Industri Galangan Kapal Lasem. Warisan yang terlupakan?

Penulis: Mirna Dea Listiani*
Begandring.com-Kota Lasem dikenal melalui sejarah pecinan dan batik tulis nya yang khas. Namun, pernahkah terbayang bahwa denyut perekonomian Lasem di masa lalu juga digerakkan oleh industri galangan kapal sebagai warisan maritim yang kini nyaris terlupakan?

Sebuah kota kecil di pesisir utara Jawa yang menjadi salah satu titik terpenting dalam jalur perdagangan maritim Nusantara. Kota yang menyimpan sejarah yang tak kalah menarik dibandingkan kota-kota pelabuhan yang lainnya. Lasem dikenal sebagai “Tiongkok Kecil” karena menjadi saksi mengenai sejarah panjang migrasi orang Tionghoa ke wilayah ini.

Namun, satu sisi penting dari sejarah Lasem di masa lampau adalah perannya sebagai pusat industri galangan kapal yang pernah menjadi urat nadi perekonomian kawasan pantura.

Sayangnya, sejarah mengenai galangan kapal ini seolah-olah terlupakan dan hilang tanpa menyisakan bekas yang layak untuk dikenang.

Lasem yang terletak di dekat pantai membentang luas menjadi jalur lalu lintas pelayaran Nusantara. Kondisi ini menjadikan Lasem sebagai tempat wisata bahari. Beberapa pelabuhan bagi kapal-kapal besar menjadikan Lasem sebagai tempat persinggahan pedagang-pedagang asing. Sebagai kota yang bergerak pada sektor maritim, hal ini semakin menguat dengan adanya bukti bahwa masyarakat pesisir di Rembang telah memiliki kecakapan dalam teknologi pembuatan perahu/kapal sejak dulu.

Gambar 1. Pekerja Galangan kapal Dasun
Sumber gambar: KITLV

Sejarah galangan kapal di Lasem bukan hanya sekedar catatan teknis tentang pembuatan kapal melainkan mengenai potret bagaimana kota kecil ini bisa memainkan peran besar dalam jaringan perdagangan maritim di Nusantara hingga era kolonial. Pelabuhan Dasun menjadi nadi perdagangan dan industri galangan kapal mampu menyerap tenaga kerja dari berbagai daerah.

Dalam perspektif sejarah ekonomi perkotaan, galangan kapal Lasem dapat dipandang sebagai industri strategis yang dapat memicu pertumbuhan sektor-sektor ekonomi kemudian membentuk ekosistem kota pesisir yang dinamis.

Kebangkitan dari industri galangan kapal Lasem terjadi Pada tahun 1832 di bawah kendali pengusaha Belanda menandai babak baru dalam perjalanannya. Hal ini bermula ketika Tuan Horning menjadi pemilik galangan kapal dan Tuan Browne menjadi pemborong nya. Lalu pada tahun 1836, galangan kapal Lasem berpindah tangan menjadi milik tuan Perry dan pemborongnya tetap sama seperti pada kepemilikan sebelumnya.

Baca Juga  Miniatur Samudramanthana: Jejak Sejarah dari Lereng Mahameru

Pada tahun 1849 galangan kapal menjadi milik Browne en Co yang dijadikan sebagai perusahaan galangan kapal patungan. Setelah itu Firma yang mendirikan galangan kapal Firma Kering Bogel en Dunlop. Lalu di tahun 1913 terdapat Salah satu perusahaan galangan kapal yang paling dikenal yaitu NISEK (Nederlands Indische Scheepsbouw en Kustvaart Maatschappij). Perusahaan ini dikenal akan kualitas kapalnya dan ketelitian produksinya. Namun ketika krisis ekonomi melanda Hindia Belanda pada 1930-an, NISEK gulung tikar menandai fase penurunan industri galangan kapal di Lasem.

Meski begitu, ada nama galangan kapal lain yang muncul sebagai penyelamat yaitu galangan kapal milik Tuan Berendsen. Bermula ketika Berendsen berhasil memenangkan lelang kayu jati dari Sale dan ia melanjutkan produksi kapal hingga masa pendudukan Jepang. Anak perempuannya yang bernama Helena meneruskan usaha galangan kapal sehingga mencerminkan bahwa industri ini tidak hanya hidup secara ekonomi, tapi juga secara kultural dan lintas generasi. Namun, mengapa kejayaannya setelah itu menghilang begitu saja?

Jika dilihat dari kacamata sejarah ekonomi perkotaan, galangan kapal Lasem merupakan contoh tentang bagaimana peran industri dalam menarik tumbuhnya masyarakat urban yang dinamis. Pekerja galangan yang berasal dari berbagai wilayah seperti Rembang, Blora, hingga Juana berdatangan ke Lasem untuk mengadu nasib.

Upah pekerja galangan tergolong kategori cukup pada zamannya menunjukkan betapa strategisnya sektor ini bagi mata pencaharian masyarakat lokal dengan gaji sekitar 20-35 sen per hari.

Upah pekerja galangan termasuk kategori tinggi pada waktu itu. Laporan lain mengenai galangan kapal lain yaitu galangan kapal Berendsen yang masih eksis setelah galangan kapal NISEK tutup menjadi harapan bagi perekonomian di Hindia belanda kedepannya.

Baca Juga  Pancamula Sejarah Kota Surabaya

Namun sesuatu yang menarik bukan hanya dampaknya secara langsung. Adanya industri galangan kapal juga memicu geliat ekonomi di luar sektor maritim. Kehadiran orang asing, tenaga kerja lintas daerah, dan arus barang membuat Lasem menjadi melting pot ekonomi. Pasar lokal menjadi berkembang, usaha kecil bermunculan, dan jaringan perdagangan masyarakat ikut tumbuh. Ini adalah efek berantai dari industrialisasi.

Sayangnya, tidak banyak yang tersisa dari kejayaan itu hingga hari ini. Lasem kini lebih dikenal sebagai kota sejarah dan batik dengan daya tarik budaya Tionghoa yang kental. Namun, jejak galangan kapal yang dulu menjadi pusat kehidupan nyaris hilang dari ingatan kolektif. Bangunan tua yang dulu menjadi tempat perakitan kapal kini menjadi puing atau dipakai untuk fungsi lain bahkan bisa jadi sudah hilang entah kemana.

Tidak ada museum khusus atau monumen khusus yang mengabadikan peran penting industri ini. Hal inilah yang paling disayangkan.

Jika dulu Lasem menjadi salah satu pusat galangan kapal yang sangat terkenal, mengapa kini industri galangan kapal tersebut menghilang seolah-olah Lasem tidak pernah memiliki masa-masa kejayaan karenanya? Yang dulunya pernah menunjang perekonomian ,justru sekarang malah terpinggirkan.

Ironisnya di tengah-tengah melonjaknya pariwisata berbasis heritage, galangan kapal Lasem justru menghilang dari peradaban dan bahkan tidak menyisakan apa-apa.

Sebenarnya menghidupkan ulang ingatan kolektif tentang industri galangan kapal Lasem bukan hanya soal nostalgia belaka tetapi sebagai cara membangun masa depan. Melihat kembali sejarah galangan kapal sama saja melihat potensi ekonomi maritim yang kemungkinan bisa untuk direvitalisasi.

Kita dapat melihat bagaimana negara lain menjaga dan membanggakan warisan industrinya. Misalnya di negara Jepang yang menggunakan kapal Hikawamaru sebagai Museum kapal di mana kapal tersebut merupakan kapal yang diproduksi melalui galangan kapal Yokohama. Hal ini mencerminkan bahwa Jepang tidak membiarkan warisan industri dimasa lalu hilang begitu saja, tetapi dimanfaatkan dan dijadikan sebagai pusat edukasi dan destinasi wisata maritim. Seharusnya Lasem juga bisa memanfaatkan warisan industri di masa lalu dengan melakukan pembangunan museum atau monumen galangan kapal hingga pengembangan situs edukasi berbasis maritim.

Baca Juga  Mengenang Stasiun Secang: Dari Rute Gula, Pertempuran Ambarawa, hingga Kenangan Titiek Puspa

Meskipun jejak mengenai industri galangan kapal di Lasem menghilang, untungnya masih terdapat generasi penerus yang mengangkat kembali kisah tentang galangan kapal Lasem yang tempatnya berada di Desa Dasun, beliau bernama Exsan Ali Setyonugroho yang menulis buku dengan judul Dasun: Jejak langkah dan Visi kemajuannya.

Dalam bukunya beliau menulis tentang dusun Dasun mulai dari sejarahnya hingga membahas mengenai industri galangan kapal pada masa itu. Dengan mengangkat kembali kisah industri galangan kapal Lasem bukan hanya membicarakan soal nostalgia, tetapi tentang bagaimana cara memaknai sejarah sebagai fondasi masa yang akan datang.

 

*Mirna Dea Listiani. Mahasiswi Departemen Ilmu Sejarah FIB Unair

 

Referensi
Basundoro, P. (2023). Pengantar kajian sejarah ekonomi perkotaan Indonesia. Prenada Media.
Handinoto. 2015. Lasem: Kota Tua bernuansa Cina di Jawa Tengah. Yogyakarta: Ombak.
Hanggara, R. (2015, 14 Agustus). Tempat Wisata Seru di Yokohama. Sindo News.com.
https://lifestyle.sindonews.com/berita/1032860/160/tempat-wisata-seru-di-yokohama. Diakses pada 11 Maret 2025.
Kusumawijaya, M. 2023. Kota-kota Indonesia: Pengantar Untuk orang banyak (Volume 2). Depok: Komunitas Bambu.
Lestari, S. N., & Wiratama, N. S. (2018). The dark side of the Lasem maritime industry: Chinese power in opium business in the XIX century. Journal of Maritime Studies and National Integration, 2(2), 91-100.
Nurhajarini, D. R., & Purwaningsih, E. (2015). Akulturasi lintas zaman di lasem: perspektif sejarah dan budaya (kurun niaga-sekarang).  Setyonugroho, E. A. (2021). Dasun: jejak langkah dan visi kemajuannya. Lintas Nalar.
Purnawibawa, R. A. G. (2021). Perahu Tradisional Dalam Dinamika Sejarah Maritim Rembang Setelah Abad Ke-10. Jurnal Widya Citra, 2(2), 44-54.
Unjiya M. Akrom. 2008. Lasem Negeri Dampo Awang Sejarah yang terlupakan. Yogyakarta: Eja Publisher.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *