Bukan hanya sebagai ulama besar dan tokoh pergerakan, tapi dia juga seorang jurnalis. Begitulah sosok KH Mas Mansur. Salah seorang pemimpin Muhammadiyah yang telah diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
Sejak muda, Mas Mansur memang menyukai dunia tulis menulis. Banyak artikel berbobot yang lahir dari pemikirannya. Terutama tentang masalah gagasan pembaruan dan cita-citanya untuk kemerdekaan Indonesia.
Mas Mansur kali pertama menerbitkan Majalah Le Jinem di Surabaya, 1920. Setahun kemudian, dia menerbitkan Suara Santri. Disusul Journal Erude dan Proprieteir. Semua majalah ini membawa suara kaum santri. Karena kata santri saat itu memang mendapat tempat di hati masyarakat.
Nama-nama media yang diterbitkan Mas Mansur, kecuali Suara Santri, memang berasa asing. Mas Mansur seolah sengaja mencomot istilah bahasa Prancis. Padahal kenyataan tidak demikian. Nama-nama media itu berasal dari bahasa Jawa dengan huruf Arab (pegon).
Mas Mansur memang kreatif. Ada yang mengasumsikan pemakaian nama dan logo majalah yang diterbitkan karena Mas Mansur pernah lama di Mesir, di mana Prancis pernah menjajah.
Mas Mansur sangat serius mengurus medianya. Tulisannya serius. Tidak ecek-ecek. Artikel-artikel yang ditulis Mas Mansur berkesan mudah dipahami, singkat, dan padat.
Kalau boleh menyebut, Mas Mansur sangat memegang teguh prinsip jurnalisme profetik. Yang memegang teguh kejujuran, kepercayaan, selalu cek dan ricek, dan punya kecerdasan dalam menyampaikan gagasan dan pemikiran.
Saya mendapat sejumlah bukti dan data dari Shohibudin Qhadir, pegiat sejarah dan juga alumnus Madrasah Mufidah di Jalan Kalimas Udik IC/1, Surabaya. Madrasah tersebut sudah berusia satu abad, didirikan Mas Mansur sejak 1922.
Hingga sekarang, Madrasah Mufidah masih eksis . Sudah meluluskan ribuan siswa. Banyak melahirkan siswa-siswa bertalenta. Khususnya pelajaran membaca Alquran. Beberapa siswa madrasah mampu memenangi lomba tahfidz dan tartil.
Membaca tulisan-tulisan Mas Mansur berasa nglangut, serasa terhanyut ke dalam satu suasana yang intens nan senyap. Rangkaian kalimatnya tampak sangat bijaksana. Tidak menyakitkan hati pembacanya.
Meski ada juga pihak yang bereaksi, bahkan mengecam Mas Mansur lantaran menganggap tulisan-tulisannya berbahaya bagi kelangsungan tradisinya.
Bagi saya, tulisan-tulisan Mas Mansur sangat kontemplatif. Simak saja pandangan dan pemikiran dia soal manusia.
Dia bilang, “Manusia itu lemah bilamana ia berhadapan dengan kemauan dan putusan Tuhan.” Kebodohan manusia tampak pada usia bayi dan ketidakmampuannya menghadapi apa yang terjadi pada masa yang akan datang.
Kelemahan itu, kata dia, hanyalah di kala kita menjadi air, di mula lahir dan setelah kita menjadi bangkai. Tetapi di kala masih hidup kekuatan itu tetap ada di samping kita. Tinggal bagi kita, apakah kita hendak mempergunakannya ataukah tetap kita menurut kelemahan yang asal.
Isi dunia, masih kata Mas Mansur, terbentang di muka kita, Allah halalkan untuk kita. Kenapa kah kita enggan menerima dan mempergunakannya dengan kekuatan dan pengetahuan yang Allah berikan kepada kita.
Membaca tulisan Mas Mansur menunjukkan betapa gigihnya dia dengan mengapungkan harapan cita-cita: mengangkat umat dari jurang kejumudan, khurafat, dan kemusyrikan. Menjadikan umat bangkit menuju kemajuan, keutamaan, dan ketauhidan.
Dalam menyampaikan gagasan pemikiran, Mas Mansur tak pernah takut berpolemik. Yang tak banyak orang tahu, Mas Mansur kerap mendatangi lawan polemiknya bila dianggap ada kesalahpahaman. Dia lantas menjelaskan butir-butir pemikirannya dengan sikap yang ramah.
Reputasi Mas Mansur di bidang jurnalistk diakui banyak kalangan. Dia sempat dipercaya menjadi redaktur Majalah Kawan Kita Yang Tulus di Surabaya.
Bukan hanya itu saja. Ketika Masyumi terbentuk, akhir 1943, Mas Mansur dipercaya menjabat Pemimpin Umum Suara Muslimin Indonesia. Aunurrofiq, anaknya , bekerja juga di sana sebagai staf tata usaha.
***
Nama Mas Mansur memang tak bisa dilepaskan relasi pers dan spirit pergerakan. Publik juga perlu tahu, rata-rata tokoh pergerakan Indonesia adalah jurnalis.
The Begandrimg Institute pada Hari Per Nasional 9 Februari lalu, merilis tokoh-tokoh pergerakan yang juga seorang jurnalis. Mereka memiliki kecakapan dan ketrampilan menulis yang baik.
Pertama, Soekarno, presiden pertama RI. Sejak umur 15 tahun dia menjadi wartawan Oetoesan Hindia milik HOS Tjokroaminto. Soekarno yang kos di rumah Tjokro ikut membantu menulis di koran tersebut.
Di usia 19-20, sedikitnya 500 artikel ditulis Soekarno. Tulisan-tulisan Soekarno dikenal kritis, analitis, dan berkarakter.
Kedua, Ki Hajar Dewantara. Sebagai akademisi, dia punya kemampuan menulis yang baik. Logikanya runtut. Banyak artikel ilmiah ditulisnya dengan bahasa yang mudah dimengerti.
Ki Hajar Dewantara menulis di Sediotomo, Midden Java, De Express, Oetosan Hindia, Kaoem Moeda, Tjhaja Timoer, dan Poesara.
Ketiga, dr. Soetomo. Siapa tidak kenal tokoh yang satu ini? Dia pendiri Budi Utomo, organisasi pergerakan yang pertama di Indonesia. Pernah menempuh pendidikan kedokteran di School tot Opleiding van Inlandsche Artsen, Batavia.
Jarang yang tahu kalau dr. Soetomo ini seorang jurnalis. Dia pendiri surat kabar Boedi Oetomo, Pemimpin Umum Soeloeh Indonesia, pendiri Soeara Oemoem, Panjebar Semangat, Pedoman, dan Tempo.
Dan, sederet tokoh pergerakan lain yang menjadi jurnalis, di antaranya Buya Hamka (Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Suara Muhammadiyah), WR Soepratman (Sin Tit Po), Bung Tomo (Kantor Berita Domei, Kantor Berita Indonesia).
Mas Mansur memang akrab dengan tokoh-tokoh pergerakan itu. Dia juga lekat dengan sebutan empat serangkai, bersama Soekarno alias Bung Karno, Mohammad Hatta, dan Ki Hajar Dewantara.
Di masa penjajahan Belanda, Mas Mansur bergaul akrab dengan Bung Karno. Terutama saat dirinya kembali ke Surabaya setelah tiba dari Mesir untuk menuntut ilmu. Sementara Bung Karno indekos di rumah HOS Tjokroaminoto di Peneleh, Surabaya.
Mas Mansur juga sempat bergabung dengan Indonesische Studie Club (ISC) yang dipimpin dr. Soetomo. ISC didirikan bertujuan untuk menggugah kaum terpelajar supaya mempunyai keinsyafan kewajiban terhadap masyarakat dan memperdalam penguatannya tentang politik.
***
Suatu ketika, lantaran kesibukan berorganisasi, Mas Mansur banyak kehilangan waktu untuk menulis. Waktu untuk berkontemplasinya banyak berkurang.
Seperti dikisahkan Darul Aqsha dalam bukunya, KH Mas Mansur (1896-1946) Perjuangan dan Pemikiran, tokoh yang dijuluki Sapu Kawat Jawa Timur itu, sempat meminta bantuan beberapa muridnya untuk menuliskan artikel-artikelnya.
Dia kemudian memberikan bahan-bahan tulisan kepada murid dan sahabatnya. Mereka yang pernah menuliskan gagasan dan pemikiran Mas Mansur antara lain, Anwar Rasyid, M. Arsyad Al-Donggalawi, Abdul Muin Ampanany, A. Karim DP, Hamka, Amjad, Farid Ma’ruf, dan Ibrahim Assanusi.
Mas Mansur juga menulis beberapa risalah. Di antaranya adalah Hadis Nabawiyah, Syarat Sahnya Nikah, dan Adabul Baks wal-Munazarah (Tata Cara Berdiskusi dan Rapat).
Beberapa murid Mas Mansur yang menghormati jasa-jasanya lantas menuliskan kembali ceramah-ceramah yang disampaikan dalam kursus anggota Muhammadiyah di Surabaya, pertengahan tahun 1930-an. Hasilnya kemudian diterbitkan dalam bentuk buku berjudul Risalah Tauhid dan Syirik.
Selain itu, ada buku berjudul Rangkaian Mutu Manikam dari Kyai Hadji Mas Mansur. Buku ini merupakan kumpulan artikel Mas Mansur yang tersebar di berbagai media, sekira 1930-an. Yang menghimpun, Amir Hamzah Wirjosukarto.
Penghimpun yang sama kemudian melengkapi buku tersebut dengan sejumlah artikel Mas Mansur lainnya. Judulnya, KH Mas Mansur: Pemikiran Tentang Islam dan Muhammadiyah, terbit awal 1986.
Mas Mansur punya kesadaran penuh, betapa penting menuangkan gagasan dan pemikiran melalui tulisan. Tidak sekadar berkata-kata dan beretorika saja.
Seperti yang pernah dinasihatkan oleh Imam Ghazali. Dia bilang, “Kalau kamu bukan anak raja dan bukan anak ulama besar, maka menulislah.”
Juga pesan sastrawan Pramoedya Ananta Toer, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” (*)
*) Agus Wahyudi, jurnalis senior tinggal di Surabaya