Lagi, kepedulian Pemerintah Kota Surabaya untuk melestarikan dan merawat bangunan cagar budaya dipertanyakan. Ini setelah bangunan Viaduct Gubeng telah ditutupi dua papan reklame raksasa.
Pantauan Begandring.com, dua papan reklame raksasa itu menutupi badan Viaduct Gubeng di kedua sisinya (menghadap ke Jalan Sulawesi dan Jalan Kertajaya). Masing masing papan reklame ditopang oleh dua tiang pipa berdiameter lumayan besar dan berbingkai besi.
Viaduct Gubeng sisi timur sudah ada reklamenya. Berisi reklame otomotif mobil. Sementara viaduk sisi barat masih kosong tapi terbungkus lembar media berwarna putih dan siap dipasang reklame. Secara fisik, dua bingkai reklame ini terpasang di atas relung viaduk. Separo viaduk bagian atas tertutup reklame.
Akibatnya, bingkai reklame ini meninggi dan hampir menutupi atap kereta api jika ada kereta lewat. Secara fisik kontruksi reklame memang tidak menyentuh body Viaduct Gubeng. Tapi secara estetika merusak pemandangan.
HP Berlage, bapak arsitektur modern ketika memberi ceramah di Dewan Kota pada 1923, terkait dengan pembangunan jembatan Gubeng, mengatakan bahwa konstruksi jembatan harus estetika selain fungsi yang menghubungkan kawasan Gubeng dan Simpang.
Para arsitek di Hindia Belanda dalam mendesain karya arsitektur selalu memikirkan estetika selain fungsi. Tidak hanya rumah dan gedung, tapi juga jembatan jembatan, termasuk viaduk kereta api.
Secara fisik pagar atau tepian Viaduk Gubeng dibuat tidak tinggi agar penumpang kereta bisa melitah pemandangan urban, lalu lintas kendaraan. Ini menjadi hiburan bagi penumpang kereta api agar tidak bosan dengan pemandangan hamparan sawah.
Sebaliknya, bagi pengguna jalan seperti mobil, motor, sepeda, dokar dan lain sebagainya juga bisa melihat keindahan viaduk yang dilalui kereta. Ada beberapa viaduk kereta api di Surabaya, yakni di Jalan Sulawesi, Gembong, Kapasari, Bubutan dan Pahlawan. Semua tepian viaduk dirancang berpagar rendah.
Pelanggaran Perda
Sekarang Viaduct Gubeng menjadi sasaran penempatan reklame. Menguntungkan bagi pihak tertentu dan merugikan pihak umum. Viaduk tersebit yang lokasinya di pertemuan Jalan Sulawesi dan Jalan Kertajaya adalah lokasi strategis karena kawasan ini merupakan salah satu kawasan bisnis di kota Surabaya.
Sekitar 2015, Viaduct Gubeng pernah ada dipasangi reklame. Hal itu kemudian diprotes banyak kalangan. Salah satunya, Vinsensius Awey, waktu itu masih anggota DPRD Surabaya. Dia bersikeras menolak pemasangan reklame di Viaduct Gubeng.
Akhirnya, tidak hanya objek Viaduct Gubeng yang dilarang, koridor jalan Tunjungan yang penuh dengan reklame juga harus bersih dari papan reklame. Setelah penurunan papan reklame, Jalan Tunjungan langsung terlihat terang dan vintage.
“Kala itu di era Wali Kota Tri Rismaharini. Saya bisa memaklum jika sudah ada penghapusan status cagar budaya pada objek itu. Namun jika belum ada penghapusan, ini namanya pelanggaran Perda Cagar Budaya”, kata Awey.
Imam Syafi’i, anggota Komisi A DPRD Kota Surabaya, menyoroti keras pemasangan reklame di Viaduct Gubeng. Pasalnya, adanya reklame di bangunan cagar budaya adalah pelanggaran.
“Bangunan cagar budaya tidak boleh dikurangi atau ditambah dengan hal-hal lain. Itu sudah bertahun-tahun lalu dan aturan itu belum dicabut,” kata Imam Syafi’i yang juga anggota Pansus Penataan Kawasan Reklame.
Imam sangat mengkhawatirkan jika satu bangunan cagar budaya dinodai dengan pelanggaran, maka dikhawatirkan akan ada pelanggaran-pelanggaran serupa di kemudian hari.
Menurut dia, Kalau bangunan cagar budaya diperbolehkan dipasang papan reklame yang akibatnya merusak fisik atau merusak estetika, itu adalah pelanggaran. Padahal bangunan cagar budaya itu harus dilindungi dari kerusakan.
“Sekarang ada di Viaduct Gubeng, terus nantinya bisa jadi akan ada bangunan cagar budaya lainnya yang dipasang papan reklame juga. Ini kan jelas aturannya. Kalau tidak boleh, ya sudah batalkan saja izinnya,” ujar mantan Redaktur Jawa Pos dan direktur JTV.
nya.
Dalam sebuah dengar pendapat (hearing) di DPRD Kota Surabaya, menurut Imam, Dinas Cipta Karya mengaku bisa mengeluarkan izin karena telah mendapatkan rekomendasi dari Tim Ahli Cagar Budaya Kota Surabaya.
Ketua Tim Ahli Cagar Budaya Retno Hastijanti dikonfirmasi, mengatakan bahwa warga kota bisa menanyakan langsung ke rapat TACB yang diadakan di kantor Disbudporapar Kota Surabaya di gedung Siola setiap Kamis siang.
Ketua Pansus Penataan Kawasan Reklame DPRD Kota Surabaya Arif Fathoni, menegaskan, bangunan cagar budaya tidak boleh ada titik reklame. Karenanya terkait papan reklame di Viaduct Gubeng yang sudah diterbitkan IPR oleh Pemkot Surabaya, ia menyatakan harus ditinjau ulang atau dibatalkan.
“Objek yang sudah berstatus cagar budaya menurut undang undang harus dilindungi,” katanya.
Sangat Ironis
Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya A. Hermas Thony, mengatakan Wali Kota Eri Cahyadi sebenarnya sudah ada keberpihakan terhadap bangunan cagar budaya.
“Komitmen itu nampak dengan dilanjutkannya penataan Kawasan Cagar Budaya Tunjungan menjadi Tunjungan yang berlabel “Tunjungan Romansa”. Pengembangan yang berbasis cagar budaya. Artinya, visualisasi vintage dari cagar budaya ditampakkan. Lha sekarang Viaduct Gubeng yang sudah tampak kok mau ditutupi. Ini sangat ironis,” jelas Thony.
Dulu, imbuh Thony, era Wali Kota Tri Rismaharini sudah memotong reklame yang berdiri megah di Viaduct Gubeng. Tentu dengan konsekuensi pemkot kehilangan pajak reklame yang nilainya besar demi tujuan agar viaduk bisa tereksplorasi secara lebih utuh di mata masyarakat.
“Spirit baik Bu Risma itu haris diteladani dan tindaklanjuti oleh spirit wali kota sekarang dengan langkah mengupas semua ornamen yang menutupi bangunan cagar budaya di Jalan Tunjungan dan hasilnya luar biasa,” jelas politisi Partai Gerindra itu.
Thony menambahkan, arsitektur lama yang tidak pernah dilihat oleh masyarakat menjadi inspirasi. Kawasan yang dulu ditinggalkan, sekarang banyak digandrungi, menjadi jujugan warga. Tunjungan menjadi magnet.
“Begitu berhasil, lha kok Viaduct Gubeng yang menjadi panutan pembongkaran reklame lainnya saat itu, sekarang kok mau dipasangi reklame lagi. Mesakne Mas Wali,” tambah Thony
Fenomena ini menggambarkan spirit baik wali kota ditangkap terbalik oleh pihak-pihak tertentu. Ini paradoks dan bahaya jika diteruskan dalam proses pembangunan masa depan.
“Jadikanlah pemimpin sebagai panutan dan patron, karena kebijakan wali kota adalah upaya mewujudkan RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) yang sudah ditetapkan untuk kemajuan surabaya 5 tahun ke depan,” pungkas Thony. (nanang purwono)
Angel temen tuturanmu… Angel.. Angel..
Janganken viaduct Gubeng…..rumah radio bung Tomo jalan mawar pun lewat.,…saya kira di era kemimpinan kontemporer bin zaman now….di mana2 tempat kekuasaan selalu cenderung abai pada etika dan estetika ruang. Etika adal
ah perihal penghargaan pada masa lampau sejarah .Sedang estetika adalah penghargaan atas ruang publik yg harus ditata secara estetik, Saya kira Kadisbudparpora yg harus bertanggung jawab perihal 3langgaran etika dan estetika kota tsb.
Interesting that the government of Surabaya is considering restoring and maintaining the cultural heritage buildings. After the Viaduct Gubeng building was covered by two massive advertising billboards. Begandring.com conducted a survey and it turns out that the two billboards cover the entire body of the Viaduct Gubeng on the two sides (facing Sulawesi and Kertajaya Streets). Each billboard is supported by two big steel pipe with diameters around 50 cm and iron bars. Viaduct Gubeng’s southern side already has advertising billboards. The advertisement for the automotive industry is featured on this side.