Makam Belanda Peneleh Jadi Kepustakaan Sejarah Kota Surabaya

Makam Belanda Peneleh tidak lagi sebuah area pemakaman. Makam ini menjadi sebuah bekas pemakaman orang mati yang mati. Makam Belanda Peneleh boleh dibilang menjadi sebuah kompleks prasasti sejarah. Di mana Kota Surabaya memiliki sejarah yang panjang mulai dari era klasik hingga era revolusi yang berlanjut sampai pascarevolusi.

Pada era tertentu, di masa kolonial, tepatnya mulai dari 1847 hingga 1947, hampir selama 100 tahun, lahan di kawasan Peneleh ini melayani pemakaman warga Eropa Surabaya. Ada orang Belanda, Inggris, Perancis, Jerman dan Italia.

Beragam kebangsaan ini terlihat dari nama-nama serta bahasa yang dipakai sebagai deskripsi dan inkripsi pada nisan. Ada yang terbuat dari batu pualam dan ada pula yang dibuat dari besi baja.

Area pemakaman dengan luas sekitar 4,5 hektar, hanya sebagian kecil dari sejumlah makam yang masih relatif utuh. Selebihnya, pada umumnya sudah rusak. Kerusakan kerusakan itu terlihat pada badan makam yang telah berlubang, batu marmer nisan banyak yang hilang.

Terutama pada bidang makam sisi selatan, pagar pagar indah setiap makam yang terbuat dari besi baja umumnya sudah hilang, sebagian nisan marmer yang masih ada juga sudah pecah.

Hanya sebagian kecil, yang bentuknya besar dan berat, masih utuh. Makam makam ini terbuat dari besi cor, seperti makam pejabat Dewan Hindia Belanda P.J.B. De Perez  dan gubernur Jendral Hindia Belanda Pieter Merkus.

Keberadaan makam Belanda Peneleh ini menarik perhatian pasangan peneliti asal Belanda Max Meijer dan Petra Timmer. Beberapa tahun lalu, keduanya pernah mendengar bahwa kawasan ini akan direvitalisasi.

Menurut Ketua Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Surabaya Dr. Retno Hastijanti, rencana revitalisasi itu pernah menyeruak pada 2007-2008. Tapi gagal.

Baca Juga  Kala Itu, Begini Rancangan Kota Mandiri Cikasur Abad 19

“Pemerintah Kota Surabaya saat itu rencananya kerja sama dengan pemerintah  Kerajaan Belanda. Belanda bersedia membantu finansial, namun harus ada pendataan dan perencanaan yang detail. Waktu itu Presiden ICOMOS sebagai representasi Kementerian Kebudayaan Belanda datang ke Universitas 17 Agustus (Untag) Surabaya dan juga bertemu dengan Wali Kota Surabaya, Bu Risma,” jelas Retno Hastijanti yang kini menjabat wakil rektor Untag Surabaya.

Makam para suster Ursulin. foto: begandring

 

ICOMOS adalah kependekan dari International Council on Monuments and Sites (Organisasi profesional atau Dewan Internasional untuk Monumen dan Situs) yang merupakan asosiasi profesional yang bekerja untuk konservasi dan perlindungan tempat-tempat warisan budaya di seluruh dunia.

Max Meijer sendiri adalah seorang profesional yang berkecimpung di dunia permuseuman, konservasi dan perlindungan Cagar budaya. Ia anggota dari The Netherlands National Committee of ICOM (International Council on Monuments).

 

Komunitas Eropa

Menurut Max Meijer, eks Makam Belanda Peneleh ini bisa menjadi monumen untuk pengingat bahwa pernah ada komunitas Eropa di Surabaya. Monumen ini sangat relevan dengan kawasan Kampung Eropa yang tengah dan akan direvitalisasi oleh Pemerintah Kota Surabaya.

Banyak warga Surabaya kala itu yang berdarah Eropa, yang kemudian dimakamkan di pemakaman ini ketika meninggal. Pemakaman Belanda Peneleh dibuka pada 1847.

Karenanya, mereka yang dimakamkan di sini dengan angka kematian setelah 1847. Kecuali kematian Gubernur Jendral Pieter Merkus yang meninggal di Huiz van Simpang (Gedung Grahadi) pada 1844.

Pieter Merkus meninggal sebelum pemakaman Eropa di Peneleh dibuka. Sebelum 1847 memang ada kompleks pemakaman Eropa di Krembangan, dekat Kota Lama.

Meski ada pemakaman di sana, jenazah Pieter Merkus tidak dikubur di sana. Tetapi dikubur di area Benteng Citadel Prins Hendrik. Ini dikarenakan pemakaman di Krembangan tidak representarif bagi orang penting seperti Gubernur Jendral.

Baca Juga  Stikosa AWS Photo Week 2023, Saat Isu Lingkungan Tersaji dalam Bingkai Visual

Baru ketika kompleks pemakan baru dibuka di Peneleh, Makam Pieter Merkus dipindahkan ke Peneleh. Makam Merkus di Peneleh persis berada di dekat pintu gerbang masuk di jalan Kerkoflaan (jalan Makam Peneleh).

Makam Gubernur Jendral Hindia Belanda Pieter Merkus adalah salah satu dari Makam Makam yang bisa menguak kisah dan sejarah Surabaya pada masa itu.

Satu makam lainnya adalah makam suster Mere Louise, seorang pimpinan pertama suster Ursulin di Surabaya. Dari inskripsi nisan, Max Meijer menterjemahkan sambil menjelaskan.

Suster Mere Louise meninggal pada 14 Maret 1890. Di kuburan dimana ia dimakamkan juga terdapat suster suster lainnya yang dikuburkan secara kolektif. Adapun nama masing masing suster dapat dikenali berikut tahun kematian mereka.

Dalam catatan GH Von Faber yang tertuang dalam buku Oud Soerabaia (1935) dituliskan bahwa suster Mere Louise, yang saat pemakaman, jenazahnya diiringii oleh 92 kereta di belakang kereta jenazah.

Penulis bersama Petra Timmer dan Max Meijer. foto: begandring

 

Selain ada Makam para suster, termasuk Mere Louise, tidak jauh dari situ, agak ke timur terdapat sebuah Makam yang indah bergaya gotik. Nisan terbuat dari batu granit asal Maaatricht yang dipatung oleh pematung Kuyper.

Pada relung nisan terdapat relief kebangkitan Yesus. Ini adalah kuburan Pastor Martinus van den Elzen yang lahir di Gemert pada 11 April 1822 dan meninggal di Surabaya pada 19 Juli 1866.

Selama melayani di Gereja Katolik di Kota, ia menjadi orang penting dalam pelayanan rohaniwan di gereja Katolik Roma yang berdiri di ujung barat jalan Roomsche Katolik Kerk Straat (sekarang jalan Cendrawasih).

Pastor Martinus van den Elzen inilah yang mendatangkan suster Louise ke Surabaya untuk memberikan pendidikan dan layanan rohani kepada para gadis. Suster Mere Louise adalah salah satu dari lima suster yang didatangkan dari Belanda.

Baca Juga  Quo Vadis Revitalisasi Kota Lama Surabaya

Mereka adalah suster Mere Louise sendiri sebagai ketua rombongan dari Belanda, lalu ada suster Mere Agustine, Mere Alphonse van Sittard, Mere Euphrasie dan Soeur Marie. (GH Von Faber).

Max Meijer dan Petra Timmer pada kesempatan itu berkeliling Makam dan mengamati kondisi lingkungan Makam dan setiap Makam yang ada.

“Kompleks kuburan ini adalah kepustakaan sejarah kota Surabaya”, pungkas Max sebelum meninggalkan Peneleh. (*)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *