Meniti Jejak Peradaban Delta Surabaya

Di Surabaya ada dua kawasan delta sungai. Yakni, Delta Peneleh dan Delta Jagir (Bukan Delta Sari atau Delta Plaza). Dari kedua delta sungai ini, usia Delta Peneleh jauh lebih tua. Delta ini terbentuk secara alami karena proses sedimentasi yang terjadi selama berabad-abad.

Proses sedimentasi Peneleh di antara dua sungai (Kalimas dan Pegirian) yang terjadi secara gradual dan kronologis dapat diamati dari hadirnya peradaban di sana. Peradaban yang lebih tua diidentifikasi berada di lahan sedimentasi yang lebih awal. Awal sedimentasi ini berada di selatan kawasan (delta). Yaitu Pandean Peneleh.

Delta sungai berperan penting dalam peradaban manusia karena lokasi delta merupakan pusat produksi sumber makanan dan permukiman. Delta juga memberikan perlindungan terhadap garis pantai dan mempengaruhi suplai air minum.

Dari sudut pandang ekologi, delta memegang peran penting sebagai tempat tinggal berbagai spesies, termasuk manusia. Ini terbukti dengan adanya temuan benda arkeologi berupa sumur Jobong di Kampung Pandean, Peneleh.

Sumur adalah sebuah sumber mata air, yang didapat dengan cara menggali tanah. Sebuah sumur tradisional biasanya berbentuk lubang tanah, yang kemudian diberi dinding.

Sementara Jobong adalah model teknologi sumur, yang secara fisik berbentuk silinder dan terbuat dari terakota. Jobong inilah yang dipakai sebagai dinding sumur.

Kedalaman sumur akan menentukan jumlah jobong yang dipasang. Semakin dalam sumber air dari galian, berarti semakin banyak jobong yang dipasang. Sumur Jobong terdiri dari tumpukan silinder yang disusun kedalam sesuai dengan dalamnya galian.

Di Trowulan, Kabupaten Mojokerto, banyak ditemukan sumur sumur kuno seperti ini sebagai bagian dari kebutuhan domestik.

Ternyata di Surabaya juga ditemukan Sumur Jobong. Temuan Sumur Jobong di Pandean Peneleh pada 2018 itu adalah satu satunya temuan arkeologi dan masih in-situ keberadaannya.

Baca Juga  Quo Vadis Revitalisasi Kota Lama Surabaya

Temuan ini merupakan satu satunya di Surabaya, dan sekaligus sebagai satu satunya petunjuk otentik pernah adanya permukiman kuno di Pandean yang lokasinya berada di Delta Peneleh (antara Kalimas dan Pegirian).

Dari hasil uji carbon di National University of Australia di kota Canberra, diketahui bahwa sumur Jobong di Pandean sudah ada pada 1430 M. Ini berarti sumur dibuat sebelum tahun 1430 M.

Sayang, tidak diketahui kapan sumur dibuat. Tapi GH Von Faber dalam buku Eerwerd Eenstad Geboren (1953), menulis bahasa Pandean dan Peneleh sudah menjadi permukiman pada 1270 M. Kemudian Surabaya (Pengampon), utara Peneleh, dibuka pada 1275 M

Dari Pandean, Peneleh dan Pengampon, semakin ke utara terdapat sebuah peradaban yang relatif lebih muda dan keberadaanya dapat diidentifikasi dengan jelas. Yaitu, peradaban di Ampel Denta ketika Raden Rachmad datang beserta pengikutnya dari Trowulan pada 1440-an.

GH Von Faber dalam Oud Soerabaia menuliskan bahwa ada sekitar 3.000 keluarga yang membersamai Raden Rachmad. Diduga, sebelum Raden Rachmad datang ke Ampel Denta, di sana sudah ada peradaban Hindu.

Setelah peradaban Hindu, peradaban Islam mulai bertumbuh seiring dengan didirikannya masjid dan pondok pesantren.

Menurut Prof Aminuddin Kasdi yang mengutip sumber De Opkomst van Hetherlands Gézaag in Oost Indie, Deel VII, omtrent Trunadjaya, di lokasi di mana Raden Rachmad mendirikan masjid, di sana telah ada bangunan suci umat Hindu.

Peradaban Hindu sebelum Islam di Ampel Denta ini juga dipertegas oleh sebuah disertasi di Universitas Indonesia (UI) yang menuliskan bahwa masjid yang didirikan Raden Rachmad di Ampel dibangun di atas lahan bekas bangunan suci umat Hindu, Nyu Denta.

Meniti Jejak Peradaban Delta Surabaya
Peradaban Kampung Eropa (barat sungai) dilihat dari Kampung Pecinan (timur sungai).

 

Baca Juga  Koin-Koin Langka di Pameran The History of Surabaya

Di Luar Batas Sungai

Dalam perkembangannya, kawasan di antara dua sungai ini semakin bertambah ramai dari abad ke abad. Memasuki abad 17, saudagar Eropa mulai melirik Surabaya untuk tujuan tujuan dagang dan komersial.

Misalnya pada 1612, datanglah penguasa dan pengusaha VOC, Hendrik Brouwer, untuk bertemu dengan seorang pangeran Surabaya.

Kedatangan bangsa Eropa di Surabaya ini tidak bermukim di kawasan di antara dua sungai, yaitu Kalimas dan Pegirian. Mereka memilih lahan baru di luar batas sungai.

Mereka memilih di lahan sebelah barat Kalimas. Tetapi mereka masih menentukan lahan yang dekat dengan pusat keramaian yang sudah berkembang selama ratusan tahun. Mereka bermukim di seberang barat dari Pecinan yang sudah ramai dari abad 13.

Di barat sungai inilah berkembang kawasan bangsa Eropa yang wilayahnya dilengkapi dengan struktur tembok kota yang kuat.

Tidaklah heran jika kota Eropa Surabaya adalah kota bertembok (walled town). Hingga sekarang bekas kota bertembok ini masih terlihat jelas. Struktur jalan, yang terbentuk mulai era VOC, masih terlihat hingga sekarang.

Perkembangan Surabaya, yang secara fisik dibuat oleh Belanda ini, semakin melebar dan menuju ke utara, barat dan selatan sejak abad 17 hingga abad 20.

Selain ada sudetan Kali Surabaya (kanal Kalimas) yang dibangun pada awal abad 19 di sekitar Jembatan Merah, mereka pada awal abad 20 juga semakin memperkuat pembangunan pelabuhan laut di Ujung, muara Kanal Kalimas.

Sejak era era kolonial inilah kesibukan pelabuhan laut Surabaya semakin ramai. Apalagi pelabuhan laut menjadi persebaran produk produk bumi dari pedalaman pulau Jawa ke kota kota dunia, mulai dari produk rempah rempah di era VOC (1600-1799) hingga produk perkebunan keras di era Hindia Belanda (1800-1950).

Baca Juga  Jalan Galuhan, Jembatan Hujunggaluh, dan Salah Kaprah Sejarah

Untuk mengimbangi gelist dan dinamika produksi dan perdagangan hasil bumi, maka di kota Surabaya bercokol kantor kantor dagang yang bertaraf internasional sebagai perwakilan kota Amsterdam (HVA) dan Rotterdam (Internasio).

Dari perkembangan Surabaya sebagai kota klasik hingga menjadi kota modern di era kolonial, ternyata secara alami kondisi dan perubahan kondisi alamnya tidak memperlihatkan adanya sebuah titik pelabuhan besar yang ramai, kecuali ketika mulai dibangun pelabuhan laut untuk mengimbangi perkembangan produk-produk hasil bumi dari pedalaman Jawa. Sekarang, namanya Pelabuhan Tanjung Perak.

Lantas, dimanakah pelabuhan laut Surabaya, yang dikabarkan ramai sejak abad 13-15 di era Majapahit serta abad 16? Ya, Pelabuhan Hujunggaluh.

Sejak dulu, sekira abad 13, justru yang teridentifikasi sebagai pelabuhan adalah pelabuhan sungai Surabaya atau selanjutnya disebut pelabuhan sungai Kalimas, yang letaknyanya di Kampung Baru (timur Jembatan Merah Plaza).

Bahkan di plengsengan (bibir Kalimas) dekat Jembatan Merah terdapat sebuah ring besi bekas tambatan perahu. Bentuk fisik ring besi ini adalah ring tempaan dari pande besi, bukan hasil produksi pabrikan. RIng itu masih ada. (nanang purwono)

 

 

 

 

 

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *