Ini Cerita Asli Di Balik Pembuatan Film Koesno yang Masuk Nominasi Terbaik FFI 2022

Film dokumenter drama (dokudrama) Koesno, Jati Diri Soekarno, buah karya TVRI Jatim terpilih sebagai nominasi Film Pendek Terbaik, Festival Film Indonesia (FFI) 2022. Film berdurasi 25 menit ini mengisahkan riwayat kecil Soekarno yang kala itu masih bernama Koesno.

Koesno dilahirkan di kampung Pandean, Surabaya. Koesno kecil tidak lama tinggal di Surabaya. Setelah kelahiran pada 6 Juni 1901, enam bulan kemudian pada Desember 1901, ia diboyong orang tuanya pindah ke Ploso Jombang karena sang ayahanda, Raden Sekeni Sosrodiharjo, pindah mengajar. Sukeni adalah seorang guru.

Hidup mereka memang berpindah-pindah. Dari Jombang pindah ke Mojokerto, Tulungagung, dan Sidoarjo. Baru ketika Koesno, yang namanya sudah berganti menjadi Soeklarno, memasuki usia remaja berpindah lagi ke Surabaya karena melanjutkan sekolah di Hogere Burger School (HBS), setingkat SMA.

Ia bersekolah di HBS selama lima tahun mulai 1916 hingga lulus pada 1921. Selanjutnya, Soekarno melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi Technische Hoogeschool atau sekolah Teknik Tinggi (kini ITB Bandung).

Dalam sebuah kesempatan di Technische Hoogeschool, Soekarno sempat meralat isi pidato rektor yang mengatakan bahwa Soekarno dilahirkan di Blitar. Soekarno meralat ketika menyampaikan pidato bahwa ia dilahirkan di Surabaya.

“Jadi, saya Arek Suroboyo, Pak Rektor,” tegas Soekarno kala itu.

Pernyataan Soekarno itu direka ulang dalam film Koesno,Jati Diri Soekarno  yang diperankan Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi.

Itulah sebenarnya inti dari film pendek yang digarap secara kolaboratif antara TVRI Jatim, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unair, dan Perkumpulan Begandring Soerabaia.

Film ini menegaskan bahwa Soekarno lahir di Surabaya, bukan di Blitar. Dalam film tersebut, Eri Cahyadi berperan sebagai Soekarno dewasa.

Baca Juga  Bulan Bung Karno: Warisi Apinya, Jangan Abunya

Menurut Kukuh Yudha Karnanta, pemenang Karya Kritik Film Terbaik, Piala Citra, Festival Film Indonesia 2021, Koesno, yang berhasil masuk daftar nominasi kategori Film Pendek Terbaik FFI 2022 karena Koesno dianggap memiliki potensi baik secara bentuk (sinematografi) maupun konten (isu) yang layak diapresiasi.

Sementara Andre Arisotya, sutradara pelaksana TVRI Jatim, sangat mengapresiasi karya kolaboratif ini. Kata dia, hal ini adalag sebuah capaian yang tidak terduga sebelumnya.

“Yang istimewa adalah pembuktian bahwa sinergi kita bersama bisa membuahkan hasil yang luar biasa, dan hal ini menjadi kabar gembira bagi semua (tak hanya tim TVRI). Secara pribadi, capaian kali ini adalah prestasi yang membanggakan, karena beberapa tahun kebelakang kami memang fokus untuk berkarya di ranah dokumenter,” jelas Andre.

Kukuh Yudha Karnanta menambahkan, FFI adalah ajang penghargaan tertua dan tertinggi untuk perfilman di Indonesia.

“Seluruh maestro film mulai dari aktor, sutradara, akademisi dan semua yang ada dalam ekosistem perfilman terhimpun di dalamnya dan dinaungi oleh Pemerintah Pusat,” tandas Kukuh.

Pada setiap penyelenggaraan FFI, dibagikan Piala Citra untuk 16 kategori. Di antaranya adalah Film Bioskop Terbaik (Piala Citra Utama), Penyutradaraan Terbaik, Pemeran Utama Pria Terbaik, Pemeran Utama Wanita Terbaik dan Pemeran Pendukung Pria Terbaik.

Kategori lain yang pernah ada adalah Skenario Terbaik (sampai tahun 2013), Cerita Asli Terbaik (sampai tahun 2013), dan Pemeran Anak Terbaik (ditiadakan mulai tahun 2019). Selain itu diberikan penghargaan dengan kategori Film Dokumenter Terbaik, Film Pendek Terbaik dan Film Animasi Terbaik.

 

Hasil Kolaborasi

Film Koesno, Jati Diri Soekarno digarap secara kolaboratif dengan melibatkan beberapa unsur yang terdiri dari komunitas, akademisi dan pemerintah serta TVRI Jatim sebagai pelaksana produksi.

Baca Juga  Pemkot Surabaya Jadikan Tari Remo Ekstrakurikuler Wajib

Sebelumnya, Perkumpulan Begandring Soerabaia bersama dan perwakilan FIB Unair mulai melakukan riset pada Juni 2022. Berangkat dari riwayat singkat yang diceritakan dalam buku Penjambung Lidah Rakjat Indonesia karya Cindy Adam, tim periset itu sudah mulai melakukan pelacakan faktual.

Melajak jejak di kampung dan kawasan kelahiran Soekarno. Yakni di Kampung Pandean, Peneleh dan Plampitan. Ada sejumlah petunjuk yang digunakan sebagai penyusunan alur cerita yang memang difokuskan pada kisah Soekarno kecil. Termasuk ketika Soekarno menjadi siswa HBS antara tahun 1916-1921.

Penelusuran sumber juga sampai ke rumah Roeslan Abdoelgani (Cak Roes), di mana ada buku-buku koleksi almarhum Cak Roes yang ada keterkaitan dengan Bung Karno. Misalnya, ada cerita Soekarno remaja, ketika berangkat dan pulang sekolah sering melalui depan rumah bapaknya Cak Roeslan di Plampitan XI.

Selain di rumah Cak Roes, pelacakan data juga dilakukan hingga ke kota Singaraja Bali. Kukuh Yudha Karnanta beserta salah satu staf Disbudporapar Kota Surabaya yang ditugasi melakukan penelusuran, menemukan copy arsip surat penugasan pindah tugas mengajar Sukeni Sosrodihardjo dari Singaraja ke Surabaya.

Sedangkan sumber-sumber kepustakaan ada yang dibeli secara online di Kampung Ilmu di Jalan Semarang, Surabaya. Setidaknya tidak kurang dari 40 buku yang jadi rujukan tentang Soekarno dalam penyusunan alur cerita Soekarno.

Alur cerita ini kemudian dikuatkan dengan tunjauan akademis oleh FIB Unair. Setelah tergambar alur dan plot cerita, kemudian sutradara TVRI merencanakan aktualisasi visual. Terutama plotting dan setting cerita.

“Kami sangat memperhitungkan mulai pakaian, casting pemain dan tempat tempat untuk menampilkan cerita,” ujar Kuncarsono Prasetyo periset dari Begandring Soerabaia.

Selain memiliki konten dan isi cerita yang baik dan layak, maka sinematografi juga menjadi pertimbangan.

Baca Juga  Subtrack, Pabean, dan Tentang Sebuah Nilai

“Perkara sinematografi adalah bagian kawan kawan dari TVRI. Mereka ahlinya,” tegas Kuncarsono.

Bagi TVRI Jatim, pembuatan Film Koesno ini tidak akan ada artinya tanpa kolaborasi.

“Konsistensi mereka dalam merawat dan melestarikan nilai nilai sejarah Surabaya tidak diragukan lagi. Ini penting sehingga tergalilah alur cerita yang baik berdasarkan fakta-fakta yang ada. Film Koesno ini adalah fakta yang tidak pernah terungkat secara visual,” kata Faisal Anwar, sutradara film Koesno, Jati Diri Soekarno.

Dia berharap sinergi dan dukungan semua pihak ini terus berlanjut. Khususnya dalam merawat nilai-nilai sejarah dan kepahlawanan kota Surabaya. (*)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *