Muhibah Budaya Jalur Rempah menggunakan Kapal Dewa Ruci telah diberangkatkan dari Pangkalan Armada Dua Surabaya, Rabu (1/5/2022). Kapal muhibah ini membawa anak-anak muda pilihan dari 34 provinsi di Indonesia untuk mengikuti napak tilas jalur rempah Nusantara.
Mengawali napak tilas, mereka diajak menjelajah kawasan Kalimas dan Pasar Pabean yang menjadi saksi bisu dinamika perdagangan rempah-rempah di Surabaya dari masa ke masa. Mereka dipandu pegiat sejarah dari Perkumpulan Begandring Soerabaia. Anak-anak muda pilihan itu menyebut dirinya, Laskar Rempah.
Selain diperkenalkan terhadap jejak rempah Nusantara, mereka diharapkan bisa menjadi agen yang menggelorakan kembali kejayaan rempah yang kini tidak sejaya dulu. Mereka juga akan memperkenalkan rempah-rempah melalui lima pilar yang menjadi ajang diplomasi, yaitu seni, budaya, ramuan, historia, dan fashion.
Muhibah dengan berlayar mengarungi samudra ini karena posisinya berada di antara dua samudra, yakni Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Juga dua benua, yaitu Asia dan Australia. Artinya, Indonesia berada persis di tengah titik persimpangan.
Posisi silang inilah yang sesungguhnya bisa menjadi pintu bagi Indonesia dalam pembangunan ekonomi, karena akses ke pasar dunia terbuka luas. Bahkan secara internasional, posisi ini membuat Indonesia sangat strategis, terutama dalam bidang ekonomi dan militer. Hal ini telah terbukti dengan posisi strategis yang dimainkan Majapahit pada abad 14.
Dengan posisi alam ini, Indonesia bersifat oceanik yang bercorak maritim. Sehingga secara hukum Indonesia ditetapkan sebagai negara kepulauan dan sekaligus negara maritim. Itu sebagaimana tertuang dalam United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS) 1982. Indonesia disebut Negara Kepulauan (Archipelagic State).
Bagi Indonesia, laut menjadi sumber kekayaan negara yang melimpah dan sepertinya tidak ada habisnya. Laut juga menjadi ajang diplomasi dunia sehingga terjalinlah hubungan antarnegara, baik yang bersifat bilateral maupun multilateral. Karena letaknya sangat strategis, maka Indonesia bisa disebut sebagai Poros Maritim Dunia.
Presiden Joko Widodo dalam sambutannya di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia Timur 2015, Myanmar, menegaskan bahwa dirinya bertekad menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Tujuannya menjadikan Indonesia sebagai negara maritim yang besar, kuat, dan makmur melalui pengembalian identitas Indonesia sebagai bangsa maritim, pengamanan kepentingan dan keamanan maritim, memberdayakan potensi maritim untuk mewujudkan pemerataan ekonomi Indonesia.
Kejayaan Majapahit
Kerajaan Majapahit ketika di bawah kepemimpinan Hayam Wuruk (1350-1389), berhasil menguasai seluruh Nusantara sebagai bangsa yang berdaulat. Majapahit menjadi kerajaan maritim yang jaya dan memiliki kekuasaan besar di Asia Tenggara, kombinasi sekaligus pengganti dua kerajaan besar sebelumnya: Mataram Kuno (negara pertanian) dan Sriwijaya (negara maritim).
Mungkinkah sebuah negara maritim berkembang dan mencapai puncak kejayaan tanpa didukung angkatan laut yang kuat? Tentu saja tidak!
Pada 1343, Gajah Mada bersama Laksamana Nala sudah mampu menaklukkan Nusantara Timur yang dimulai dari Bali, Lombok, Sumbawa, Seram, Sulawesi, dan berakhir di Dompo.
Angkatan laut Majapahit di bawah komando Laksamana Nala merupakan angkatan laut terbesar dan terkuat di dataran Asia Tenggara. Dengan kekuatan kurang lebih 40 ribu tentara, menjadikan Majapahit sebagai sebuah negara adikuasa (superpower) yang disegani di kawasan Asia Tenggara, bahkan lebih habt dari kekaisaran China.
Lima Armada Gugus
Dalam buku Kisah Para Kesatria Penjaga Samudra karya Agus Soeroso dan Majapahit Peradaban Maritim karya Irawan Joko, menceritakan bahwa, Laksamana Nala menempatkan gugus kapal perang yang jumlahnya puluhan untuk menjaga lima titik penting di perairan Nusantara.
Armada Gugus Pertama, bertugas di sebelah barat pulau Sumatera sebagai gugus kapal perang yang menjaga samudera Hindia.
Armada Gugus Kedua, kapal perang yang penjaga Laut Kidul atau sebelah selatan Pulau Jawa.
Armada Gugus Ketiga, bertugas menjaga perairan selat Makasar dan wilayah Ternate, Tidore, dan Halmahera.
Armada Gugus Keempat, menjaga Selat Malaka dan Kepulauan Natuna.
Armada Gugus Kelima, menjaga Laut Jawa hingga ke arah timur sampai kepulauan rempah-rempah Maluku.
Surabaya menjadi pintu gerbang kekuatan Gugus Kelima ini. Armadanya bertugasnya menjaga keamanan kapal-kapal dagang pembawa rempah-rempah yang berlayar melalui Selat Sunda menuju India dan Timur Tengah.
Selain itu, Armada Jawa termasuk armada yang berkekuatan besar karena tugasnya menjaga pusat istana Kerajaan Majapahit sekaligus menguasai jalur laut menuju kepulauan rempah-rempah Maluku.
Di era Majapahit, peran Surabaya sudah terlihat yang salah satunya sebagai bagian dari pangkalan angkatan laut yang bertugas mengawal kapal yang mengusung rempah-rempah.
Tidak heran jika jejak rempah teridentifikasi di Surabaya. Bahkan, keberadaan rempah-rempah masih langgeng hingga sekarang. Diprediksi rempah-rempah masih akan ada di Surabaya.
Ketika pemerintah Indonesia melalui Kemendikbudrustek berupaya agar rempah-rempah Nusantara mendapat pengakuan UNESCO, Surabaya bisa berkontribusi data dan fakta, jika Kota Pahlawan menjadi saksi transaksi dan sirkulasi perdagangan rempah di era Majapahit pada abad 14 dan 15. Bahkan sebelum masa Majapahit.
Tentu dengan pengakuan UNESCO bahwa rempah-rempah sebagai warisan dunia yang berasal dari Indonesia, maka keberadaannya akan memperkuat diplomasi Indonesia sekaligus meneguhkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia.
Dalam rangka mencapai pengakuan dunia, langkah-langkah pengembangan dan pemanfaatan rempah melalui berbagai bentuk diplomasi kegiatan harus terus dilakukan. Ajang diplomasi ini adalah lima pilar rempah yang berupa kegiatan seni, budaya, ramuan, historis dan fashion. Tujuannya agar spirit kejayaan rempah-rempah bisa hidup kembali menjadi nilai dan gaya hidup dalam masyarakat. (*)