Bicara Kampung Pandean Surabaya sekarang seolah identik dengan kampung lahir Soekarno. Ini karena di Pandean IV terdapat rumah lahir Bung Karno yang sudah dianggap bersejarah dan ditetapkan menjadi bangunan cagar budaya.
Karena bersejarah itu, Pemerintah Kota Surabaya membelinya, dan kini bakal dijadikan museum. Berbagai persiapan sudah dilakukan. Renovasi rumah sudah berjalan. Termasuk upaya mengoleksi benda-benda dan memori Bung Karno kecil dan muda ketika masih di Surabaya.
Keyakinan ini berangkat dari hasil riset Peter A Rohi (kini sudah almarhum) dari Soekarno Institut pada 2010. Dari hasil penelitian itu, ia membuat sebuah laporan yang intinya memberitakan bahwa Bung Karno lahir di Pandean IV Nomor 40, Surabaya.
Sejak itu, rumah itu menjadi perhatian warga. Proses pembelian rumah ini juga panjang. Semula, pemilik rumah menawarkan Rp 4 miliar. Tawaran itu dianggap terlalu tinggi. Setelah 7 tahun, rumah dengan ukuran 5×15 meter itu dibeli seharga Rp 1,2 miliar.
Mulai Juli 2022, rumah itu direnovasi untuk selanjutnya dimanfaatkan sebagai Museum Bung Karno. Ke depan, museum ini akan mempertegas bahwa Soekarno lahir di Pandean.
Sayangnya, sumber literasi yang mengatakan bahwa Soekarno lahir di Kampung Pandean sangat terbatas. Hanya hasil penelitian Peter A. Rohi dengan sumber dari karya Nurinwa Hendrowinoto, pakar sejarah dan antropolog UGM, yang memberitakan bahwa Soekarno lahir di Pandean. Temuan ini pernah diseminarkan di Balai Pemuda Surabaya pada 28 Agustus 2010. (tribunnews.com)
Sementara banyak buku dan bahkan Soekarno sendiri tidak menyebut di mana tempat lahirnya, kecuali nama kotanya, yakni Kota Surabaya. Misalnya di buku nikahnya dengan Hariyatie, dalam pidatonya di Universitas Padjadjaran Bandung, buku Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adam.
Atas temuan dan berita bahwa lahirnya Soekarno di kampung Pandean IV, sejauh ini dapat dipercaya dan diterima selama belum ada temuan lain tentang tempat persis kelahiran Soekarno.
Namun, jika ada petunjuk baru yang dapat dipertanggungjawabkan, bukan tidak mungkin akan ada penyesuaian dan koreksi atas temuan selama ini, yaitu, di Pandean IV/40 Surabaya.
Dua Nama Pandean
Raden Soekeni Sosrodihardjo adalah ayahanda Soekarno. Keterkaitan dengan Kampung Pandean adalah karena Soekeni kontrak rumah di sana (Pandean) untuk mendekati tempat ia bekerja sebagai guru. Sekolahan itu ada di Sulung, namanya Hollsndsch Inlandsche School (HIS) Soeloeng. Sulung dan Pandean hanya dipisahkan oleh sungai Kalimas.
Karena ada dua Pandean, Pandean Penilih dan Pandean Lor, maka jadilah pertanyaan di Pandean yang mana Soekarno dilahirkan pada 6 Juni 1901?
Berdasarkan peta-peta lama (1898, 1924 serta ilustrasi kota 1275 (Von Faber) ada Pandean Lor. Letaknya di utara Pandean IV. Jika Pandean IV masuk wilayah administrasi Kelurahan Peneleh. Sedangkan Pandean Lor (nama Pandean Lor sudah tidak ada lagi di peta Surabaya sekarang) berada di wilayah administrasi kelurahan Pabean Cantian).
Pandean IV dan Pandean Lor berjarak sekitar 750 meter dan dipisahkan oleh jalan Jagalan. Keduanya sama sama menghadap sungai Kalimas.
Jika alasan Soekeni terkait jarak antara sekolah dan tempat tinggal ketika mencari rumah kontrakan, maka letak Pandean Lor lebih dekat dibandingkan Pandean IV.
Sayangnya, kampung Pandean Lor sebagaimana tertulis dalam peta-peta lama, sudah tidak ada lagi. Pandean Lor sudah berganti nama menjadi Semut Gang I, II, III dan IV. Mulut-mulut yang Semut dan Sulung ini saling berhadap hadapan. Keduanya menghadap Kalimas.
Di masing masing tepian Kalimas di kedua deretan gang ini terdapat beberapa dermaga sungai. Di dermaga-dermaga sungai inilah dulu pernah ada jasa penyeberangan (tambangan) yang kala itu disebut Overvaart.
Dari Sulung Gang II dan III yang membujur ke barah, ketemu dengan jalan Sulung Tengah yang menuju ke sekolahan Hollandach Inlandsche School yang ada di Jalan Pollackstraat (kini Jalan Sulung Sekolahan).
Jadi, akses jalan dari Pandean Lor ke sekolahan sangat tertata, mulai dari penyeberangan sungai hingga jalan jalan kampungnya. Rumah-rumah yang berdiri di gang-gang Sulung dan Semut juga sudah terencana sebagai kompleks perumahan di eranya.
Jalan Kaki ke Sekolah
Penelusuran ini adalah upaya sajian pandangan alternatif, yang dibuat berdasarkan pada logika dan data. Secara logis, Pandean Lor jauh lebih dekat ke Sulung, di mana sekolah HIS Sulung berada, daripada dari Pandean Peneleh.
Kedekatan ini menjadi pilihan ketika secara ekonomi Raden Soekeni bukanlah orang yang berada. Yang mampu membeli sepeda angin sebagai alat transportasi sederhana untuk berangkat dan pulang mengajar. Apalagi Soekeni adalah orang baru di Surabaya. Logikanya, ia masih mengandalkan berjalan kaki untuk mobilisasi kegiatan, utamanya mengajar.
Karena mengandalkan jalan kaki, maka dipillihlah lokasi yang tidak merepotkan dirinya. Jarak yang dekat dan ketersediaan utilitas publik mulai jalan kampung, jalan kota dan penyeberangan sungai baik tambangan maupun jembatan menjadi pertimbangan. Di sana pernah ada Overvaart (tambangan) dan Soeloeng brug (Jembatan Sulung) yang menghubungkan Pandean Lor dan Sulung.
Rumah-rumah di kedua perkampungan ini sudah di-setting sebagai perumahan. Ini terlihat dari adanya beberapa rumah tua yang tertata dan ter-design dengan teratur, baik di dalam kampung maupun di tepi jalan.
Meski ada logika dan data yang lebih masuk akal jika dikaitkan dengan keberadaan Raden Soekeni di Pandean Lor, tapi sejauh ini tidak (belum) ada petunjuk bahwa Raden Soekeni pernah kontrak di Pandean Lor.
Bukan tidak mungkin, suatu hari akan ditemukan petunjuk yang dapat dipertanggung jawabkan tentang keberadaan Raden Soekeni di Pandean Lor. (*)