Begandring Soerabaia melahirkan divisi baru. Namanya, The Begandring Institute. Divisi baru tersebut dilaunching sebelum digelar diskusi publik bertajuk “Kisah Para Peranakan Tionghoa dan Bupati Surabaya” di Lodji Besar, Jalan Makam Peneleh 46, Surabaya, Jumat (13/1/2023) malam.
Diskusi tersebut digelar dalam rangka menyambut Tahun Baru Imlek 2574. Hadir sebagai pembicara Dukut Imam Widodo (penulis buku Soerabaia Tempo Doleoe) dan Alfian Limardi (anggota Komisi B DPRD Kota Surabaya).
Hadir pula tamu spesial A. Hermas Thony (Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya), Gatot Seger Santoso (ketua Perhimpunan Indonesia Tionghoa Jawa Timur), dan Richard Susanto (ketua Perhimpunan Indonesia Tionghoa Surabaya).
Kuncarsono Prasetyo, inisiator Begandring Soerabaia, menuturkan, The Begandring Institute dibentuk sebagai sub organ Begandring Soerabaia untuk penelitian dan pengembangan.
Kata dia, agenda kerja yang sudah disusun untuk satu tahun ke depan antara lain, talkshow mingguan bekerjasama dengan RRI Pro 1, Diskusi dwi mingguan, pelatihan penulisan sejarah, pelatihan konten audio visual sejarah, riset literatur, dan penulisan buku.
“Kami menggerakkan semua aktivitas ini dengan cara kolaboratif lintas organisasi,” terangnya.
Saat ini, imbuh dia, The Begandring Institute di bawah naungan Perkumpulan Begandring Soerabaia Mbois, dalam SK Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI yang bernomor: AHU-0002104.AH.01.07 Tahun 2022.
“Begandring Soerabaia telah bermitra dengan dunia akademik sehingga sudah selayaknya mengembangkan kapasitasnya sebagai wadah edukatif praktis di bidang sejarah dan budaya,” ujar Kuncarsono.
Begandring Soerabaia akan bisa menjadi tempat untuk magang para mahasiswa. Selama ini, Begandring Soerabaia sudah menjadi wadah berkegiatan informal mahasiswa dari Fakultas Ilmu Budaya (FIB) dan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Airlangga.
Tionghoa di Surabaya
Sementara itu, dari diskusi publik ini terungkap bahwa warga etnis Tionghoa sudah mendiami wilayah Surabaya beradab-abad lamanya.
Ketua Begandring Soerabaia Nanang Purwono membeber data tentang awal keberadaan warga Tionghoa di Surabaya. Dari data yang dikeluarkan Archaeological Reseach in Asia: Mongol Fleet on the Way to Java-First Archaeological Remains From the Karimata Strait in Indonesia dan Groenneveld: “Notes in the Malay Archipelago and Melacca”, compiled from Chinese Sources” (1876), diketahui bahwa kedatangan bangsa Mongol di bawah Kaisar Kubilai Khan pada 1293 M membuka lembaran peradaban dan sejarah di tanah Jawa, khususnya di suatu tempat yang berdekatan dengan muara sungai Pa-Tsih-Kan atau Kalimas.
“Berdasarkan Prasasti Canggu (1358 M), suatu tempat di tepian sungai yang berdekatan dengan muara sungai adalah Curabhaya, kini bernama Surabaya,” jelas Nanang.
Menurut dia, tempat ini dikuatkan dengan kehadiran Cheng Ho, seorang Laksamana Tionghoa yang beragama Islam. Dalam perjalanannya ke Majapahit, mereka singgah di Surabaya sebagaimana rute yang telah dilalui oleh tentara Mongolia pada 1293.
“Kedatangan Cheng Ho ini sebagaimana ditulis Ma Huan, juru tulis Cheng Ho pada 1430. Catatan Ma Huan ini sebagaimana dibukukan dalam judul Ying-Yai Sheng-Lan, The Overal Survey of the Ocean’s Shores,” ujar jurnalis senior itu.
Dia melanjutkan, pada awal abad 18, di tempat yang sama di dekat muara Pa-Tsih-Kan (Kalimas), datanglah Imigran China dari marga Han. Tidak hanya marga Han. Ada marga Tionghoa lainnya seperti The dan Tjoa.
“Mereka bertempat di suatu wilayah di pinggir sungai, yang sekarang dikenal dengan kawasan Pecinan Surabaya. Letaknya di dekat Jembatan Merah Surabaya,” jelasnya.
Dukut Imam Widodo mempresentasikan peran etnis Tionghoa (peranakan) di masa masa kolonial yang mana dalam kiprahnya mereka juga masuk dan terlibat dalam dunia politik dan pemerintahan.
Kata dia, sda proses percampuran etnis melalui pernikahan antar suku, yakni Tionghoa dan Jawa. Sehingga dalam menjalankan aktivitas keseharian ada yang terjun dan masuk di dunia pemerintahan kala itu.
“Awalnya mereka, sesuai kebiasaan nenek moyang ketika tiba di Jawa, utamanya Surabaya, adalah berdagang untuk kehidupan yang lebih baik. Tapi dalam prosesnya, seiring dengan jalannya kehidupan, ada yang masuk dalam bidang pemerintahan dan politik,” jelas Dukut.
Dijelaskan Dukut, banyak orang orang berdarah peranakan yang menjadi pejabat pejabat dalam struktur pemerintahan, termasuk berkeluarga dengan keluarga pejabat pemerintah lokal.
Selain jabatan kapitan dan mayor yang diberikan oleh penguasa kolonial untuk menata masyarakat nya se etnis. Kapitan dan mayor bukanlah jabatan militer, tapi semacam level dalam kepemimpinan untuk menata dan mengatur masyarakatnya.
“Cara serupa juga dilakukan terhadap masyarakat etnis Arab. Karenanya ada Kapitan dan Mayor Arab untuk lingkungan Arab di Surabaya,” ungkap Dukut.
Alfian Limardi, seorang peranakan, memilih jalur politik setelah sebelumnya bergerak di dunia usaha dan sosial. Ia adalah anggota DPRD Kota Surabaya dari PSI.
Dalam diskusi ini, ia didapuk berbicara peran peranakan dalam kebangsaan. Menurutnya keragaman suku bangsa di bumi Indonesia adalah niscaya adanya.
“Terlebih bagi daerah pesisir dan kota pelabuhan, seperti Surabaya, maka keterbukaan menjadi awal keberagaman. Sudah berabad-abad lamanya Surabaya terkenal sebagai gerbang masuk ke pedalaman Jawa. Di gerbang inilah tempat pendatang itu berhenti sebelum melanjutkan perjalanan ke Pedalaman,” beber Alfian.
Kini, timpal dia, Surabaya tetap sebagai kota yang penuh keberagaman, termasuk keberagaman suku bangsa. Semua memiliki hak yang sama sebagai warga negara. Termasuk memilih dunia politik.
Dalam paparannya ia menggambarkan bahwa kebersamaan itu bagai filosofi bambu. “Tidak ada bambu dalam kehidupan alaminya, yang tumbuh secara sendiri sendiri alias individual. Bambu secara alami selalu hidup dalam rumpun. Karenanya disebut rumpun bambu,” katanya.
“Semakin tinggi rumpun bambu itu tumbuh, mereka akan senantiasa membungkuk dan kuat,” imbuh Alfian.
Rumpun bambu yang hidup alami, kata dia, bisa menjadi sebuah benteng pertahanan. Rumpun bambu, yang tumbuh berjajar dan memanjang di suatu lahan, dengan sendirinya menjadi sebuah pembatas wilayah yang sulit ditembus.
Ilustrasi dari filosofi bambu itu hendaknya bisa dipakai oleh anak negeri dalam mengisi kemerdekaan. Filosofi bambu ini melahirkan sesanti bagi bangsa pada pasca pandemi : “Bersama Kita Kuat, Bersatu Kita Bangkit”.
“Sesungguhnya sesanti ini berlaku sepanjang masa. Seiring dengan keberagaman bangsa,” terang Alfian.
Gatot Seger Santoso, ketua Perkumpulan Indonesia Tionghoa (INTI) Jawa Timur, ikut urun rembuk. Gatot sangat mengapresiasi kegiatan yang dilakukan oleh Begandring Soerabaia dalam nguri-uri sejarah warga Tionghoa di Surabaya.
Apalagi nguri-nguri yang dilakukan oleh Begandring baik melalui diskusi maupun jelajah sejarah di kawasan kampung Pecinan ini, menjadi jembatan dalam membangun kesadaran untuk kebersamaan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Saya berterima kasih kepada komunitas seperti Begandring karena belum pernah saya jumpai ada komunitas yang peduli dengan sejarah warga etnis Tionghoa seperti di Surabaya. Apalagi kami, warga Tionghoa juga semakin tidak mengerti sejarah nenek moyangnya sendiri”, papar Gatot yang pernah menjabat sebagai ketua Klenteng Boen Bio dua periode.
“Saya senang dengan diskusi seperti ini dan kita perlu diskusi semacam ini lagi. Saya akan mengundang seorang pendiri Museum Peranakan dan dia seorang muslim asal Aceh. Namanya Azmi Abubakar”, tambah Gatot.
Azmi Abubakar adalah pendiri museum Peranakan Tionghoa dan melalui museum ini ia berharap agar masyarakat luas mengetahui jejak kontribusi warga Tionghoa dan peranakan dalam partisipasinya membangun negeri, sehingga tidak ada lagi stigma bahwa mereka bukan non-pribumi.
“Di Surabaya sendiri warga etnis Tionghoa sudah mendiami Surabaya sejak abad 13. Bahkan ada yang sudah berdiam di Nusantara jauh sebelum abad 13,” katanya. (tim)
One thought on “Launching The Begandring Institute Jelang Tahun Baru Imlek”