Penelusuran: Melihat Lebih Dekat Stasiun Surabaya Kota

Penulis: Nevy Eka Pattiruhu*

Indah, megah, dan bersejarah. Demikianlah impresi kami ketika mengalami langsung bangunan Stasiun Surabaya Kota atau kerap disebut Stasiun Semut. Di hari Minggu (12/11), saya dan rekan-rekan Begandring Soerabaia menelusuri kembali sejarah dari stasiun yang berdiri sejak tahun 1899 itu, didampingi langsung oleh Humas PT. KAI Daop 8 dan Wakil Kepala Stasiun Surabaya Kota.

Merunut sejarah awal stasiun, bangunan ini merupakan stasiun generasi kedua yang dimiliki oleh perusahaan kereta era kolonial milik kerajaan Belanda bernama Staatsspoorwegen (SS) yang berarti Perkeretaapian Negara. Sebagai bangunan generasi kedua, bangunan berlanggam Eropa itu didirikan untuk memperkuat peran stasiun generasi pertama yang sudah eksis sejak 1878, namun saat itu dianggap tak lagi mampu mendukung kebutuhan layanan perusahaan yang terus berkembang pesat.

Saat itu stasiun Surabaya Kota berstatus stasiun utama SS di Jawa Timur yang dilengkapi dengan fasilitas perbengkelan dan depo induk. Fasilitas tersebut perlahan dipindahkan dengan meresmikan yang kini menjadi Balai Yasa di Gubeng pada 1912 serta depo induk lokomotif lebih besar di Sidotopo pada 1923.

Fasad Stasiun Surabaya Kota. Foto: Begandring.com
Nyaris Dibongkar

Dalam penelusuran itu kami diterima dengan hangat dan baik oleh PT KAI Daop 8 yang diwakili Humas Daop 8, Erlangga, serta Wakil Kepala Stasiun Surabaya Kota, Agustiyo. Kegiatan diawali dari Stasiun Surabaya Kota “baru” yang hingga kini masih aktif melayani kegiatan naik turun penumpang di area eks Indo Plaza. Berdasar pada plakat peresmian yang kami temukan, stasiun “baru” ini diresmikan 22 April tahun 1986 oleh Gubernur Jawa Timur saat itu, Wahono.

Di sini kami turut mendapat penjelasan dari Agustiyo bahwa stasiun memiliki total dua belas jalur dengan empat jalur pada peron dan sisanya digunakan sebagai jalur stabling/penyimpanan rangkaian kereta api. Beliau menambahkan pula bahwa kereta-kereta yang singgah di sini didominasi kereta lokal, komuter dan hanya satu kereta jarak jauh kelas ekonomi saja yang berhenti yaitu KA Sritanjung.

Baca Juga  Diskusi Sejarah Kereta Api di Steamedsoul Cafe

Setelahnya, kami melanjutkan ke tempat yang sudah kami nantikan sejak awal tiba yakni ke bangunan stasiun lama. Letaknya seratus meter ke timur, kami tempuh dengan berjalan kaki untuk mencapai lokasi. Mayoritas dari kami baru pertama kali menapakkan kaki di sini. Bahkan, di antara kami, yang punya pengalaman datang saat bangunan stasiun lawas ini masih aktif bisa dihitung jari. Pun sudah terlampau lama pengalaman itu bila diingat-ingat kembali.

Bagian dalam Stasiun Surabaya Kota. Foto: Begandring.com

Turut serta dalam penelusuran itu adalah Kuncarsono Prasetyo, mantan jurnalis yang kini jadi pengusaha kafe dan restoran. Kuncar, demikian dia biasa dipanggil, masih ingat betul sekitar dua dasawarsa silam saat dirinya menyaksikan secara nyata bagaimana bangunan bersejarah ini sedang dalam tahap dibongkar. Beberapa bagian dari stasiun itu sudah berpindah dari tempat aslinya. Kalau dibiarkan, tentu saja terancam bakal hilang sama sekali.

Insting jurnalis ditambah kecintaannya terhadap bangunan kuno cagar budaya membuatnya menginvestigasi proses pembongkaran itu serta menuliskannya ke media massa.

Hasilnya, tulisan-tulisan pemberitaan Kuncar banyak mendapat atensi dari berbagai pihak, termasuk para pemangku kebijakan. Stasiun Semut itu pun akhirnya batal dibongkar dan terselamatkan. Salut!

Seiring berjalannya waktu, stasiun itu bahkan dipugar agar bagian yang rusak kembali seperti sedia kala.  Tidak heran, Kuncar begitu antusias memeriksa ke sana kemari, mencermati detil demi detil bangunan stasiun, selama penelusuran.

Plakat Status Bangunan Cagar Budaya Stasiun Surabaya Kota. Foto: Begandring.com
Eksotik

Setelah menyimak sekilas kisah Kuncar, saya dan rombongan berpencar masuk ke berbagai sudut tempat yang menarik menurut mata kami masing – masing. Kami seakan ingin memastikan bahwa benar stasiun telah kembali pada wujud asalnya, karena selama ini “wajah eksotik” stasiun yang baru beberapa waktu belakangan selesai dipugar hanya dapat disaksikan dari luar saja yang dibatasi pagar seng. Jadi, siapa yang tak penasaran bukan?

Baca Juga  Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi: "Setelah dibuka, warga harus kreatif".

Kamera gawai kami pakai untuk mengabadikan semua bagian ruangan, ornamen dan detil bangunan. Tak lupa juga untuk foto berpose diri hingga menyempatkan berganti kostum ala tempo doeloe seperti yang dilakukan T.P Wijoyo dengan latar belakang stasiun indah ini. Maklum selain pertama kali, kesempatan ke sini boleh dibilang langka adanya.

Sempat pula saya berbincang-bincang diskusi santai mendengar pengalaman dari dua sahabat lain, Noor Suyatin dan Toufan Hidayat. Dengan logat Suroboyo-nya yang kental, mereka menuturkan pengalamannya dulu pernah naik kereta ke kota lain dari stasiun ini. Di luar itu, kegiatan pengerjaan stasiun sebenarnya masih berlangsung. Namun hanya pada pembangunan peron tinggi sesuai standar aturan layanan pada stasiun-stasiun milik PT KAI saat ini.

Merasa cukup puas menikmati, kami akhirnya menutup kegiatan di stasiun “lama” dengan berfoto bersama seluruh pegawai KAI yang mendampingi lalu kembali ke area stasiun di bekas Indo Plaza sembari menilik sebuah bangunan musholla yang dahulu berfungsi sebagai rumah sinyal atau istilahnya dalam bahasa Belanda disebut sebagai seinhuis.

Tim Penelusuran Begandring bersama Perwakilan dari DAOP 8. Foto: Begandring.com

Menurut kegunaan awalnya, rumah sinyal adalah tempat di mana tuas kendali sinyal mekanik diletakkan. Bangunan tersebut diperkirakan lebih muda ketimbang umur bangunan stasiun lama. Sebab pada era dimana stasiun tersebut awal dibuka, SS masih menggunakan sinyal kuno berbentuk tiang dengan lempeng cakram atau model jenis tebeng. Lalu mulai tahun 1915 jenis sinyal itu ditinggalkan lalu diganti ke bentuk sinyal mekanik berlengan yang diadopsi dari sistem perkeretaapian di Belanda.

Untuk stasiun Surabaya Kota, sinyal mekanik yang diaplikasikan bermodel sinyal “panggung”, sinyal yang hari ini telah dimodernisasi kembali dengan sinyal elektrik. Beruntung bekas sinyal “panggung” dari stasiun kota masih bisa ditemukan sebagai barang pamer di Museum Kereta Api Indonesia, Ambarawa – Jawa Tengah.

Baca Juga  Mengenang Stasiun Secang: Dari Rute Gula, Pertempuran Ambarawa, hingga Kenangan Titiek Puspa

Rumah Sinyal Stasiun Surabaya Kota. Foto: Begandring.com

Sebagai tambahan informasi, menurut Pak Agustiyo, hingga sekarang PT KAI Daop 8 belum memiliki rencana pasti perihal mekanisme pengaktifan kembali stasiun lama. Beliau menambahkan, meski belum ada kepastian kapan stasiun akan aktif kembali, Wakil Kepala Stasiun tersebut menjamin kelestarian dan perawatan bangunan stasiun akan terus dilakukan.

Rampung segala urusan, dengan rasa penuh kekaguman kami mengakhiri semua kegiatan kunjungan penelusuran sejarah stasiun Surabaya Kota. Terselip harapan nasib bangunan di masa depan agar bangunan tersebut tetap selalu dapat dinikmati lintas generasi. Tak hanya dari perspektif fungsi, tetapi juga berkenaan dengan nilai histori dan edukasi, tentang makna keberadaan suatu stasiun yang indah dan megah sebagai penanda sejarah kemajuan kota Surabaya sejak dahulu.

Lajur Rel Kereta Api di Stasiun Surabaya Kota. Foto: Begandring.com

Komunitas “Begandring Soerabaia” mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada PT. KAI Daop 8 yang telah memberi akses kepada kami untuk mengunjungi, menikmati, dan boleh  bernostalgia akan kenangan masing-masing tentang Stasiun Surabaya Kota. Semoga kegiatan ini menjadi awal yang baik untuk kegiatan lainnya ke depan. (*)

 

*Nevy Eka Pattiruhu. Pegiat Sejarah di Komunitas Begandring, spesialisasi di bidang sejarah perkeretaapian.

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *