Nilai Pembauran Budaya Pada Arsitektur Bangunan di Surabaya

Tim produksi film dokumenter Bie Muusze dari Amsterdam, Belanda selama dua hari (26-27/9/2022), menghabiskan waktunya di Surabaya. Mereka mendokumentasi gedung-gedung yang secara seni dan arsitektural, menyimpan nilai-nilai budaya.

Tim Bie Muusze membidik budaya perpaduan antara budaya lokal dan budaya kolonial sehingga tema dokumentasi yang diangkat adalah “Pembauran”. Selama dua hari itu, mereka didampingi dan dipandu oleh tim Begandring Soerabaia.

Di era kolonial, masyarakatnya tidak semata mata terbagi antara pendatang (asing) dan lokal (bumi putera), tetapi justru disana lahir budaya pembauran yang jejaknya masih bisa diidentifikasi hingga sekarang dan bahkan jejak itu memberi nilai tambah jika dimanfaatkan dengan baik. Sekarang, nilai tambah itu bisa dijadikan sebagai jembatan kerjasama antar bangsa.

Era kolonialisasi pada masa lalu seharusnya tidak selalu dipandang dengan sudut pandang permusuhan dan apalagi kebencian. Memang ada yang baik dan buruk akibat dari kolonialisasi.

“Sebagai refleksi atas masa lalu, akan sangat bijak bila generasi sekarang bisa menyaring dan membedakan mana yang baik dan buruk. Kemudian yang baik hendaknya dipakai sebagai landasan untuk menatap masa depan. Sedangkan yang buruk harus ditinggalkan,” kata Nanang Purwono, Ketua Begandring Soerabaia, sebagai mitra kerja Bie Muusze Documentary Film Maker.

Tim produksi film dokumenter Bie Muusze, yang datang dari Belanda, sengaja mencari nilai nilai perpaduan kedua budaya: lokal dan kolonial melalui karya arsitektur yang tersebar di kedua negara, Indonesia-Belanda. Di Indonesia, salah satu kotanya adalah Surabaya.

Banyak karya arsitektur yang berbentuk gedung dan bangunan di Surabaya. Maklum, Surabaya dikenal sebagai “rumah” keberagaman arsitektur dari beragam arsitek. Bahkan seorang arsitek, yang dijuluki Bapak Arsitektur Moderen, HP Berlage, memiliki karya bangunan eksotik di Surabaya. Bangunan ini umum disebut Gedung Singa.

Baca Juga  Surabaya berasal dari Curabhaya, bukan Hujunggaluh

Dalam produksi film dokumenter yang bertema “Pembauran”, salah satu arsitek yang menjadi fokus produksi adalah arsitek Citroen. Nama lengkapnya adalah Cosman Citroen, lahir di Belanda, 26 Agustus 1881  dan meninggal di Surabaya pada 15 Mei 1935). Ia adalah seorang arsitek Belanda, yang banyak mendesain bangunan di Hindia Belanda, termasuk di Surabaya.

Dia juga merupakan pimpinan Museum Asosiasi Antik di Surabaya, dan selama tahun-tahun terakhir hidupnya, dia bekerja sebagai advisor arsitektur di kota Surabaya. Dia mengerjakan rancangan urban ekspansi kota Surabaya, termasuk rancangan kota Ketabang dan Balai Kota.

Karya karya Citroen lainnya yang masuk dalam produksi film dokumenter ini adalah villa pengusaha gula Tionghoa di Jalan Kayoon, Jembatan Gubeng, Gedung Borneo Soematra Maaschappij (Borsumij) yang kini dipakai sebagai kantor sebuah bank di Jalan Veteran.

Tim film dokumenter Bie Muusze juga mengabadikan kondisi terakhir peristirahatan terakhir, makam Citroen di pemakaman umum Kembang Kuning Surabaya.

Selain karya Citroen, gedung gedung lain yang mengandung nilai nilai peradaban campuran dalam karya arsitektur adalah Gedung Algemeene Singa di Jalan Jembatan Merah, Gedung Handels Verenigging Amsterdam (HVA) di Jalan Merak, dan rumah pejabat Javasche Bank di Jalan Mayangkara. Gedung-gedung itulah, menyimpan nilai pembauran budaya kolonial dan lokal.

“Mereka bukanlah gedung yang mentereng dengan warna kolonialnya, tapi membawa warna pembauran, ada alkulturasi budaya. Karya karya itu menunjukkan harmonisasi yang telah hidup di era kolonialisasi,” ujar Frans Leidermeijer di sela syuting.

Jika di masa kolonial sudah hidup pembauran, maka nilai ini dapat menjadi dasar pembauran dalam hal kerjasama antara kedua negara di masa depan.

“Nilai pembauran budaya antara Indonesia dan Belanda ini penting untuk dipromosikan agar kita bisa hidup rukun antar bangsa,” jelas Frans Leidermeijer, produser program film dokumenter  ini.

Baca Juga  Catatan Mahasiswi FIB Unair: Menjadi Bagian Dari Begandring Soerabaia

Menurut rencana, film ini akan menjadi sarana untuk mengisi event event budaya yang digelar di kota kota di Belanda. Selain itu, film ini juga akan dibagikan ke Dirjen Kebudayaan (Kemendikbudristek) RI, wali kota Surabaya dan pihak pihak terkait. Dengan pemutaran film dokumenter “Pembauran” ini, masyarakat luas di kedua negara dapat mengetahui nilai nilai bersama yang ada pada karya arsitektur bangunan.

Selama di Indonesia, tim pembuatan film dokumenter juga mendokumentasikan nilai nilai pembauran pada gedung gedung penting dan terkait di Surabaya, Malang, Kediri, Semarang, Bandung, Cirebon dan Jakarta. (*)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *