Pemerintah Kota Surabaya merencanakan merevitalisasi kawasan Kampung Eropa (Belanda) tahun depan, setelah selesai menata Wisata Pecinan Kembang Jepun. Kampung Eropa ini terletak di sebelah barat Kalimas yang langsung berseberangan dengan Kampung Pecinan. Kampung Pecinan dan Kampung Belanda hanya dipisahkan sungai Kalimas.
Sebetulnya kawasan bekas Kampung Eropa ini kawasan yang aktif, bukan kawasan yang mati. Berbeda dengan di Semarang dan Jakarta. Sebelum direvitalisasi sudut sudut kota Tua Jakarta dan Semarang adalah kawasan yang kumuh dan rawan.
Luas kawasan Kota Tua Jakarta adalah 130 hektar. Sedangkan luas Kota Lama Semarang 31 hektar. Sementara Surabaya hanya 4 hektar (dihitung berdasarkan luas area di dalam batas tembok). Kota Lama Surabaya atau Kota Eropa, ketika kota ini masih tertutup tembok, adalah kota yang sudah eksis di era VOC. Kota ini semakin berkembang dan meluas pasca kebangkrutan VOC.
Hingga sekarang jejak dan bekas area Kota Lama Surabaya ini masih mudah dikenali baik berdasarkan bangunan kolonial maupun batas batas kota. Batas tembok sisi timur memanjang dari gedung JMP hingga sepanjang jalan Jembatan Merah, berjajar dengan sungai Kalimas. Kemudian tembok sisi selatan memanjang ke barat sepanjang jalan Cendrawasih dan jalan Merak.
Sedangkan bekas tembok sisi barat memanjang di sepanjang Jalan Krembangan Timur hingga menembus bangunan di utara Jalan Rajawali mentok hingga tembok penjara Kalisosok. Tembok terakhir di sisi utara membujur dari barat ke timur di jalan Garuda hingga batas Kalimas.
Itulah luasan kawasan bekas Kampung Eropa yang pernah dibatasi tembok. Kawasannya tidak luas. Hanya 4 hektar dan di dalam kawasan terdapat jalur jalur Jalan yang aktif. Bangunan-bangunannya juga aktif: dipakai perkantoran, perbankan dan fungsi lainnya. Gedungnya megah megah. Khususnya gedung gedung yang berdiri menghadap Kalimas. Dalam lagu Jembatan Merah dikatakan sebagai “gedung raya”.
Jembatan Merah sungguh indah// berpagar gedung raya..
Itulah kutipan lirik lagu legendaris Jembatan Merah yang menggambarkan tentang kemegahan dan keindahan gedung gedung di sana.
Kebanyakan gedung gedung yang masih berdiri megah hingga sekarang umumnya adalah gedung gedung yang dibangun di sepanjang abad 20, mulai 1901 hingga 1930-an. Umumnya berarsitektur modern yang sudah dipengaruhi arsitektur gaya Eropa dan Amerika.
Masih berdiri kokoh di lintas zaman. foto: begandring
Sebelum Abad 20
Sesungguhnya di kawasan Kota Lama Surabaya ini ada juga bangunan dari era sebelum abad 20. Salah satunya bangunan di Jalan Jembatan Merah. Ketika bangunan lama dari abad sebelumnya sudah sudah berubah menjadi karya abad 20, satu satunya gedung yang berdiri tepat di pinggir Kalimas ini menjadi saksi lintas zaman di jalan Jembatan Merah (Willemskade) dan oude Stad.
Bangunan, yang sudah dicatat sebagai bangunan cagar budaya kota Surabaya, ini adalah adalah wujud bangunan water front di Surabaya. Surabaya bagai kota Venesia di eranya. Koneksi antara daratan dan air (sungai) menjadi bagian dari infrastruktur kota. Pada masa itu, sungai adalah bagian penting dari kehidupan kota. Sungai menjadi sarana transportasi, komunikasi, perhubungan dan kehidupan.
Persis di ujung selatan jalan Jembatan Merah, di tepian sungai Kalimas, di depan gedung Maybank, masih berdiri sebuah gedung yang selalu bercat putih dari zaman ke zaman.
Dalam catatan registrasi Cagar Budaya Kota Surabaya, gedung ini dikenal sebagai Kantor Notaris. Tidak salah karena gedung ini sudah lama dipakai sebagai kantor Notaris. Saat ini gedung ini direnovasi. Tampak luar semakin lebih indah dan bersih. Tetap dicat warna putih. Dia konsisten sesuai fakta sejarah. Ini menambah keindahan lingkungan dan mendukung pelestarian kawasan Kota Eropa.
Pelestarian kawasan ini akan menggugah memori akan fungsi kawasan ini pada masa lalu, termasuk akan fungsi gedung itu sendiri. Sekarang, gedung yang sudah puluhan tahun dipakai sebagai kantor notaris memang tidak ada kaitannya dengan air (sungai Kalimas).
Apa memang ada kaitannya dengan Kalimas? Jawabannya jelas ada. Mengamati beberapa bangunan kolonial, bentuk arsitektur maupun model bangunan dan tata ruang bangunan biasanya menyesuaikan dengan kondisi dimana bangunan itu berdiri (lingkungan). Ketika sebuah bangunan berdiri di tepian sungai, maka ada bagian dari bangunan yang dibuat ramah dengan sungai (water friendly designed building).
Begitu pula bangunan berlantai dua di tepi Kalimas ini. Menurut catatan GH Von Faber dalam bukunya Oud Soerabaia, bangunan ini sudah ada di era Herman Willem Daendels. Herman Willem Daendels adalah seorang politikus dan jenderal Belanda yang menjadi Gubernur-Jenderal Hindia Belanda yang ke-36. Ia memerintah antara tahun 1808-1811.
Daendels juga dikenal sebagai orang yang membuka jalan raya antara Anyer (Jawa Barat) dan Panarukan (Jawa Timur). Jalan ini dikenal juga dengan nama Jalan Raya Pos (Grootepos weg). Jalan Raya Daendels (Raya Pos) idenya untuk memperlancar komunikasi dan perhubungan termasuk untuk koneksi pengiriman barang barang selain surat surat melalui utara Jawa.
Willemskade (Jalan Jembatan Merah sekarang) adalah sebagian ruas dari Jalan Raya Daendels yang melewati kota Surabaya. Willemskade, dimana gedung putih itu berdiri, adalah di wilayah Oude Stad van Soerabaia. Di Oude Stad inilah sebagian dari penunjang kebutuhan komunikasi dan perhubungan dalam jaringan Anyer-Panarukan dibangun oleh Daendels, terutama kebutuhan militer.
Tak heran bila di Surabaya dibangun pabrik artileri ACW, benteng pertahanan, tangsi militer. Rumah putih itu sendiri, yang sudah ada sebelum era Daendels, dibuat sebagai kantor perusahaan milik Daendels. Ini adalah kantor Maskapai Pengeriman Paket Kerajaan (Koninklijke Paketvaart Maatschappij).
Kantor maskapai jasa pengiriman barang ini letaknya persis di tepian sungai. Gedong ini memiliki pintu yang lebih dekat dengan air (sungai), tidak menghadap ke Jalan sebagaimana umumnya bangunan bangunan. Gedung maskapai pengiriman paket ini berdiri memanjang dari utara ke selatan, kurang lebih 10 meter, mepet dengan sungai. Pintu dibuat menghadap ke utara yang lebih dekat dengan sungai dengan tujuan akses ke sungai lebih mudah.
Melalui pintu inilah proses bongkar muat barang ke sungai menjadi lebih praktis. Apalagi persis di depan pintu terdapat sebuah marina yang menjadi akses naik dan turun ke perahu sebagai sarana angkutan utama pada masa itu.
Menyimak foto lama yang diambil pada 1865, ketika teknologi photo sudah masuk Surabaya, di Willemskade ini berdiri berderet bangunan berpilar di depannya. Itu semua dikenal dengan gaya Daendels. Berbeda dengan bangunan maskapai pengiriman barang ini. Ia tidak berpilar. Bentuk dan design bangunan seperti Gedung Grahadi sebelum Grahadi (Paleis van Simpang) direnovasi Daendels dengan penambahan pilar pilar. Model bangunan ini juga mirip dengan Rumah Setan di Kupang.
Secara fisik bangunannya bertingkat dua. Struktur lantai loteng terbuat dari kontruksi kayu kayu jati yang kokoh. Kontruksi ini sama seperti loteng Grahadi di Simpang dan Rumah Setan di Kupang. Diduga, bangunan eks Kantor Paket dan Pos ini, dibangun di abad 18.
Jika Grahadi yang menjadi kediaman penguasa VOC, gezaghebber, dibangun pada 1794, sementara Gedung Setan sudah ada ketika Gubernur Jendral Carel Reyniersz meninggal ditahun 1653. Carel Reyniersz adalah Gubernur-Jenderal Hindia Belanda yang ke 11. Ia memerintah antara tahun 1650 – 1653. Karenanya Jalan di depan Gedung Setan dinamakan Reyniersz Boulevard. Kini menjadi Jalan Diponegoro.
Gedung Grahadi (Paleis van Simpang) dibangun pada 1794, Gedung Setan (Spookhuis) sudah ada ketika kematian Carel Reyniersz pada 1653, sedangkan Kantor Maskapai Pengiriman Paket sudah ada sebelum Daendels. Diduga usia gedung kantor pengiriman barang sudah lebih dari 225 tahun atau bahkan lebih dari 250 tahun. Sayang tidak ada inskripsi pembangunan gedung ini.
Diusianya yang sudah lebih dari dua abad ini, bekas kantor maskapai paket dan Pos ini mulai bersolek luar dan dalam. Semoga keberadaan eks kantor paket dan Pos ini dapat mendorong revitalisasi kawasan kampung Eropa Surabaya.
Pemandangan Kalimas (water front) dilihat dari balkon lantai dua. foto: begandring
Pelestarian Tematik
Ketika mengusung konsep pelestarian yang tematik, seperti harapan walikota Surabaya Eri Cahyadi kepada Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Surabaya, maka pelestarian di kawasan Kampung Eropa harus bertemakan Eropa, khususnya negeri Belanda.
Bangunan peninggalan Belanda harus dijaga, dilestarikan dan dimanfaatkan. Bangunan bangunan peninggalan Belanda di kawasan Kampung Belanda ini secara kasat mata jika dilihat oleh orang orang moderen, ada beberapa yang mungkin dianggap lusuh, tidak memiliki keindahan arsitektur dan tidak memiliki nilai ekonomis di kawasan yang ekonomis dan dampaknya rawan dibongkar.
Padahal bangunan itu, yang berbentuk bangunan beratap tinggi, mengerucut dengan sosoran miring ke depan dan belakang, di ujung atap kiri dan kanan pada ujung gawel memiliki piron, yakni bangunan pada masa awal dibangunnya Kota Surabaya kisaran abad 17 dan 18. Ketika teknologi foto belum ada, lukisan dan litografi telah mengabadikan suasana dan pemandangan Surabaya di abad 18.
Untuk masa sekarang bangunan semacam itu, yang ternyata masih ada di Surabaya, harus dipertahankan untuk tujuan tujuan edukasi, penelitian, ilmu pengetahuan, budaya dan pariwisata. Bangunan model ini (abad 18) tentu sangat kontras dengan bangunan moderen (abad 20). Karenanya bangunan yang nampak sederhana ini rawan dibongkar dan dialih fungsikan. Apapun bangunan itu adalah bukti proses peradaban Surabaya di bidang arsitektur dan budaya.
Ketika ingin membangun tema Eropa di kawasan Kampung Eropa, maka perlu dipikirkan kekhasan apa terkait dengan Eropa. Misalnya yang jelas jelas di depan mata adalah melestarikan dan memanfaatkan peninggalan bangunan bangunan kolonial dari lapisan masa: abad 18, 19 dan 20.
Menempatkan tiang tiang Penerangan Jalan Umum (PJU) di trotoar trotoar di kawasan Kampung Eropa. Design PJU disesuaikan dengan tema Eropa Surabaya. Misalnya meniru design PJU yang memang pernah ada dan dipasang di Surabaya pada masa lampau. Kemudian, mengaplikasikan warna warna khas Belanda pada media media umum seperti tiang PJU. Misalnya warna oranje.
Kalau toh ada penambahan aksesoris untuk mewarnai nuansa Kampung Belanda, bisa juga ada penambahan kursi kursi besi di trotoar yang dicat warna oranje dan biru.
Untuk menambah nilai edukasi papan papan nama jalan dibuat dengan menambahkan nama jalan lama di bawah nama jalan sekarang dan ada terjemahan dari nama tempo dulu. Nama nama jalan tempo dulu di kawasan Oude Stad van Soerabaia itu menunjukkan adanya utilitas dan fasilitas kota. Misalnya nama Jalan Mliwis (sisi barat) dulunya bernama Oude Hospitaalstraat (Jalan Rumah Sakit lama). Di sekitar Jalan itu, pada masa VOC memang pernah ada rumah sakit.
Lalu nama Jalan Gelatik, yang nama tempo dulunya adalah Stadhuiz steeg (Gang Balai Kota). Di dekat Jalan Gelatik ini pada masa VOC pernah ada gedung Balai Kota dimana seorang gezaghebber berkantor.
Contoh lainnya adalah Jalan Cendrawasih yang dulunya bernama Romesche Katolikkerk Straat (Jalan Gereja Katolik Roma). Di Jalan Cendrawasih ini dulunya memang pernah ada sebuah gereja Katolik yang kemudian dipindah ke Jalan Kepanjen.
Kiranya masih ada lagi yang bisa ditata untuk menciptakan tema Eropa (Belanda) di kawasan Kampung Belanda. Ini semua akan menghidupkan kembali memori publik tentang Kampung Eropa.
Revitalisasi tematik ini akan memudahkan proses dan cara cara revitalisasi sehingga pada gilirannya menciptakan ikon-ikon Surabaya yang menarik perhatian warga dan pengunjung. (*).