Sepakbola bukan hanya sebagai olah raga yang merakyat, tapi sekaligus sebagai alat pergerakan kebangsaan, politik, lifestyle, dan ekonomi. Hal ini karena sepakbola adalah olahraga yang bersifat massal.
Pendapat tersebut diungkapkan Rojil Nugroho Bayu Aji, dosen sejarah Unesa, dalam diskusi publik bertajuk “Sepak Bola Indonesia dan Gerakan Nasionalisme” di Lodji Besar, Jalan Makam Peneleh 46, Surabaya, Jumat malam (10/2/2023).
Diskusi yang digelar memperingati 1st Anniversary Begandring.com tersebut dipandu Kukuh Yudha Karnanta, dosen Fakultas Ilmu Budaya Unair.
Rojil menjelaskan, bagi bumiputera (pribumi), sepak bola di pada masa penjajahan Hindia Belanda adalah salah satu dari bentuk perlawanan kepada bangsa Belanda di Indonesia, khususnya di Surabaya.
Soekarno, ketika masih menjadi siswa sekolah HBS Soerabaia (1916-1921), merasa didiskriminasi tatkala ingin mengikuti kelas ekstrakurikuler sepak bola.
“Karena sepak bola adalah olah raga kalangan orang orang Eropa, maka Soekarno yang bumiputera dilarang mengambil kelas ekstrakurikuler sepak bola. Soekarno pun sangat jengkel dengan kawan kawan Eropanya itu,” terang penulis buku Tionghoa Surabaya dalam Sepak Bola itu.
Karena perlakuan diskriminatif itulah, imbuh Rojil, Soekarno bersama teman-teman sesama bumiputera bermain bola sendiri. Bahkan ,dia berani membentuk tim sepak bola pribumi di luar sekolah.
Seiring dengan perjalanan waktu, tim sepak bola pribumi ini terbentuk dengan nama Soerabajasche Indonesische Voetbal Bond (SIVB) pada 18 Juni 1927.
Menurut Rojil, dibentuknya tim sepakbola pribumi itu bertujuan untuk menampung para pemain sepakbola pribumi demi menyaingi dominasi klub sepak bola Soerabajasche Voetbal Bond (SVB), yang telah berdiri sejak tahun 1901.
“Kala itu, para pemain dan pemilik SVB adalah orang-orang Belanda yang tinggal di Surabaya,” terang Rojil yang menulis tesis S2 UGM berjudul Nasionalisme dalam Sepak Bola Indonesia 1950-1965.
Tidak hanya di Surabaya terlahir SIVB, di kota-kota lain juga mendirikan klub-klub bola. Klub-klub itu antara lain, VIJ Jacatra (sekarang Persija), BIVB Bandung (sekarang Persib), MIVB (sekarang PPSM Magelang), MVB (sekarang PSM Madiun), VVB (sekarang Persis Solo) dan PSM (sekarang PSIM Yogyakarta).
Klub-klub ini kemudian tergabung dalam Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia yang disingkat PSSI pada 19 April 1930. Pengurus masing-masing klub bertemu di Societeit Hadiprojo Yogyakarta, sekarang menjadi Wisma Soeratin. Residen Pamudji mewakili SIVB (Surabaya).
“Berikutnya Soerabajasche Indonesische Voetbal Bond (SIVB) berganti nama menjadi Persatuan Sepakbola Indonesia Surabaya (Persibaya). Akhirnya berubah lagi menjadi Persatuan Sepakbola Surabaya (Persebaya),” tandas Rojil.
Melawan Kolonialisme
Rojil Nugroho Bayu Aji juga mengungkapkan, selain sebagai ajang olahraga untuk menyehatkan badan, sepak bola menjadi ajang perlawanan bumiputera untuk melawan kolonialisme demi menyehatkan bangsa (kemerdekaan).
“Dalam sepak bola inilah tumbuh emosi sebagai luapan rasa marah. Selama masa pergerakan sebelum kemerdekaan 1945, rasa emosi itu adalah amarah kepada kolonialisme. Sepak bola menjadi magnet besar yang menyatukan warga pribumi untuk mengalahkan warga Eropa dalam bentuk permainan bola,” papar dia.
Kata Rojil, sepakbola itu memiliki sifat permainan yang mampu membangkitkan ego dan persatuan demi mengalahkan lawan. Bahkan hingga sekarang, emosi suatu kelompok (klub) itu adalah nyata. Misalnya emosi kelompok Persebaya sangat terlihat terhadap lawannya, Aremania.
Dahulu, timpal dia, di masa pergerakan, emosi SIVB dan klub-klub lainnya (pribumi) juga nampak ketika berhadapan dengan klub yang dimiliki warga Belanda, misalnya saat Soerabajasche Indonesische Voetbal Bond (SIVB) menghadapi Soerabajasche Voetbal Bond (SVB). Perlawanan di lapangan hijau ini perlambang perlawanan nasionalisme vs kolonialisme.
Ketika itu, ada magnet besar dalam bernasionalisme, yaitu meraih tujuan kemerdekaan. Karenanya, mesin permainan pun panas demi tujuan kemerdekaan. Bahkan persaingan antarklub pun tercipta demi tujuan kemenangan. Karena dalam pertandingan hanya ada dua pilihan: menang dan kalah.
“Maka sepakbola dan nasionalisme sebagai simbol dari upaya kemerdekaan. Sepakbola di masa pergerakan adalah simbol nasionalisme atau kebangsaan untuk melawan kolonialisme demi kemerdekaan,” tandas Rojil.
Tunggangan Politik
Pada pasca kemerdekaan, sebut Rojil Nugroho Bayu Aji, khususnya ketika sudah bergeser ke era kekinian, rupanya nilai nasionalisme dalam sepakbola semakin luntur. Lunturnya nasionalisme ini tercermin pada komposisi pemain dalam sebuah klub. Di sana tidak lagi sedaerah dan bahkan sebangsa.
Misalnya di klub Persebaya sendiri tidak sudah lagi se-Surabaya, tapi ada pemain dari luar daerah dan bahkan ada pemain asing. Pun demikian di dalam tubuh klub-klub bola lainnya di Indonesia.
Rojil mengatakan, nasionalisme dalam sepak bola ini semakin cair, melebur, tidak utuh, dan bahkan tidak sebangsa lagi. Lantas, apakah era sekarang tidak ada lagi magnet besar yang menjadikan sepak bola menjadikan satu rasa?
“Kalau dulu sepakbola menjadi wadah satu rasa dalam melawan kolonialisme. Magnet besarnya adalah kemerdekaan. Lha, kalau sekarang?” tutur dia.
Kata Rojil, sepakbola sekarang tidak lagi nasionalisme, tapi sebuah permainan. Itu pun juga bukan permainan yang mengolah raga seperti nama awal PSSI, Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia.
Sekarang permainan itu adalah sebuah permainan yang licik dan tidak sportif. Yang disebut permainan adalah memainkan skor untuk menentukan siapa yang akan menang dan siapa yang akan kalah.
‘Ini adalah mental. Tidak hanya mental pemain, tetapi juga mental pengurus. Dengan kata lain, hidup dan mati bisa ditentukan sebelum bertanding. Siapa akan hidup dan siapa akan mati. Tidak ditentukan di lapangan tapi di atas meja,” tandas dia.
Rojil mengutip kelakar Abdurrahman Wachid (Gus Dur), “Mencari 11 orang saja kok susah, padahal di Indonesia ada ratusan juta orang. Apalagi mencari satu orang, yaitu ketua PSSI.”
Apakah fakta itu menunjukkan bahwa sepakbola di Tanah Air sekarang tidak lagi menjadi simbol nasionalisme dan kebangsaan seperti dulu?
“Nasionalisme itu bisa menjadi kuat ketika ada magnetnya (kepentingannya), yaitu untuk merdeka,” kata Rojil.
Di mata dia, sekarang mungkin ada kepentingan besar lainnya tapi tidak bersifat nasionalisme, tapi bersifat individual dan kelompok. Yaitu, klub sepak bola menjadi tunggangan politik.
“Karenanya setiap lima tahun sekali sebuah klub bola terlihat moncer, setelah tahun kelima klub itu tercecer. Nasionalisme itu idealismenya adalah abadi, tapi nyatanya tidak,” simpul Rojil. (nanang purwono)