Begandring.com – Kota Surabaya, secara fisik, mulai dibentuk sebagai cikal bakal sebuah kota ketika kolonialisasi masuk. Yaitu ketika VOC masuk Nusantara di abad 17. Menurut Asia Maior dalam buku Soerabaja 1900-1950, bentukan fisik itu diawali dengan dibangunnya sebuah kantor dagang (trading post) pada 1617 ketika Jan Pieterszoon Coon berkunjung ke Surabaya, pasca kunjungan Hendrik Brouwer (1612).
Lokasi kedatangan Jan Pieterszoon Coen (1617) maupun Hendrik Brouwer (1612) digambarkan di sebuah pelabuhan kali, yang di sekitarnya sudah terdapat kawasan permukiman. Menurut Asia Maior, Hendrik Brouwer bertemu seorang adipati dan memperbincangkan perihal komoditas perdagangan.
Kota Surabaya 1866
Diduga pelabuhan kali dimana petinggi VOC menginjakkan kakinya di awal abad 17 adalah di pelabuhan kali Pegirian. Di kawasan ini pada awal abad itu sudah menunjukkan adanya dinamika peradaban kampung yang disebut Ampel Denta. Sementara Kali Pegirian adalah anak Kali Surabaya (Kalimas) yang sudah diketahui menghubungkan Ampel Denta dan Bungkul di abad 15.
Ampel Denta dengan Kali Pegirian, yang berada di sebelah Timurnya Ampel, berseberangan dengan perkampungan Boto Putih, Kebon Dalem dan Kertopaten, yang sama sama menunjukkan sebuah kawasan permukiman. Jadi, Kali Pegirian mengalir di antara perkampungan kuno Ampel Denta (barat) dan Kebon Dalem (timur).
Kali Pegirian secara otentik dicatat oleh Laksamana Speelman ketika datang menghadapi Trunojoyo pada 1677, berselang 60 tahun sejak kedatangan Jan Pieterszoon Coen (1617). Dalam catatan itu, Speelman menggambarkan pergerakannya dan peta serangan dalam menghadapi Trunojoyo. Ia menggambarkan bahwa ia masuk melalui Kali Pegirian. Kali Pegirian berada di utara Kampung Ampel dan Kebon Dalem.
Sementara Kali Surabaya memiliki alur di sisi barat dan mengalir ke Barat yang akhirnya bermuara di Teluk Lamong (sekarang). Kala itu Kali Surabaya (Kalimas) memiliki alur yang berkelok ke barat setelah melalui Kampung Pecinan, lalu berkelak kelok ke arah Krembangan dan bermuara di Krembangan.
Dalam perkembangannya pasca kedatangan Hendrik Brouwer (1612), Jan Pieterszoon Coen (1617) dan Speelman (1677), maka semakin terbangunlah keberadaan perkampungan Eropa yang mengambil tempat di kawasan dimana Trading Post itu berada. Trading Post dibangun oleh Jan Pieterszoon Coon di Barat Kalimas (1617), yang berseberangan dengan Kampung Pecinan yang terlebih dahulu sudah ada. Kampung Pecinan, dalam istilah Tionghoa, adalah 泗水 Su-Sui atau Si Shui.
Rupanya pendirian trading post oleh Jan Pieterszoon Coon tidak bercampur dengan pemukiman yang sudah ada sebelumnya. Yaitu di kawasan Ampel Denta dan Pecinan yang sama sama di antara dua sungai: Kali Surabaya (Kalimas) dan Pegirian. Tetapi di barat Kalimas yang tepatnya di seberang Kampung Pecinan.
Sekarang titik trading post itu berada di ujung tenggara gedung Jembatan Merah Plaza. Sejak dibangun pada 1617, dalam perkembangannya kantor dagang VOC (trading post) berubah fungsi menjadi sebuah benteng pertahanan militer. Selain berfungsi untuk mengamankan kepentingan dagang VOC, benteng ini pada akhirnya digunakan untuk menjaga perkembangan permukiman Eropa yang bercokol di sebelah selatan benteng.
Maka disanalah perkembangan perkampungan Eropa ini tumbuh. Satu abad kemudian, perkampungan Eropa semakin kelihatan sebagai tempat yang memiliki struktur kota sebagaimana ada di kota kota di Belanda. Struktur kota Eropa Surabaya ini memang memboyong pola sebuah kota di Eropa, khususnya Belanda.
Letak Surabaya (Soerabaya, awal penulisan nama kota versi Belanda) berada di tepian Kali Surabaya (Kalimas). Tepatnya di barat Kalimas dan berseberangan dengan Kampung Pecinan (泗水 Su-Sui atau Si Shui). Kala itu lahan yang ditempati Surabaya merupakan lahan kosong yang belum berpenduduk. Berbeda dengan lahan yang berada di antara Kalimas dan Kali Pegirian ynag sudah didiami.
Awal Kota Kota di Belanda
Dalam sebuah acara talkshow peluncuran buku “Meneropong Sejarah Surabaya dari Sungai Kalimas” pada 30 Mei 2023 di sebuah stasiun televisi lokal di Surabaya, seorang undangan yang datang dari Belanda, Emile Leushuis, mengatakan beberapa kota di Belanda seperti Amsterdam dan Rotterdam bermula, tumbuh dan berkembang dari dan di tepian sungai.
Tidak hanya Amsterdam dan Rotterdam sebagai kota kota besar di Belanda, kota kota lainnya seperti Nijmegen dan Zutphen juga mulai bertumbuh di tepian sungai.
Nijmegen
Nijmegen merupakan kota tertua di Belanda. Kota ini dibuat oleh Kekaisaran Roma pada tahun 100 sebagai pangkalan penting dan strategis. Leteknya persis di tepi sungai Waal dan dekat dengan perbatasan Belanda-Jerman. Dari Amsterdam, Nijmegen berada di sebelah timurnya dan merupakan kota besar di propinsi Gelderland.
Sebagai kota kuno, Nijmegen meninggalkan jejak jejak arkeologi yang kemudian ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia (world heritage). Di abad ke-8, Nijmegen dikenal dengan nama Numaga dan menjadi bagian dari Kekaisaran Frankish. Kemudian Kaisar Charlemagne menjadikan Numaga sebagai tempat tinggalnya di wilayah utara. Sejak itu, maka jadilah Numaga sebagai wilayah permukiman dagang.
Di abad 12, Numaga mengalami pertumbuhan dagang yang luar biasa. Secara berkelanjutan di abad 13 dan 14, Numegen berevolusi menjadi “Nieumeghen” (Meghen Baru) dan kotanya berkembang ke arah selatan karena di utara nya mengalir sungai Waal. Perkembangan kota ini menjadikan kota harus membangun tembok kota. Di dalam batas tembok kota inilah, kota berkembang secara dinamis dan organik.
Dari (Numaga) Nieumeghen kemudian menjadi Nijmegen adalah kota yang bersejarah panjang dan bertumbuh pesat secara ekonomi sejak abad 12. Namun ketika memasuki abad 16, terjadilah perubahan politik dan agama yang menjadikan Nijmegen mengalami penurunan ekonomi. Perekonomian dan kesejahteraan anjlok.
Di sepanjang jaman itu Nijmegen tetap mempertahankan tembok kotanya. Di penghujung abad 18, penduduk Nijmegen tercatat berjumlah 10.000 orang. Di abad 19, tepatnya tahun 1870, penduduk Nijmegen melonjak drastis. Jumlahnya mencapai 23.000 penduduk di dalam tembok kota yang luasnya sekitar 1 kilometer persegi.
Antara tahun 1876 – 1882, tembok kota itu harus dibongkar untuk perkembangan kota dan mengakomodasi pertumbuhan penduduk. Tahun 1879 dibangunlah jaringan kereta api yang menghubungkan Nijmegen dan Antwerp. Nijmegen semakin berkembang. Sejak itulah diberlakukan undang undang yang menata perkembangan kota, yang salah satu diantaranya adalah penyediaan perumahan untuk antisipasi pertumbuhan penduduk.
Sekarang Nijmegen menjadi kota yang terus berkembang dan maju namun tetap memperhatikan peninggalan sejarah. Kawasan kota tuanya yang disebut Benedenstad dan Stadcentrum adalah kawasan yang dilindungi sebagai upaya menjaga identitas dan DNA wilayah.
Surabaya dan Nijmegen
Kota Surabaya dan Kota Nijmegen memiliki kemiripan. Keduanya dibangun di tepian sungai. Surabaya berada di tepi Kali Surabaya (Kalimas). Sedangkan Nijmegen berada di tepi sungai Waal. Keduanya adalah kota bertembok, selain keduanya juga memiliki sebuah benteng pertahanan kota.
Mereka berdua berangkat dari era klasik. Nijmegen bermula dari era Kekaisaran Roma di abad ke 2. Sedangkan Surabaya berangkat dari abad 13 di era kerajaan Singasari yang berlanjut di era kerajaan Majapahit. Surabaya dan Nijmegen adalah desa di tepian sungai. Dalam bahasa Sanskerta (di Jawa) dikatakan Naditira Pradeca.
Curabhaya (era klasik) diduga di kawasan Pandean-Peneleh sebagai kawasan permukiman asli (pribumi kuno). Kemudian bercokol permukiman etnis China di kawasan tepian sungai di utara Pendean Peneleh yang oleh warga etnis China dinamakan 泗水 Su-Sui atau Si Shui, yang secara harafiah berarti Empat Air atau kawasan yang dikelilingi oleh 4 sungai. Kawasan ini dikenal dengan kawasan Pecinan yang secara fisik natural diapit oleh sungai Kalimas (Barat), sungai Pegirian (Timur), Kali Mati (Utara) dan kanal mati (selatan). Diduga mulai ditempati pada akhir abad 13.
Di era Raden Rahmad pada pertengahan abad 15, terdapat permukiman Ampel Denta dimana warga muslim mulai menempati kawasan yang sebelumnya sudah ditempati oleh peradaban sebelumnya. Di tempat ini Raden Rahmad yang selanjutnya dikenal dengan Sunan Ampel memimpin kawasan ini. Baik sebagai pemimpin agama (ulama), maupun sebagai pemimpin rakyat (bupati) serta sebagai saudagar.
Peradaban terbaru adalah etnis Eropa yang menempati lahan di barat Kalimas. Di tempat inilah struktur kota moderen yang memboyong ala kota Eropa diterapkan, utamanya Belanda. Penerapan ini tidak hanya corak pembangunan fisik, tapi juga sistim administrasinya. Ada Balai Kota, ada gereja, ada alun alun (square) ada infrastruktur pelabuhan dan lain lain.
Di abad 19, ketika sudah menunjukkan struktur kota lengkap dengan alat alatnya, kedua kota ini sama sama mengalami pembangunan dan perkembangan. Akhirnya tembok kota dibongkar pada kisaran pertengahan abad 19. Perkembangan kota bergerak ke arah selatan. Pusat kota bernama Benedenstad.
Di Surabaya, pusat kotanya (kota tua) disebut Benedenstad. Sedangkan di Nijmegen disebut Benedenstad dan Stadcentruum. Daerah pemekarannya baik di Surabaya maupun di Nijmegen bernama Bovenstad.
Perkembangan Zaman
Sekarang kota Nijmegen di Belanda menjadi kota yang maju dengan perkembangan infrastruktur dan propertinya. Bangunan pencakar langit seolah menghiasi langit kota. Namun kota ini masih memperhatikan keberlanjutan sejarah, heritage dan lingkungannya sehingga menjadi kota yang ramah sejarah dan cagar budaya.
Kawasan kota tua, Benedenstad dan Stadcentruum, mendapat perhatian. Lingkungan Heritage Urban Landscape (HUL) dijaga sedemikian rupa agar tidak terjadi kerusakan kerusakan pada bangunan dan lansekap heritagenya. Sehingga pada akhirnya kawasan heritage perkotaan nya menjadi ruang publik yang nyaman bagi warga maupun pendatang.
Di Nijmegen ada keberlanjutan dalam menjaga nilai nilai yang terkandung dalam bangunan bersejarahnya dari masa ke masa, mulai dari penataan tata ruang kota, tata kelola perumahan, tata kelola lingkungan termasuk tata kelola sosial dan budaya.
Sementara di Surabaya yang menjadi bagian dari negara Indonesia pernah mengalami pergantian tata kelola pemerintahan dari pemerintahan kolonial mejadi pengelolaan yang mandiri (independen), maka arah kebijakan penataan kotanya juga mengalami perubahan. Bahkan perubahan itu seolah meninggalkan pola tata kelola seperti yang pernah ditetapkan oleh pemerintahan kolonial.
Berbeda dengan kota Nijmegen dengan payung pemerintahan yang sama sehingga ada keberlanjutan dalam tata kelola pemerintahan hingga pembangunan.
Di Surabaya hingga tahun 1940-an pola penataan tata kota pada kawasan pemekarannya (Bovenstad) masih tampak rapi dan teratur karena masih di bawah payung administrasi pemerintahan kolonial, termasuk infrastruktur nya. Kawasan perkembangan kota ini tampak pada kawasan Darmo, Simpang, Ketabang, Gubeng, Sawahan, dan Kupang.
Pada pasca kemerdekaan dan seiring dengan pertumbuhan dan kepadatan penduduk, maka ada perbedaan. Penataan kotanya seolah kehilangan arah. Orientasinya adalah lebih ke kependudukan lahan kosong. Misalnya kawasan perkampungan Ketandan dan Kebangaren. Tata perumahan perkampungannya tidak teratur.
Kota Surabaya memang sudah berkembang pesat di bagian tengah, timur, selatan dan barat kota. Tapi kota ini sempat lupa dengan kawasan tua yang sangat bersejarah sebagai awal hadirnya kontruksi sebuah kota.
Sebetulnya kawasan Kota tua Surabaya tidaklah berbeda dengan kota tua Jakarta dan kota lama Semarang. Namun, ketika kota Jakarta dan Kota Semarang mampu merevitalisasi Benedenstad (kota tua) nya menjadi kawasan yang lebih indah dan tertata serta terkelola dengan baik, kawasan kota lama (Benedenstad) Surabaya masih ada adanya.
Masih bisakah Kota Surabaya merevitalisasi kawasan Benedenstad nya sebagaimana kota Nijmegen, Semarang dan Jakarta?