Siapakah tokoh emansipasi wanita di Indonesia (dulu Hindia Belanda)? Pasti banyak yang menjawab Raden Ajeng (RA) Kartini. Tapi tahukan Anda jika sebelum Kartini, ada tokoh lain yang gigih memperjuangkan kesetaraan. Ya, namanya Mina Kruseman.
Mina Kruseman lahir di Velp, Gelderland, Belanda, 25 September 1839 dan meninggal di Kota Paris, Perancis pada 1922.
Namanya, Wilhelmina Jacoba Pauline Rudolphine “Mina” Kruseman. Sering disingkat Mina Kruseman. Nama samarannya, Oristorio di Frama.
Siapa yang tahu bahwa Mina Kruseman ternyata punya semangat emansipasi, rasa kemerdekaan sebagai seorang wanita justru mulai tumbuh di Jawa.
Kok bisa?
Pada usia muda, kisaran awal belasan tahun, di tahun 1850-an, Mina Kruseman dan 3 saudara perempuannya diajak bapaknya ke Hindia Belanda.
Mina Kruseman adalah putri tertua dari Hendrik George Kruseman (1802 -1880), yang tergabung dalam kesatuan Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL).
Karenanya, H.G. Kruseman datang ke Hindia Belanda. Ketika di Hindia Belanda, mereka hidup di Semarang, Jawa Tengah.
Selama tinggal di Semarang, Mina Kruseman mengalami dan mengenyam masa masa hidup dengan perasaan bebas. Pengalaman ini dituangkan dalam otobiografinya yang berjudul Mijn leven (Hidupku), diterbitkan tahun 1877.
Sebagai gadis muda yang masih berusia belasan tahun, kala itu, Mina sudah bisa membandingkan antara hidup di lingkungan kampung halaman di Belanda dan di Semarang, Hindia Belanda.
Menurutnya, tinggal di kampung halaman, Velp, perempuan dianggap sebagai kelompok yang paling terpengaruh secara negatif oleh norma-norma sosial.
Di kota kecil Velp, masyarakat berpikiran sempit dan memperlakukan batasan-batasan terhadap perempuan berdasarkan nilai kesopanan, konvensi dan agama.
Tahun 1854, di usianya 15 tahun, orang tua Mina Kruseman memboyong keluarganya kembali ke Belanda. Pengalaman hidup selama di Jawa telah memberi Mina nilai hidup baru.
Ketika tiba di kampung halaman, dia harus menghadapi lagi suasana tak mengenakkan. Dia menilai banyak masyarakat yang berpikiran sempit. Banyak batasan secara sosial dan kultur. Dia mengalami culture shock di rumahnya sendiri.
Menurut Mina Kruseman (1839-1922), Jawa memberi nilai hidup baru. Yakni, kebebasan bagi perempuan. Ada perbedaan nilai antara Jawa dan Belanda.
Sesama emansipator wanita, Mina Kruseman dan Raden Ajeng Kartini, sepertinya memiliki standar nilai emansipasi wanita yang berbeda.
Bagi RA Kartini (1879-1904), kehidupan di Jawa terasa mengungkungnya. Karenanya ia mempelopori adanya gerakan emansipasi wanita.
Sedangkan bagi Mina Kruseman, justru Jawa telah memberikan pengalaman kebebasan. Karenanya ketika ia kembali ke negaranya pada 1854, ia menghadapi dan mengalami culture shock di kampung halamannya sendiri.
Kesetaraan Gender
Setiba di negerinya, Mina Kruseman harus adaptasi dan melakukan sesuatu yang istimewa untuk penyesuaian, tetapi dia kesulitan dan tidak mudah. Sampai-sampai dia harus hijrah ke negara tetangga, Belgia.
Tidak cuma Belgia, ia juga sempat tinggal di Perancis dan Amerika. Ketika di kota Brussel, Belgia, ia mulai bergabung dengan kelompok musik. Tapi hanya setahun, karena dua saudara perempuannya meninggal dan ia sendiri gagal dalam pertunangan (percintaan).
Sejak itu, Mina semakin menceburkan diri ke dalam dunia seni. Dia melanjutkan pendidikan seni tarik suara di Paris. Saat dia mencapai kesuksesan di Eropa, kemudian dia memutuskan untuk pergi ke Amerika pada tahun 1871. Saat itu, usianya sudah usia 32, semakin beranjak dewasa.
Di Amerika, Mina Kruseman semakin melejit dan membuat nama panggung Stella Oristorio di Frama. Ada nama samaran lainnya yang dipakai, yaitu Karcilla Réna.
Namun kehidupan Mina Kruseman sebagai seniman dan artis bagai gelombang, naik turun. Dia akhirnya kembali ke Belgia pada tahun 1872.
Di tahun yang sama, Mina Kruseman sempat tinggal di Paris pada akhir Juli 1872. Di sana dia menulis sebuah surat terbuka yang menanggapi isi pamflet yang dianggap tidak bersahabat dengan wanita.
Pamflet itu ditulis oleh Alexandre Dumas. Isinya berupa pertanyaan yang berbunyi, “Apakah perempuan harus dibunuh karena perzinahan atau tidak?”
Rasa emansipasinya semakin kuat. Kebetulan, Dumas sendiri menciptakan istilah féministes (feminis) yang ditulis dalam buku.
Dalam buku itu, ia menulis, “Para feminis, maafkan saya tentang neologisme itu. Semua ini datang karena adanya paham, yang tidak ingin mengakui bahwa perempuan setara dengan laki-laki, bahwa dia tidak harus diberi pendidikan yang sama dan hak yang sama dengan laki-laki.”
Karena paham inilah, semangat Mina Kruseman dalam memperjuangkan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki bergelora. Tidak hanya di bidang seni, Mina Kruseman juga menggelorakan kesetaraan melalui ceramah-ceramah akademik.
Nama Mina Kruseman semakin melejit karena isu kesetaraan gender. Bahkan namanya juga menjadi populer di tanah kelahirannya, Belanda.
Ia menggelar pertunjukan pertamanya di Belanda di kota Den Haag pada November 1872. Dalam pertunjukan itu, dia membacakan satu bab dari novel feminisnya yang berjudul Een huwelijk in Indië, (Perkawinan di Hindia Belanda).
Apalagi ketika Mina Kruseman melakukan tur bersama dengan perintis feminis Belanda lainnya, Betsy Perk, Maret hingga Mei 1873. Maka, nama Mina Kruseman semakin tenar di seluruh Belanda. (nanang purwono)