Dalam buku Puncak Kekuasaan Mataram karya DR. H.J De Graaf dibahas secara lengkap tentang politik ekpansi (penaklukkan) Sultan Agung di berbagai daerah, salah satunya Surabaya. Berdasarkan sumber dari buku tersebut, saya mengambil beberapa data terkait penaklukan Surabaya mulai tahun 1620 hingga 1625, serta upaya mengidentifikasi lokasi Keraton Surabaya saat itu.
“Dahulu, Surabaya terletak sebagian di sebuah pulau, antara Kali Mas dan Kali Pegirian, dan sebagian lagi di sebelah baratnya. Bagian ini, tempat keraton berada, dilindungi oleh tembok-tembok tinggi . Mengingat bawah bahwa sekitarnya penuh rawa-rawa dan sama sekali tidak sehat, maka dapat dimengerti betapa sulitnya mengepung kota ini.” (De Graaf : Puncak Kekuasaan Mataram, 1958).
Apakah toponim nama tempat “Tembok” dekat Pasar Turi itu dulunya merujuk pada bangunan tembok-tembok tinggi yang mengelilingi Surabaya pada masa silam?
Serangan Pertama, 1620
Berita dari orang-orang Belanda yang ditahan di Taji (Mataram) pada tanggal 20 Maret 1620 menyebutkan bahwa Raja Mataram Sultan Agung Hanyakrakusuma, mengumpulkan 100ribu orang, dan 4.000 orang melalui laut untuk menyerang Surabaya.
Keterangan Artus Gysels yang saat itu baru tiba di selat Madura dengan tiga kapal dari kepulauan rempah-rempah, ia melaporkan raja Mataram menyerang kota dengan 70.000 prajurit. Pasukan Surabaya hanya mengerahkan kurang lebih 30.000 prajurit untuk menghentikan serangan Mataram pada sebuah sungai, yang diduga dekat Wanakrama pada kali Brantas.
Serangan Kedua, 1621
Pasukan Mataram berusaha membakar Kota Gresik dekat Surabaya yang telah ditinggalkan penduduknya, namun dapat ditahan dan dicegah Belanda. Pertempuran Mataram dan Surabaya masih berlangsung.
Raja Mataram berkeinginan agar orang-orang Belanda bersikap netral dalam pertempuran antara Mataram dan Surabaya.
Penduduk Sukadana, 1622
Sebelum menyerang Surabaya lagi, Mataram mengadakan sebuah ekspedisi penyerangan ke Sukadana di Kalimantan yang merupakan daerah kekuasaan Surabaya.
Berdasarkan laporan W. Verhoeven dari Oost Indische Voyagie, bahwa Sukadana diperintah oleh seorang ratu seorang wanita. Dan dibantu oleh seorang Kiai Adipati dalam pemerintahannya.
Pada akhir tahun 1621, pasukan Mataram menyerang Sukadana dengan 70 kapal berisi 200 prajurit. Setengah tahun kemudian pada 6 Mei 1622 armada Mataram yang terdiri dari 100 kapal dengan 2000 pasukan melakukan serangan ke Sukadana. Dan Sukadana dapat ditaklukkan Mataram. Ratu Sukadana yang sudah tua bersama 800 hingga 900 orang ditahan dan dibawa ke Jawa beserta hasil rampasan perang.
Serangan Ketiga, 1622
Di tahun 1622 pasukan Mataram juga melancarkan ekspedisi penyerangan ke Surabaya. Laporan Coen tanggal 24 Desember 1622 menyebutkan bahwa raja Mataram saat itu berada di depan Surabaya dengan kekuatan tempur yang besar.
Orang-orang Surabaya tidak berani ke luar kota. Sehingga pasukan Mataram dapat bertahan beberapa waktu di sekitar Surabaya tanpa gangguan, dan akhirnya kembali ke Mataram karena kekurangan persediaan makanan.
Serangan Keempat, 1623
Pada tahun 1623 raja Mataram mengadakan persiapan lagi akan menyerang Surabaya, dengan mempersiapkan membuat banyak gorab (kapal), karena terdengar kabar raja Johor dengan seluruh armadanya akan membantu Surabaya.
Di pihak Mataram, Kiai Adipati Mandurareja seorang panglima terkenal keturunan Mandoraka yang akan menjadi panglima pasukan Mataram. Berdasarkan laporan Gubernur Jenderal De Carpentier bertanggal 3 Januari 1624, menyebut bahwa pada musim kemarau tahun lalu (tahun 1623), Mataram mengepung Surabaya dari darat, namun akhirnya kembali tanpa berbuat sesuatu yang penting.
Serangan Kelima, 1624
Pada tahun 1624, Mataram berhasil menaklukkan Madura. Ketika pasukan Mataram menghadapi pertempuran di Madura, hal ini membuat pasukan Surabaya sebanyak 800 prajurit menyerang pasukan Mataram yang berada di sekitar Surabaya. Namun pasukan Mataram berhasil merusak tanah dan sawah di sekeliling Surabaya.
Pertempuran Mataram dan Surabaya sudah sampai tingkat terakhir. Sekitar 80.000 pasukan Mataram mengepung Surabaya. Raja Mataram menyampaikan kepada utusan Belanda, Jan Vos agar tidak lagi memberi bantuan kepada Surabaya, dan tidak mengirim kapal-kapal ke Surabaya untuk berdagang.
Raja Mataram meminta kepada Belanda untuk dibantu dengan sebuah kapal, yang bertujuan mencegah pelayaran masuk ke Surabaya, karena akan menutup sungai. Raja Mataram menjanjikan kepada Belanda, tempat tinggal yang bebas di selat Madura dan izin berjalan ke mana saja.
Jatuhnya Surabaya, 1625
Berdasarkan sumber cerita Jawa, bahwa raja Mataram memerintahkan Tumenggung Mangun Oneng dan dibantu Tumenggung Yuda Prana dan Tumenggung Ketawangan juga diikutsertakan beberapa orang Sampang untuk menaklukkan Surabaya.
Pasukan Mataram bergerak maju melalui Japan (Mojokerto) ke “Terres” atau kini Terusan di Kecamatan Gedeg, Mojokerto. Di situ pasukan Mataram berkemah. Di dekat situlah pasukan Mataram membendung sungai yang mengalir ke arah Surabaya.
Sungai dibendung dan air yang mengalir kecil akibat dibendung dicemari dengan keranjang-keranjang yang berisi bangkai dan buah aren. Sehingga penduduk Surabaya terdampak penyakit seperti batuk, gatal, demam dan sakit perut.
Akibat pembendungan sungai, raja Surabaya memanggil para bangsawannya, merapatkan apakah terus berperang atau menyerah. Akhirnya raja Surabaya mengutus putranya yang bernama Pangeran Pekik disertai 1.000 prajurit untuk memberikan hadiah-hadiah berharga kepada Tumenggung Mangun Oneng. Pangeran Pekik mengirim Demang Urawan (Ngurawan) untuk menyampaikan berita kedatangannya.
Sebuah laporan Belanda bertanggal 27 Oktober 1625, memberitakan bahwa pada musim panas, Surabaya menyerah kepada raja Mataram tanpa perlawanan, hanya karena berkurangnya rakyat dan karena kelaparan sehingga dari 50.000 / 60.000 tersisa tidak lebih dari seribu.
Laporan Daghregister bertanggal 1 Mei 1624 menyebut penduduk Surabaya tersisa 500 jiwa, sisanya meninggal dan hilang karena keadaan menyedihkan karena kelaparan, sehingga membuat raja tua dan raja muda beserta rakyat Surabaya menyerah. Inilah pertama kali dalam sumber Belanda ditemukan nama “Pangeran Pekik”.
Setelah Surabaya takluk kepada Mataram, raja Surabaya (Jayalengkara) yang sudah tua menemani putranya (Pangeran Pekik) bertempat tinggal di Ampel, sebuah tempat yang dikeramatkan. Nama “Pekik” diartikan sesuatu yang indah. Namun juga diartikan sebagai fikih, ahli hukum. Kediaman Pangeran Pekik terletak dekat Masjid Suci di Ampel.
Sedangkan Tumenggung Sepanjang diperintahkan menjaga Surabaya. Tentang sosok Tumenggung Sepanjang tidak banyak yang dapat diketahui, hanya ia diduga adalah abdi dalem Adipati Surabaya. Pada tahun 1677, terdapat tokoh yang bernama “Urawan” sebagai gubernur Surabaya. Apakah tokoh ini sama dengan saat tahun 1625, yaitu Patih Urawan?
Hal menarik di sebelah timur Ampel terdapat kompleks pesarean (makam) yang disebut Setono Boto Putih. Di dalam area pesarean selain terdapat makam para bangsawan Surabaya di era selanjutnya, juga terdapat benda purbakala yang menunjukkan kekunoan masa klasik.
Empat buah genuk batu, yang beberapanya terdapat inskripsi Jawa kuna beraksara kuadrat Kadhiri. Juga reruntuhan batu andesit yang diduga bekas bangunan pra Islam, dan tentunya harus dilakukan kajian yang lebih dalam terkait lokasi tempat tinggal raja Surabaya dan Pangeran Pekik pada saat Surabaya ditaklukkan Mataram.
Sebuah nama tempat yang tidak jauh dari Ampel bernama “Sidotopo”, tentunya sangat menarik dilakukan kajian toponimi. Apakah tempat itu dulunya merupakan bekas pesanggrahan untuk menyepi Pangeran Pekik?
Lokasi Keraton Lama Surabaya
Sebuah peta lama yang dikeluarkan oleh Speelman pada tahun 1677, terkait persiapan menghadapi serangan Trunojoyo di Surabaya, menunjukkan sebuah tempat yang dapat diidentifikasi bekas suatu kompleks keraton di sebelah barat sungai Surabaya (Revier van Sourabaja).
Keterangan nomor 7 pada peta tersebut, menyebutkan, “Sebuah bangunan tua dari masa pangeran lama sebelum Surabaya ditaklukkan di bawah kekuasaan Susuhunan Mataram.”
Ada sebagian sejarawan yang menduga bangunan yang dimaksud merujuk pada situs klasik peninggalan masa Majapahit, tapi juga bisa diduga bekas reruntuhan keraton lama masa Raja Surabaya Jayalengkara yang ditaklukkan Mataram, 1625.
Keterangan nomor 8 pada peta juga menyebut adanya sebuah paseban lama yang akhirnya pada masa itu (tahun 1677) dibatasi dengan tembok yang membentang di bawah kaki lerengnya oleh Trunojoyo.
Lokasi-lokasi yang tersebut pada peta 1677, yang berada di sebelah barat sungai (kini Kalimas) adalah lokasi yang kini telah berdiri bangunan gedung Gubernuran. Dan tepat di depannya yang kini berdiri monumen Tugu Pahlawan, dulunya merupakan alun-alun besar.
Tidak jauh dari lokasi itu masih dijumpai nama-nama tempat atau kampung, seperti Kampung Kraton, Kampung Maspati, Kampung Tumenggungan, Pasar Besar, Tambak Bayan, dan lain-lain. (*)
*) R.TP Wijoyo, Pengiat Sejarah Klasik