Kritik Keppres Nomor 193/1956 tentang Lambang Kota Surabaya

Lambang Kota Surabaya bergambar ikan hiu dan buaya dengan sikap saling menyerang, di tengah tengahnya terdapat gambar Tugu Pahlawan.

Lambang kota tersebut merupakan hasil penetapan DPRDS tahun 1956, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 Keputusan DPRDS-KBS, No. 34. Pasal ini menyebutkan, lambang Kota Surabaya berupa perisai segi enam yang distilir dan berwarna biru. Di tengah perisai terdapat lukisan Tugu Pahlawan berwarna perak (putih). Di belakang lukisan Tugu Pahlawan terdapat seekor hiu berwarna emas (kuning) di sebelah atas dan di sebelah bawah seekor buaya berwarna emas (kuning) pula. Keduanya dalam sikap saling menyerang.

Penetapan di atas sebagaimana dikutip Sarkawi Husein dalam bukunya, Negara di Tengah Kota: Politik Representasi dan Simbolisme Perkotaan (Surabaya 1930-1960)”. Jakarta Lippi Press 2010.

Perubahan sebagaimana terjadi pada 1956 merupakan hasil dari usulan Ketua DPRDS-KBS Soeprapto, 29 Oktober 1953. Perubahan ini untuk menggantikan lambang kota yang dikeluarkan ketika Surabaya mendapat hak otonomi daerah (desentralisasi) dari Pemerintah Pusat Batavia (Jakarta), 1 April 1906.

Kala itu, Soeprapto menghendaki agar lambang kota disesuaikan keadaan kota. Misalnya, menambahkan gambar Tugu Pahlawan pada lambang yang baru. Selanjutnya proses perubahan itu berjalan selama tiga tahun (1953-1956).

Logo Surabaya 1931

Sangat Mendasar

Akibat dari perubahan itu (1956), maka ada yang hilang dan ini sangat mendasar. Karena menyangkut spirit dan semangat Kota Surabaya. Sesuatu yang hilang adalah motto “Sura ing Baya” yang secara harafiah berarti “Berani Menghadapi Bahaya”.

Padahal nama kota Surabaya berbeda dari lambang gambar hiu dan buaya serta motto “Sura ing Baya”. Hiu dan buaya bukanlah Surabaya, apalagi Sura ing Baya. Masing-masing berdiri sendiri yang sama sekali tidak ada kaitan dalam pemaknaan.

Baca Juga  Peneleh Jadi Ibu Kota Di Era Raja Singasari

Nama Surabaya berasal dari nama sebuah desa di tepian sungai yang berada di posisi paling hilir sungai Brantas (Kalimas sebagai anak sungai Brantas). Ini adalah naditira pradeca Curabhaya, sebuah nama yang tercatat secara otentik pada Prasasti Canggu yang dikeluarkan oleh Raja Hayam Wuruk (Kerajaan Majapahit) pada 1358 M. Jadi nama Surabaya berasal dari nama desa kecil di tepian sungai, yaitu Curabhaya.

Sedangkan gambar hiu dan buaya adalah lambang kota sebagai gambaran alami Surabaya yang terdiri dari daratan dan air (laut dan sungai). Gambar hiu dan buaya ini mulai ada di era Hindia Belanda.

Sementara “Sura ing Baya” adalah sebuah motto, spirit, dan semangat yang artinya “Berani Menghadapi Bahaya”. Motto Kota Surabaya ini mirip dengan Motto Kota Kediri yang berbunyi “Jaya ing Baya” yang artinya “Kemenangan dalam Bahaya”. Jadi, Sura ing Baya bukan berarti Sura-Baya (Surabaya). Hanya karena ada kemiripan tulisan dan pelafalan, maka Sura ing Baya dianggap Surabaya. Ini salah kaprah.

Logo Pemkot Surabaya sekarang . foto:jendelasurabaya.blogspot.com

Kritik

Penalaran Kota Surabaya, lambang Kota Surabaya (hiu dan buaya) dan semangat kota Surabaya (Sura ing Baya) adalah terpisah. Tidak sama dan memiliki makna masing-masing.

Penalaran ini menjadi kritik terhadap pemahaman yang berkembang di masyarakat bahwa Surabaya disamakan dengan Sura ing Baya. Apalagi Sura diartikan ikan hiu sehingga muncul pemahaman ikan sura. Apa ada ikan yang bernama ikan sura? Kalau ikan cakalang, ikan gurame, ikan kerapu, ikan mujair, ikan lele dan lain lain, pasti ada.

Lha, ikan sura?

Lalu buaya, diartikan bahaya. Tidak! Sura ing Bhaya bukan berarti ikan hiu dan buaya serta bukan pula Surabaya. Sura ing Bhaya berarti berani menghadapi bahaya.

Baca Juga  Urgensi Corporate Heritage Responsibility

Ini sekaligus kritik terhadap Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 193 tahun 1956 mengenai penjelasan arti dan makna lambang kota Surabaya, khususnya point (III) yang berbunyi Lukisan ikan Sura dan Baya yang berarti “Sura ing Baya” melambangkan sifat keberanian putra-putra Kota Besar Surabaya yang tak gentar menghadapi suatu bahaya.

Pekik Wani

Atas hilangnya motto “Sura ing Baya” dari lambang Kota Surabaya, yang secara formal terjadi pada 1956, maka komunitas sejarah Begandring Soerabaia telah mengirim surat kepada Ketua DPRD Kota Surabaya Adi Sutarwijono, 4 Juni 2022. Isinya tentang pelurusan sejarah Kota Surabaya. Begandring meminta agar dikembalikan motto yang adiluhung Kota Surabaya yang berbunyi “Sura ing Baya”.

“Sura ing Baya” secara lokal kekinian memang berarti “Wani”. Semangat Wani ini justru menjadi slogan dan semangat yang dipakai oleh Pemerintah Kota Surabaya dalam setiap kesempatan. Misalnya dalam momen Sekolah Kebangsaan baru-baru ini, ketika meramaikan Bulan Bunga Karno, pekik “Wani” sangat mewarnai.

Tidak salah memekikkan “Wani”, tapi ada motto yang lebih bagus yang derajatnya sekelas dengan motto “Bhinneka Tunggal Eka” (Indonesia), “Jaya ing Baya” (Kota Kediri), serta “Malang Kucecwara” (Kota Malang).

Mungkin secara in formal, pekik Wani juga bagus sebagai aktualisasi semangat “Sura ing Baya” yang secara formal perlu disematkan kembali pada lambang Kota Surabaya. (*)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *