Sedikitnya 160 bangunan cagar budaya (BCB) adadi Kota Surabaya. Dari jumlah itu hanya sedikit yang dalam kondisi masih bagus dan terawat. Celaiknya banyak yang memprihatinkan dan sebagain besar telah beralih fungsi dan kepemilikan.
Dari yang sedikit itu, BCB Rumah Abu Han di Jalan Karet, Surabaya tergolong yang masih asli, mulai dari fungsi, kepemilikan, koleksi dan arsitekturnya.
Rumah Abu Han di kawasan Wisata Pecinan Surabaya ini, bak primadona. Banyak orang tertarik untuk melihatnya seisi bangunan tersebut. Apalagi sejak Wisata Pecinan Kembang Jepun atau Kya Kya Reborn diresmikan pada 10 September 2022.
Selama ini, Rumah Abu Han telah menarik perhatian jutaan pasang mata. Namun tidaklah mudah bagi publik untuk mendapatkan akses masuk. Maklum, Rumah Abu Han yang sudah berusia ratusan tahun, bersifat privat, Juga sebagai tempat sembahyangan keluarga.
Tidak semua orang bisa masuk Rumah Abu Han, kecuali keluarga, kerabat dan mereka yang dengan tujuan khusus dengan dilengkapi surat permohonan izin masuk.
Saat Kya-Kya Reborn diresmikan, Rumah Abu Han sempat dibuka. Dan ternyata, rumah ini bagai mutiara yang terselip di antara hiruk pikuk modernisasi kota.
Disebut Rumah Abu Han karena milik keluarga Pecinan Peranakan bermarga Han. Selain luas, fisik rumahnya menjadi representasi keluarga Pecinan, khususnya di Surabaya. Ornamen dan arsitektur bangunan kental bercirikan Pecinan (China Peranakan).
Langam bangunannya diduga dibangun di abad 18 atau pada tahun 1700-an di era VOC. Seperti halnya bangunan-bangunan tua lain semasanya di Jalan Karet. Bangunan Pecinan di ujung selatan Jalan Karet, misalnya, pada bagian terasnya terdapat tegel-tegel terakota yang umum digunakan pada masa VOC.
Sedangkan angka tahun 1700-an terungkap ketika memasuki Rumah Abu Han. Di dalam rumah, terdapat sebuah silsilah keluarga bermarga Han. Silsilah ini berpigora, tergantung pada dinding di salah satu kamar. Orang paling tua dari marga Han adalah Han Siong Kong, lahir di Tiongkok pada 1673, lalu bermigrasi ke Lasem dan mendirikan keluarga Han di sana.
Pada titik pusat silsilah inilah nama Han Siong Kong ditulis beserta tahun kelahirannya (1672-1743). Eksistensi bangunan, fungsi, dan kepemilikan tidak berganti.
Dari abad ke 17 hingga 21 ini, Rumah Abu Han tetap lestari. Masih dimiliki dan dikelola oleh keluarga Han. Adalah Han Robert, keturunan Han Siong Kong ke 9, yang selama ini merawatnya sebagai Rumah Abu Han.
Rombongan Sjarikat Poesaka Soerabaia (SPS)-Soerabaja Heritage Society (SHS) di Rumah Abu Han. foto: begandring
Imigran Tiongkok
Dari nama-nama keluarga Han yang paling dikenal adalah Han Chan Piet, seorang Mayor China (Majoor der Chinezen). Dia lahir di Surabaya pada 1759. Namanya juga dieja Han Tjan Piet atau Han Tian Pit. Ia adalah keturunan ketiga dari Han Siong Kong, orang pertama dari Marga Han yang mulai tinggal di Lasem.
Menurut Han Robert, keturunan kesembilan dari Marga Han yang bermula di Lasem, bahwa Han Siong Kok adalah imigran dari Tiongkok.
“Saya ini generasi kesembilan dari Marga Han di Lasem. Kalau diurut ke belakang hingga ke Tiongkok. Saya sudah generasi Han ke-30,” jelas Robert
Keluarga Han adalah keluarga yang sangat disegani dan berpengaruh di era kolonial. Han Chan Piet, generasi ketiga, dikenal sebagai pejabat pemerintah di era pemerintahan kolonial dan sebagai tuan tanah di Jawa Timur.
Han Chan Piet dikenal dan dikenang karena telah membeli distrik Besuki dan Panarukan pada tahun 1810 dari pemerintah kolonial. Bagi pemerintah kolonial, Han Tjan Piet telah berjasa membantu menambah kas negara di bawah pemerintahan Daendels.
Rumah keluarga Han ini berada di kawasan Pecinan, yang di era kolonial di kenal dengan Jalan Chinese voor Straat (kini Jalan Karet). Dia lahir di Surabaya pada 1759. Ini berarti bahwa rumah keluarga Han ini sudah ada sejak tahun 1700-an.
Han Chan Piet (1759-1827) adalah anak ketiga dari dua belas bersaudara dari Han Bwee Kong (1727-1778). Mereka adalah cucu dari Han Siong Kong (1672-1743), imigran asal Tiongkok yang kemudian datang dan tinggal di Lasem. Han Siong Kong adalah pendiri keluarga Han di Lasem.
Berturut turut dari Han Siong Kong ke Han Chan Piet adalah 1) Han Siong Kong (1672-1743), 2) Han Bwee Kong (1727-1778), 3) Han Chan Piet (1759-1827).
Altar leluhur keluarga Han. foto: begandring
Hidup di Era VOC
Dari Lasem, keluarga Han pindah ke wilayah Ujung Timur Jawa (Java van den Oosthoek) yang beribu kota di Surabaya. Di sinilah keturunan Han mulai menapakkan kakinya.
Lantas, kapan keluarga Han masuk Surabaya?
Sebelum Han Chan Piet lahir di Surabaya pada 1759, ayahnya Han Bwee Kong (1727-1778) dikenal memegang posisi pemerintahan sipil dengan pangkat Kapitein der Chinezen, yang bisa memberi otoritas hukum dan politik atas komunitas Tionghoa di Surabaya. Kebijakan Kapitein der Chinezen adalah sebagai bagian dari kebijakan kolonial Belanda.
Diduga keluarga Han berekspansi ke Surabaya bermula dari putera Han Siong Kong (1672-1743), yaitu Han Bwee Kong (1727-1778). Jika Han Siong Kong mengawali di Lasem. Han Bwee Kong mengawali di Surabaya. Keduanya hidup di masa VOC.
Dari deretan nama keluarga Han, nama Han Chan Piet (1759-1827) yang sangat terkenal. Ia juga seorang Kapitein yang juga dikenal sebagai penyewa distrik Besuki dari tahun 1768 dan Panarukan dari tahun 1777.
Di era gubernur Jendral Daendels, kedua distrik ini dibeli oleh Han Chan Piet. Sebagai putra seorang perwira China, Han Chan Piet menyandang gelar turun-temurun ‘Sia’.
Anggota keluarganya yang menonjol lainnya termasuk adik laki-lakinya, Han Kik Ko, Majoor der Chinezen (1766-1813).
Ruangan keluarga Han yang berada di depan altar. foto: begandring
Keluarga Bangsawan
Multikulturalisme sudah lama ada di Surabaya. Sebelum kolonialisasi masuk Surabaya, seiring dengan hadirnya VOC di Nusantara di abad 17, kehidupan antar entnis di Surabaya sudah tercipta. Mereka yang beragam etnis ini berdiam di kawasan di antara dua sungai: Kali Surabaya (Kalimas) dan Kali Pegirian.
Mereka sudah berbagi ruang untuk sandaran kehidupan. Mereka sudah terlibat pada satu kebutuhan bersama yang saling menguntungkan dan membantu. Mereka terlibat dalam satu kegiatan sosial budaya dan ekonomi. Mereka berdagang. Di sana, berbaur keragaman etnis mulai dari Jawa (lokal) dan pendatang termasuk China.
Bangsa Eropa mulai masuk Surabaya pada awal abad 17, menempati kawasan yang terpisah dari penduduk lokal dan bangsa asing yang sudah ada terlebih dahulu.
Bangsa Eropa ini menempati lahan di barat Kali Surabaya (Kalimas) tetapi langsung berseberangan dengan komunitas Pecinan dan lokal.
Secara de facto dan de jure, bangsa Belanda menerima kekuasaan atas Ujung Timur Jawa (Java van den Oosthoek) pada 11 November 1743 dari Mataram. Sejak itu pula pengaruh Mataram bersama VOC dapat leluasa mengatur dan menata Surabaya. Termasuk menata sistem politik dan pemerintahan.
Keluarga Han ini sangat berpengaruh di era kolonial karena alasan strata sosial ekonomi, dan kekuasaan. Keluarga Han, utamanya Han Chan Piet, ternyata memiliki paman, seorang mualaf dan raja Jawa Ngabehi Soero Pernollo (1720 – 1776).
Han Chan Piet juga memiliki sepupu bangsawan dan birokrat Jawa, Adipati Soero Adinegoro (1752-1833) dan Raden Soero Adiwikromo.
Keluarga bangsawan ini memainkan peranan penting dalam konsolidasi dengan pemerintahan Belanda serta administrasi di kemudian hari termasuk dalam pembangunan ekonomi Jawa Timur.
Sampai sekarang jejak keluarga Han, yang berupa makam, masih ditemukan di Prajekan, Situbondo. Secara lokal disebut Kiai Cekong. Cekong adalah sebutan lokal yang merupakan pergeseran dari kata engkong (kakek). Jejak keluarga Han juga ada di Surabaya.
Kunjungan para peserta program pertukaran mahasiswa merdeka. foto: ist
Puncak Ketenaraan
Puncak dari ketenaran Han Chan Piet ketika dia diangkat menjadi Majoor der Chinezen oleh pemerintah Belanda. Han Chan Piet pertama kali diangkat ke birokrasi kolonial ketika ia diangkat menjadi wakil ayahnya di Surabaya, Han Bwee Kong.
Ketika Han Chan Piet diangkat sebagai wakil ayahnya, ia diberi jabatan Luitenant der Chinezen. Namun ketika ayahnya, Han Bwee Kong, yang bergelar sebagai Kapitein der Chinezen dari Surabaya meninggal pada 1778, ia diberi gelar Kapitein.
Jadi, jabatan Han Chan Piet berganti dari Luitenant der Chinezen naik ke Kapitein der Chinezen. Hubungan antara Han dan pemerintah berjalan baik.
Pada tahun 1796, Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) selanjutnya memberikan hak eksklusif kepada Kapitein untuk kedua distrik itu seumur hidup. Yakni Besuki dan Panarukan.
Selama berlangsung pemerintahan Perancis dan Inggris (1806 – 1815), Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, memutuskan untuk mengisi kas negara dengan menjual tanah pemerintah, termasuk pada tahun 1810 menjual distrik Besuki dan Panarukan.
Disaat pemerintah membutuhkan kas negara, lalu Kapitein Han Chan Piet berkenan membeli aset itu dengan harga 400.000 dolar Spanyol. Atas jasa pembelian asetnya di Besuki dan Panarukan, Han Chan Piet kemudian dipromosikan oleh Daendels ke jabatan yang lebih bermartabat. Yaitu Majoor der Chinezen.
Jadi, karir Han Chan Piet beranjak naik dari Luitenant der Chinezen kemudian menjadi Kapitein der Chinezen. Terakhir dinaikkan Daendels menjadi Majoor der Chinezen. (*)