Balai Kota adalah lambang supremasi pemerintahan di wilayah kota. Disanalah sistim pemerintahan dan kekuasaan tertinggi pemerintahan kotamadya atau kota. Kota Surabaya memiliki lambang supremasi pemerintahan itu di Ketabang.
Balai Kota Surabaya, yang diarsiteki oleh arsitek Cosman Citroen, mulai dibangun pada 1925 dan diresmikan pada 1927. Pembangunan Balai Kota ini dikerjakan di masa Dykerman, wali kota Surabaya kedua yang berkuasa mulai 1920-1926.
Siapakah wali kota Surabaya pertama? Adalah A. Meijroos yang menjabat mulai 1916-1920. Mayroos terlibat dalam proses awal perancangan, yang selanjutnya dilakukan melalui sayembara seperti bagaimana kota Rotterdammendapatkan design Balai Kota.
Mengapa perlu kantor Balai Kota baru?
Sejak lahirnya Pemerintah Kota Surabaya pada 1 April 1906, Kota Surabaya tidak memiliki kantor. Pada awalnya pemerintah Kotamadya Surabaya menumpang di Kantor Residen Surabaya yang berlokasi di barat Jembatan Merah.
Jadi, di bangunan yang menghadap ke Kalimas itu ada Kantor Karesidenan Surabaya dan Kantor Kotamadya Surabaya (Balai Kota atau Stadhuiz). Sebuah bukti bahwa gedung ini juga berfungsi sebagai Balai Kota (Stadhuiz) adalah nama jalan yang persis di belakang Kantor Balai Kota. Jalan ini bernama Stadhuizsteeg atau Gang Balai Kota (sekarang Jalan Gelatik).
Stadhuiz yang berarti Balai Kota menjadi bukti bahwa Pemerintah Kotamadya Surabaya pernah berkantor di Kantor Karesidenan Surabaya.
Tidak hanya menumpang di Kantor Karesidenan Surabaya, pemeritah Kotamadya Surabaya juga menyewa rumah untuk menjalankan administrasi Kotamadya Surabaya. Dari Kantor Karesidenan Surabaya, lalu pindah ke jalan Gemblongan, jalan Denverter, kawasan Tegalsari. Selanjutnya menempati gedung sendiri di Ketabang. Inilah Balai Kota Surabaya.
Pemerintah Kota Surabaya pada akhirnya membangun Kantor Balai Kota setelah masa masa yang cukup panjang jika dihitung mulai 1906 hingga 1925.
Gagasan membangun Kantor Balai Kota ini muncul dengan alasan sebagaimana ditulis oleh Joko Triwinarto Santoso dalam karya ilmiah yang berjudul “A Study of Architec Cosman Citroen (1881-1935) and His Works in Surabaya”, Universiteit Leiden, 2010. Joko menjelaskan beberapa alasan.
Pertama, sentralisasi. Pemerintah perlu memusatkan segala aktivitas di satu tempat. Selama itu urusan urusan dan layanan pemerintah tersebar di berbagai tempat. Ini tidak efisien. Layanan yang sporadis ini pernah direview oleh Wali Kota Dykerman dalam rapat Dewan Kota pada 27 April 1921.
Kedua, untuk mengamomodasi bertambahnya urusan dan layanan. Bertambah tahun kota Surabaya kian berkembang dan semakin banyak urusan dan layanan yang harus dikerjakan. Butuh percepatan dan keakuratan layanan. Ini butuh satu tempat untuk memudahkan koordinasi. Dinamika ini terjadi setelah tahun 1913.
Ketiga, pertumbuhan ekonomi yang bagus. Bahwa dari tahun 1910 hingga awal 1920-an pertumbuhan ekonomi di Surabaya meningkat. Banyak perusahaan dan Kantor Kantor dibuka di Surabaya dan ini semua membutuhkan layanan yang baik dan cepat. Maka perlu Kantor Balai Kota.
Keempat, harga sewa properti naik. Selama ini Kantor kantor pemerintah sifatnya sewa dan beban anggaran untuk ongkos sewa semakin besar. Lebih baik alokasi anggaran untuk investasi pembangunan daripada dibuang untuk sewa.
Sayangnya semua latar belakang untuk membangun Balai Kota ini tidak segera mendapatkan persetujuan Dewan Kota. Baru pada 1915, Dewan Kota menyetujui proposal pembangunan. Tahun 1916, A Meijroos menjadi wali kota pertama Surabaya dan segera mewujudkan rencana pembangunan Balai Kota.
Selesai Tahun 1927
Setelah ada persetujuan dari Dewan Kota untuk pembangunan Balai Kota, ternyata proses pembangunan Balai Kota berjalan alot. Banyak perdebatan dalam prosesnya.
Pertama, ada ketidaksepakatan anggota dewan dengan langkah Wali Kota Mayroos yang menunjuk langsung arsitek Citroen untuk design dan pembangunan Balai Kota.
Menurut anggota dewan A. van Gennep dan J.M. Eschbach, perlu ada pembanding dengan C. Citroen. Karenanya harus ada sayembara men-design Balai Kota. J.M. Eschback mencontohkan Kota Rotterdam bahwa dalam perancangan design Balai Kota dilakukan melalui sayembara.
Kedua, lomba design Balai Kota. Lomba ini butuh proses. Apalagi Citroen adalah peserta sayembara dan di Hindia Belanda tidak ada juri yang bisa menilai karya-karya arsitek.
Menurut Mayroos, jika juri didatangkan dari Belanda, belum tentu mereka mengerti kondisi dan iklim di negeri Hindia Belanda.
“Bisa jadi rancangan mereka bagus, tapi belum tentu adaptif dengan kondisi alam di Hindia Belanda,” kata Meijroos.
Ketiga, depresi ekonomi. Memasuki tahun 1922 terjadi depresi ekonomi. Barang barang termasuk material bangunan, harganya melambungkan. Ini sempat menyebabkan lambatnya rencana pembangunan.
Keempat, proyek perbaikan kampung. Di saat yang sama ketika keinginan membangun Balai Kota bertabrakan dengan masalah kondisi kampung yang tidak bagus.
Sudirman, salah satu anggota dewan pribumi, yang mengusulkan agar mendahulukan kepentingan warga dengan memperbaiki kampung kampung. Ia menyarankan agar ada pengalihan peruntukan anggaran dari untuk pembangunan Balai Kota ke perbaikan sanitasi kampung.
Menurutnya apalah artinya memiliki Kantor pemerintah yang besar dan indah, tapi kondisi perumahan dan lingkungan kampung jelek dan tidak sehat.
Setelah melalui proses yang panjang akhirnya pembangunan Balai Kota bisa dimulai pada 1925 dan selesai pada 1927. Peresmian dilakukan pada 1927 oleh wali kota Surabaya ketiga, J.M. Easchbach (1926-1934). Sebelum menjadi walikota, Easchback duduk di Dewan Kota. Dialah walikota pertama yang berkantor di Balai Kota Ketabang. (nanang purwono)