibukota Pajajaran (1482-1578), yang sekarang bernama Bogor.
Bentuk aksara Sunda Ratu Pakuan, jauh berbeda dengan Cacarakan, juga tak mirip dengan aksara zaman Tarumanegara (358-669). Jauh berbeda jika dibandingkan dengan aksara Sunda pada Batu Tulis Bogor.
Aksara Sunda Ratu Pakuan ini sangat mudah dihafalkan, terutama oleh yang telah mengenal angka 7 karena aksara ini hampir semuanya memiliki “bentuk dasar” seperti angka tujuh.
Aksara Sunda Ratu Pakuan ini “ngalagena” (bersua A) dan dilengkapi dengan tanda-tanda untuk mengubah bunyi A menjadi bunyi lain : I-U-E-OE-EU”. Susunan Aksara Sunda Ratu Pakuan sebagai berikut:
PA SA KA WA JA CA RA HA NYA TA MA DA YA NA GA BA LA NGA
Orang yang biasa menulis dengan Cacarakan, tak akan sukar menulis aksara Sunda Ratu Pakuan ini.
Demikian sedikit cerita tentang pengetahuan literasi nenek moyang kita dulu yang sebagian besar dari kita khususnya masyarakat Jawa Barat sudah banyak yang tidak mengetahuinya lagi.
Kini aksara Nusantara, yang meliputi aksara aksara Jawa, Sunda, Bali, Batak dan sebagainya, menjadi tanggung jawab warga negara Indonesia untuk dikembangkan dan dimajukan sesuai dengan UU 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. (nng)