Dalam artikel ini, saya ajak Anda datang ke Klenteng Boen Bio. Didirikan pada 1907 di salah satu kawasan Pecinan Surabaya, Kapasan. Inilah satu-satunya klenteng khusus agama Khonghu Chu di Asia Tenggara.
Apa gak mbois…
Bangunan ini begitu keren. Menggunakan jasa arsitek untuk merancangnya. Sungguh sayang jika tidak pernah mampir ke sini. Apalagi kalian orang Surabaya. Ukiran yang rumit dan detail, hingga cerita yang mewarnainya menjadikan tempat ini sungguh istimewa.
Awalnya, klenteng ini dibangun sederhana pada 1883, menghadap Kampung Kapasan Dalam. Namun, pada 1907, tampak depan bangunan dibalikkan mengarah ke jalan utama Kapasan. Tentu supaya lebih gagah dan agar lebih mudah dijangkau. Berarsitektur campuran Tiongkok, Jawa, dan Kolonial, klenteng ini sama sekali tidak pernah direnovasi sejak berdiri.
Sempatkanlah mampir ke Boen Bio jika berkunjung di Kota Pahlawan! Kalian akan menemukan suasana tidak lazim layaknya klenteng lain di Indonesia. Bahkan juga tidak akan ditemukan di Malaysia dan Singapura. Negara tempat Peranakan terbesar.
Deretan kursi-kursi mirip gereja berbaris menghadap altar adalah satu yang tidak umum. Ini juga dilengkapi mimbar di bagian depan untuk khotbah. Klenteng ini juga minim lilin-lilin raksasa dan asap dupa yang kadang menyesakkan napas.
Di dalamnya tidak ada patung Dewi Kwan Im. Ia juga tak memiliki patung dewa-dewi lain, yang lazim ditemui dalam klenteng Budha maupun Taoisme.
Hanya ada patung beberapa penggambaran nabi. Namun itu pun tidak ditempatkan di sumbu utama altar seperti umumnya.
Justru malahan ada foto Gus Dur, Presiden ke 4 RI. “Foto Gus Dur ini ditaruh di altar setiap tahun kematian beliau”, terang Liem Tiong Yang, Pengurus Klenteng ini.
“Kami bersembahyang juga mendoakan Gus Dur, karena bagi kami Gus Dur Pahlawan,” imbuh dia.
Saya menyempatkan datang khusus ke tempat ini untuk menyaksikan detail interior dan berdiskusi banyak dengan beberapa orang di dalamnya. Betapa bangunan ini tidak sekadar tempat ibadah.
Kampung Kapasan menjadi bagian dari sejarah gerakan warga Pernakan pro kemerdekaan RI. Ini unik, karena tentu menabrak anggapan umum, jika suku Peranakan dinilai hedonis dan tidak pernah berpihak pada kemerdekaan.
Begitu uniknya Peranakan di Kapasan, sampai-sampai orang luar menjuluki warga sini ‘Buaya Kapasan’. Panggilan untuk para pemberani, pendekar kungfu, dan aktivis kebangsaan.
Banyak orang besar berjuang dari Kapasan. Salah satunya, Liem Koen Hian, pendiri Partai Tionghoa Indonesia dan anggota BPUPKI. Pada awal 1930an, Liem makin radikal, dia menganjurkan orang-orang Tionghoa mendukung nasionalisme Indonesia. Liem memakai Boen Bio untuk markas gerakannya.
Lim Seng Tee, pendiri kerajaan bisnis tembakau Sampoerna, tercatat ‘jamaah’ Boen Bio. Taipan ini penyumbang utama gerakan kemerdekaan pimpinan dr Soetomo di Bubutan Surabaya.
Sekolah Tiong Hoa Hwee Koan (THHK), sebuah gerakan pendidikan peranakan antikolonialisme embrionya juga lahir di sini. Menurut tulisan Shinta Devi Isr dalam bukunya berjudul, Boen Bio, Benteng Terakhir Umat Khong Hu Chu, menyebutkan bangunan ini bukan sekadar rumah ibadah, dia telah menjelma sebagai basis perlawanan.
Dalam tulisannya, Boen Bio adalah klenteng terakhir yang berjuang sekuat tenaga menghadapi Kristenisasi di kalangan orang Tionghoa pada zaman Hindia Belanda.
Sejak 1907, pemerintah membuka Holland Chineesche School, sekolah-sekolah berbahasa Belanda untuk orang Tionghoa yang dibuka di seluruh Hindia saat itu. Belanda mendorong organisasi-organisasi Kristen Protestan dan Katholik, membuat sekolah-sekolah swasta yang berafiliasi ke pemerintah.
Sebenarnya banyak yang melawan, namun tinggal Boen Bio yang bertahan. Kuatir Peranakan akan meninggalkan agama dan budaya leluhur mereka. Makanya, sekolah THHK didirikan. bahkan menyebar se-Nusantara. Sekolah ini benar-benar mati, ketika rezim Orde Baru lahir.
Di masa pemerintahan Suharto, ketika Khonghu Chu dihapus, Boen Bio bertahan. Banyak ras peranakan tepaksa pindah keyakinan akibat stigma Orba. Hampir semua klenteng dipaksa ‘merger’ menjadi Tempat Peribadatan Tri Dharma, (tiga keyakinan), namanya wajib diganti berbahasa Indonesia, Boen Bio tidak pernah ganti nama.
Sungguh Boen Bio tidak sekadar rumah ibadah. Di sini simbol perlawanan kolonialisme, perlawanan penyeragaman kebudayaan. Maka belajarlah sejarah dengan benar, pasti kita akan tahu bahwa sejatinya setiap ras di negeri ini punya andil. Sehingga kita tidak merasa paling berjasa. (*)