Nama Alun-Alun Surabaya Direkom Ganti

Nama Alun-Alun Surabaya dianggap tidak tepat. Nama itu juga mengaburkan keberadaan Balai Pemuda, gedung bersejarah (cagar budaya) yang dilindungi Pemerintah Kota Surabaya. Karenanya, nama Alun-Alun Surabaya layak diganti.

Demikian benang merah webinar bertajuk “Anomali Alun Alun Kota Surabaya” yang digelar Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Jawa Timur, Selasa (11/1/2022) malam. Diskusi yang dipandu Prof Dr Purnawan Basundoro (Ketua MPI Jawa Timr) itu, menghadirkan pembicara Ir Handinoto MT (UK Petra), Nanang Prwono (Ketua Begandring Soerabaia), dan Eko Jarwanto MPd (pegiat sejarah).

Nanang menuturkan, dalam beberapa hari, nama Alun Alun Surabaya memang mampu membius masyarakat, bukan hanya di Surabaya, tapi juga daerah-daerah lain di Jawa Timur. Tiap hari, ratusan pengunjung datang.

“Animo masyarakat mengunjungi Alun-Alun Surabaya cukup tinggi. Apalagi ada plaza yang dibangun di bawah tanah,” terang Nanang.

Dia lalu menjelaskan, Pemerintah Kota Surabaya membangun Alun-Alun Surabaya di kompleks Balai Pemuda. Pada Desember 2021 lalu, tempat itu telah diresmikan dan bisa dikunjungi khalayak.

Nanang menyatakan bukan menolak pembangunan Alun-Alun Surabaya. Hanya, dia ingin meluruskan sejarah. Jjika Alun-Alun Surabaya tempatnya bukan di kompleks Balai Pemuda, melainkan di kawasan Tugu Pahlawan.

“Sejarah harus diluruskan. Jangan sampai generasi muda menjadi ahistoris akibat ketidaktahuan dan ketidakmengertian tentang tempat-tempat bersejarah,” terang pria kalem itu.

 

Nanang lalu membeber fakta dengan memutar video yang dibuat Bengandring Soerabaian melalui Youtube Channel Heritage Walk. Video tersebut berisi testimoni anak-anak muda yang datang ke Alun-Alun Surabaya.

Hasilnya, seratus persen mereka tak tahu sejarah Alun-Alun Surabaya. Bahkan, mereka tidak tahu nama gedung Balai Pemuda yang menyimpan sejarah kepahlawanan Arek-Arek Surabaya.

Baca Juga  Subtrack: Bermula dari Hobi, Jadi Wisata dan Edukasi

“Ini yang membat saya mengelus dada. Anak-anak muda itu malah menyebut Gedung Balai Pemuda dengan Balai Kota,” papar Nanang.

Kata dia, ada proses missing link yang menjadi terputusnya pemahaman sejarah kota oleh warganya. Hal ini sangat berbahaya. “Kota bisa kehilangan jati dirinya. Surabaya bisa kehilangan ruh kepahlawanannya,” tandas jurnalis senior itu.

Handinoto mengaku keget melihat ketidaktahuan warga yang terekspos melalui video pendek itu. Dia pun geleng-geleng kepala.

“Dari rekaman video tadi menunjukkan bahwa para generasi muda sangat tidak mengerti sejarah kotanya. Saya sangat prihatin”, tutur Handinoto.

Handinoto berharap ada kebijakan dalam dunia pendidikan di Surabaya untuk menyisipkan materi pelajaran sejarah Surabaya sebagai muatan lokal.

“Itu harus diajarkan mulai tingkat SD, SMP hingga SMA,” lanjut pria yang juga sebagai anggota Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Surabaya itu.

Dalam paparannya, Handinoto sempat menjelaskan konsep alun alun di Jawa pada zaman dulu dan sekarang. Menurutnya, alun-alun adalah simbol kekuasaan yang memiliki sifat sakral karena dipakai sebagai tempat acara-acara penting seperti penobatan dan upacara keagamaan.

Bahkan, terang dia, struktur tata ruang kompleks alun alun pun sangat diperhitungkan. Misalnya di sisi barat alun alun ada tempat ibadah masjid, di sisi utara atau timur ada pendapa tempat penguasa bertempat dan berkantor.

Hal senada disampaikan Eko Jarwanto. Dia menjelaskan tentang perubahan fungsi alun-alun dalam arus zaman. Bahwa alun-alun yang sudah ada sejak era klasik, keberadaannya memang menembus lintas zaman, tapi terpaksa mengalami perubahan seiring dengan perkembangan yang terjadi.

“Di era kolonial ada perubahan fungsi lahan di kompleks alun-alun. Misalnya, ada pembangunan kediaman atau kantor residen atau wakil residen. Ada juga bangunan fasilitas penjara,” sebut Eko.

Baca Juga  Penyusunan Kurikulum Ekskul Sekolah Artefak SDN Sulung, Surabaya

Di era pasca kemerdekaan, imbuh da, perubahan fungsi dan pemanfaatan lahan di sekitar dan kompleks alun-alun terlihat semakin jelas dan pesat.

“Misalnya, alun alun sudah menjadi lapangan olahraga. Ada lapangan sepak bola, basket, termasuk area pedagang kaki lima,” terang Eko.

Baik Eko Jarwanto maupun Handinoto, sama sama sepakat bahwa Surabaya pernah memiliki alun-alun yang letaknya berada di kawasan Tugu Pahlawan. Karena perkembangan zaman dan perubahan fungsi, maka Alun-Alun Surabaya menjadi hilang. Misalnya ketika kantor Pemerintah Kota Surabaya (Gemeente) dibangun di kawasan Ketabang pada 1920-an, maka ruang publik semacam alun-alun tercipta di sana.

Sementara di kompleks Alun-Alun Surabaya sendiri dibangun kantor pemerintah provinsi, gouvernor, pada akhir 1920-an. Masjidnya pun yang berada di sisi barat alun alun juga dibongkar. Sekarang di bekas area alun-alun sudah berdiri Tugu Pahlawan dan museum. Alun alunnya hilang.

Yang patut menjadi perhatian serius, menurut Handinoto, tidak adanya keterlibatan masyarakat dalam penamaan baru kompleks Balai Pemuda. Bahkan, Handinoto tidak menemukan konsep dan latar belakang yang jelas dengan penggunaan nama Alun-Alun Surabaya.

“Justru yang terjadi adalah pengaburan sejarah dan identitas kota,” tegasnya.

Di akhir webinar yang berlangsung dua jam, dicapai kesepakatan jika nama Alun-Alun Surabaya patut diganti. Beberapa nama yang diusulkan di antaranya, Alun Alun Simpang atau Alun Alun Balai Pemuda.

Purnawan Basundoro yang juga Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Surabaya, mengatakan akan menyerahkan rekomendasi dari hasil diskusi publik ini ke Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi.

“Harapannya segera ditindaklanjuti. Karena rekomendasi ini dari hasil pemikiran publik untuk kota tercinta Surabaya,” pungkas Basundoro. (*)

 

Ditulis Oleh : Nanang Purwono, jurnalis senior, ketua Begandring Soerabaia

Baca Juga  Inovasi dan Kreativitas Tiada Henti Demi kepentingan Umum. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *