Penulis: Nevy Eka Pattiruhu*
Begandring.com-Dari pengalaman SS, rintangan akibat bencana alam adalah sesuatu yang sukar diprediksi dan dampaknya begitu merepotkan. Maka solusinya adalah mencari rute alternatif untuk tetap bisa menghubungkan Batavia dan Bandung, pilihan satu-satunya adalah melalui jalur selatan via Bogor – Sukabumi, sementara untuk segmen Batavia – Bogor sendiri telah sukses dielektrifikasi sejak 1930. Mengenai hal tersebut, sebetulnya telah lama terpikirkan oleh SS untuk kembali memperhatikan layanan jalur Bogor – Sukabumi yang tak ubahnya selalu dipandang bagai “anak tiri”. Terutama bagi daerah Sukabumi yang merupakan pusat perkebunan penting untuk Batavia, tetapi karena alasan kondisi keterbatasan sarana traksi maka SS tak bisa berbuat banyak.
Untuk menyiasatinya, SS kemudian melirik lokomotif seri 1400 / D14 yang mayoritas sedang dalam masa “hiatus” tuk menjadi mesin penarik layanan penarik kereta cepat antara Bogor – Sukabumi. Desain dan tenaganya dinilai cocok untuk “mendaki” jalur pegunungan Priangan barat dengan kecepatan 60 km/jam. Hanya saja, dibalik konstruksinya yang kokoh dan tenaganya yang besar, kelemahannya terletak pada keseimbangan. Karena tujuan lokomotif ini dibeli adalah sebagai pelangsir kelas berat berkecepatan rendah, maka hal demikian tidak begitu diperhitungkan diawal.
Tak kehabisan cara, para insinyur SS yang selalu mengikuti informasi terkini terkait perkembangan teknologi perkeretaapian di dunia internasional, mulai mengadopsi cara Ir. Andre Chapelon, seorang insinyur KA asal Perancis untuk memodifikasi serangkaian lokomotif seri 1400. Perihal masalah keseimbangan, dilakukan penambahan plat baja berat dan tebal berisi timah yang dilas ke bagian penyeimbang seluruh roda dan penyetelan ulang poros penyeimbang pengikat batang penggerak roda pertama dan keempat.
Saat diuji, SS cukup puas lantaran lokomotif seberat 68,66 ton itu dapat melaju stabil sampai 70 km/jam, sementara penerapan batas aman kecepatan layanan kelak ditetapkan 60 km/jam.
Lokomotif D1401 berhenti di St. Lampegan, Jawa Barat sekitar 1930-an | Foto: KITLV
Atas hasil sukses tersebut, pengenalan layanan kereta cepat antara Bogor dan Sukabumi diluncurkan 1 Mei 1935 berdurasi 70 menit dan 69 menit untuk arah sebaliknya. Rangkaian kereta cepat ini termasuk ringan, hanya berbobot 100 ton (tanpa lokomotif) yang terdiri dari; 1 gerbong bagasi, 1 kereta penumpang kelas campuran 1 dan 2, serta 2 kereta penumpang kelas 3. Jadwal baru ini juga dibuat menyesuaikan koneksi ke jadwal KA ekspres unggulan SS rute Batavia – Surabaya bernama “Eendaagsche Expres”.
Tiga tahun kemudian, SS kembali mengkaji kemungkinan optimalisasi waktu tempuh kereta di lintasan Sukabumi – Cianjur- Padalarang – Bandung melalui jalur milik SS yang membelah pegunungan paling berat di Jawa dengan kemiringan lereng 40 ‰ dan tikungan beradius 150 m. Karena jalur selatan Jawa Barat ini sangat bergantung kepada kehandalan seri 1400, lagi- lagi ujicoba dilakukan SS awal tahun 1938.
Tes pertama dikerjakan bersama 1 lokomotif seri 1400 asal depo Cianjur yang bertugas menarik rangkaian bertonase 96 ton, termasuk diantaranya adalah 1 kereta ukur “dinamometer” seberat 30 ton. Jadwalnya dibuat sedemikian rupa sehingga hanya berhenti di Cimahi, Padalarang, Cipatat, Ciranjang, Cianjur, Cibeber dan Lampegan. Pengetesan pertama tanggal 18 Januari 1938 sukses menembus durasi 106 menit antara Sukabumi – Bandung. Tes kedua dilakukan dengan jadwal berbeda seminggu kemudian dengan hasil catatan waktu yang sama.
Di ruas Cipatat – Padalarang yang paling menanjak, kemajuan diperlihatkan dengan mulusnya lokomotif melaju 45 km/jam pada kondisi normal dan 39 km/jam saat kondisi lintasan basah diguyur hujan. Di ruas Padalarang – Bandung yang datar bergradien 10‰, lokomotif sanggup berlari 84 km/jam dengan stabil dan tenang. Pengujian intensif dilakukan selama bulan-bulan berikutnya terutama selama februari yang menghasilkan jadwal kereta cepat bertempo 2 jam dan 2½ jam bagi kereta reguler, sehingga dengan ini lengkaplah kesuksesan SS memangkas keseluruhan waktu tempuh dari sebelumnya yang tak lepas dari ketangguhan lokomotif uap seri 1400.
Lokomotif D1406 di Sidotopo, Surabaya tahun 1972. Foto: Frank Stamford
Per 1 Mei 1938 jadwal baru ditetapkan dan batas kecepatan maksimum resmi ditingkatkan menjadi 70 km/jam. Kini dari Batavia ke Bandung semakin mudah dengan 2 pilihan rute melalui utara atau selatan yang telah benar-benar dilayani penuh oleh layanan kereta cepat. Jadwal ini terus bertahan hingga sampai 1942, atau beberapa saat sebelum invasi Jepang pada awal Maret 1942.
Kisah menarik terjadi kepada salah satu lokomotif bernomer D1406 di tahun 1941 jelang invasi Jepang. Atas instruksi pemerintah melalui KNIL, Staatsspoorwegen mendapatkan perintah untuk membangun 1 rangkaian Pantsertrein atau kereta lapis baja yang akan digunakan sebagai kendaraan tempur pasukan KNIL di wilayah Jawa Barat. Proyek ini kemudian dikerjakan oleh SS di Balai Yasa Manggarai dan selesai di bulan November 1941. D1406 bertindak sebagai penarik beban rangkaian yang terdiri dari 4 gerbong datar yang dimodifikasi dengan dipasang alat persenjataan dan 1 kereta penumpang untuk menampung pasukan.
Untuk tugas khusus ini, tentu sang lokomotif terlapisi zirah baja layaknya petarung di medan pertempuran agar terlindung dari serangan musuh. Kereta panser lalu disiagakan di pelabuhan Tj. Priok dan tamat riwayatnya pada 6 Maret 1942, setelah dibumi hangus oleh KNIL sendiri yang takut jika kereta panser akan “dibajak” pihak musuh saat mereka sudah terdesak oleh pasukan Jepang hari itu di Lampegan, Jawa Barat.
Lokomotif D1410 saat melintas di depan Lodji Gandrung, Solo. Foto: Dok. Pribadi
Beruntung ke 24 lokomotif seri D14 tetap bertahan di masa pendudukan Jepang, dimana keadaan perkeretaapian saat itu bisa dibilang sangat menyedihkan. Mereka baru perlahan tumbang satu persatu dan dihapus dari layanan selepas kemerdekaan sepanjang dekade 1970 hingga 1980-an. Populasinya saat itu tercatat sebagian besar masih bertahan di Jawa Barat dan hanya ada 2 buah D14 tersimpan di depo lokomotif Sidotopo, Surabaya. Sementara D1410 yang bertahan, diketahui terakhir aktif dibawah naungan depo lokomotif Jatinegara. Kemudian sempat terlihat “terdampar” beberapa saat di Karawang sebelum di bawa ke TMII sebagai pajangan status di museum transportasi tahun 1987. Konon, hal itu dilakukan atas instruksi mendiang ibu Tien, istri mantan presiden Soeharto.
Tahun 2016 keberuntungan kembali menyertai D1410. Ia terpilih bersama lokomotif D52099 untuk dihidupkan lagi di Solo, namun baru 2-3 tahun berselang proses perbaikan dilaksanakan di Balai Yasa Pengok, Yogyakarta dan tuntas di tahun 2020. Lokomotif tersebut diresmikan pengoperasiannya berbarengan dengan hari jadi kota Solo ke 275 tanggal 16 februari 2020. Lokomotif bersejarah itu kini menemani dinasan lokomotif perintis Jaladara sejak 2009 yang usianya jauh lebih tua yakni lokomotif seri C1218 buatan Hartmann, Jerman tahun 1896.
Sumber:
- De Stoomtractie Op Java en Sumatra, 1982 – J.J.G Oegema
- Narrow Gauge In The Tropics, 2022 – Augustus J. Veneendal, JR
- Het Indische Spoor In Oorlogstijd, 2003 – Jan De Bruin
- Spoor -en Tramwegen, 1935 – 1938
- De Locomotieven Van Werkspoor, 1986 – H. De Jong
*Nevy Eka Pattiruhu. Pegiat Sejarah di Komunitas Begandring, spesialisasi di bidang sejarah perkeretaapian.