Seperti menemukan mutiara. Begitulah kesan ketika pertama kali mengunjungi Balai Yasa Surabaya Gubeng yang legendaris itu.
Minggu (25/9/2022), tempat bersejarah itu memang dibuka untuk umum. Pembukaan itu terkait rangkaian HUT ke-77 PT Kereta Api Indonesia (KAI). Sayang, kunjungan ini dibatasi hingga Selasa (27/9/2022).
Kesempatan melihat Balai Yasa Surabaya Gubeng ini memang tak disia-siakan masyarakat. Pasalnya, kawasan vital ini sehari-hari hanya terbuka bagi karyawan PT KAI. Khususnya yang berdinas di sana.
Balai Yasa Surabaya Gubeng adalah bengkel kereta api melayani perawatan, pemeriksaan, pemeliharaan, dan rehabilitasi kereta dan gerbong yang lokasinya berada di wilayah Gubeng. Lokasinya tak jauh dari Stasiun Surabaya Gubeng.
Bagi warga Surabaya, Balai Yasa Surabaya Gubeng ini bak boneka cantik dari India. Boleh dilirik tak boleh dibawa. Masyarakat hanya melihat keindahan dan kecantikan kompleks bangunan kolonial ini dari kejauhan.
Bila melintas di depan Balai Yasa Surabaya Gubeng, di depan pintu masuk ada patung orang mendorong roda besi.
Areal kompleks cukup luas, berpagar tembok melingkar yang tidak memungkinkan orang mengintip sekali pun. Bahkan, warga di sekitar Balai Yasa seolah buta terhadap keberadaan kompleks yang dibangun sejak tahun 1910-an ini.
Keindahan itu ada. Tidak hanya indah dipandang mata, tapi indah di benak dan pikiran. Balai Yasa adalah mutiara dan sejarah Kota Surabaya. Sejarah industri perkeretaapian, sejarah transportasi darat, sejarah perjuangan bangsa.
Sekali lagi, terlalu sayang jika mutiara kota ini keberadaannya tidak banyak diketahui publik.
Momen HUT ke-77 PT KAI dapat membasuh dahaga di benak masyarakat yang selalu haus akan keindahan peninggalan kolonial di kawasan elit Gubeng. Peninggalan sejarah bangsa ini sangat layak menjadi ajang edukasi bagi publik.
Hari pertama, warga berbondong-bondong ke Balai Yasa Surabaya Gubeng. Mulai dari anak anak, remaja, dewasa hingga manula. Mereka mencuci mata melihat mutiara kota. Benar-benar mutiara. Mulai dari bangunan, jaringan rel kereta yang mengular memasuki emplasemen perbengkelan, hingga sarana sarana perbaikan gerbong dan kereta.
Semuanya masih in situ. Atmosfer berasa klasik. Sangat layak untuk media pembelajaran tentang sejarah kereta api Indonesia. Pun sebagai destinasi sejarah Kota Surabaya.
Kiranya, stakeholder terkait bisa memanfaatkannya sebagai ajang edukasi bagi anak anak bangsa. PT KAI bisa berkolaborasi dengan Pemerintah Kota Surabaya melalui Dinas Kebudayaan, Kepemudaan dan Olahraga serta Pariwisata (Disbudporapar), Dinas Pendidikan (Dispendik) dan Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Surabaya.
Bangunan warisan kolonial ini masih terawat dengan baik. foto: begadring
Jadi Wahana Wisata
Dari pengamatan pada hari pertama, pengunjung sangat antusias dan terkesan dengan pemandangan indah di Balai Yasa Surabaya Gubeng. Mereka juga merasa mendapat pengetahuan baru dari penjelasan pemandu saat menjelajah di lingkungan bengkel kereta api ini.
“Saya sepertinya diajak memasuki lorong zaman yang mengesankan”, ungkap Ita Surojoyo, salah seorang pengunjung dari Nganjuk.
Hal senada juga disampaikan Anggota Komisi B DPRD Kota Surabaya Alfian Limardi. Dia meresa beruntung bisa datang di acara pembukaan di tempat bersejarah ini.
“Ini adalah aset bangsa yang layak diapresiasi dari sisi edukasi. Aset ini bisa bercerita banyak mengenai peran Balai Yasa dalam mendukung peran institusi kereta api dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia,” tutur dia, saat mengunjungi stan pameran yang menyajikan buku-buku dan dokumentasi kereta api.
Agung Widyanjaya, pegiat sejarah kereta api, menyambut baik dibukanya Balai Yasa Surabaya Gubeng. Meski sekarang waktunya masih terbatas.
Agung juga dikenal sebagai kolektor pernik-pernik kereta api, mulai dari buku, lembar saham kereta api era kolonial, serta miniatur kereta.
Dia mengaku, upayanya menghadirkan barang-barang langka ini demi merekontruksi sejarah perkeretaapian agar generasi sekarang tidak terputus dari sejarah bangsa ini.
“Saya harus berburu buku-buku dan lembar lembar saham kepemilikan aset aset yang terkait dengan kereta api dari Eropa, seperti Belanda dan Jerman,” beber dia.
Nevy Eka Pattiruhu, anggota Death Rail Hunter, mengatakan bahwa mengkonstruksi sejarah kereta api tidak cukup dengan ketersediaan literasi dan benda-benda memorabilia. Perlu juga sarana yang mendukung untuk men-display benda-benda, buku-buku yang terkait dengan sejarah kereta api.
“Tempat itu bisa jadi stasiun Surabaya Kota, yang selama ini secara fisik sudah selesai renovasinya. Saatnya Stasiun Kota dimanfaatkan untuk bisa memberikan nilai tambah. Selain dimanfaatkan sebagai stasiun untuk komuter, di salah satu sudut atau ruang stasiun bisa dijadikan sebagai museum,” jelas Nevy.
Menurut dia, dengan tempat yang layak dan representatif, sejarah perkeretaapian bisa tersajikan dengan baik. Juga bisa menambah fungsi stasiun sebagai tempat keberangkatan dan pemberhentian kereta api.
“Mereka para penumpang bisa mengisi waktu tingginya dengan berwisata di dalam stasiun,” timpal Nevy.
Para pegiat sejarah di Jawa Timur menghadiri acara pembukaan. foto: begandring
Perjuangan Buruh
Kota Surabaya adalah Kota Pahlawan, di mana para buruh kereta api di era revolusi terlibat dalam sebuah laskar yang turut berjuang untuk mempertahankan kedaulatan bangsa.
Ady Setyawan, pegiat sejarah Surabaya, menyebut bahwa pada pertempuran 10 November 1945, Angkatan Muda Kereta Api (AMKA) punya peran signifikan. Pasukan AMKA yang terbentuk di Jalan Waspada Surabaya memiliki fungsi tempur yang sangat luar biasa. (jpnn.com, 31/5/2018)
Peran seperti inilah yang belum banyak diketahui publik. Karena itu, sudah saatnya ada wadah yang dapat menjadi display tentang peran kereta api dan sejarah perkeretaapian Indonesia, khususnya di Surabaya.
Sejarah perkeretaapian di Indonesia memang dimulai ketika pencangkulan pertama jalur kereta api Semarang-Vorstenlanden (Solo-Yogyakarta) di Desa Kemijen oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda Mr. L.A.J Baron Sloet van de Beele tanggal 17 Juni 1864.
Kemudian pemerintah Hindia Belanda membangun jalur kereta api negara melalui Staatssporwegen (SS) pada tanggal 8 April 1875 dengan rute Surabaya-Pasuruan-Malang. Stasiun Surabaya ini tidak lain adalah Stasiun Kota atau Semut.
Sementara, pada tahun 1910 SS membangun Werkplaats Soerabaja-Goebeng dan mulai digunakan sekitar tahun 1913. Sekarang dikenal dengan nama Balai Yasa Surabaya Gubeng. Pembangunan itu mengacu pada bengkel-bengkel kereta api terbaik yang berada di Eropa maupun Amerika.
Mengutip situs Heritage.kai.id bahwa pada tahun 1925, Bengkel Kereta Api Surabaya Gubeng, yang dipimpin oleh ir. H. P. Kalbacher Turkenburg, mengerjakan logam dan kayu. Untuk pekerjaan logam terdapat los-los untuk: pembuatan ketel, pembuatan bangku, bengkel bubut, bengkel pandai besi, pengecoran besi dan tembaga, perajin timah, dan pembuatan instrumen. Sedang los-los pekerjaan terkait kayu meliputi pengeringan kayu, bagin gerobak, pertukangan, reparasi lampu, pewarna dan cat.
Dalam perkembangannya, Balai Yasa Surabaya Gubeng turut melakukan pemeliharaan kereta kelas ekonomi dan bisnis. Kemudian Balai Yasa dipercaya melaksanakan pemeliharaan kereta Argo Bromo Anggrek. Pemandangan terkini bisa dilihat di saat open house ini. (*)