Penyelamatan dan Pemanfaatan Bangunan Langka di Kota Tua Surabaya

Di kawasan Kota Tua Surabaya, utamanya Kampung Belanda (Dutch Town), terdapat beberapa bangunan yang dari langgam arsitekturnya merupakan tinggalan dari era abad 18. Di lingkungan bekas Kampung Belanda ini ada kurang lebih 15 unit bangunan dari abad 18.

Kampung Belanda adalah kawasan yang dulunya merupakan Kota bertembok (walled town). Kota ini mulai dirancang sejak masuknya VOC di Surabaya, yang diawali hadirnya pejabat VOC, baik sebagai penguasa maupun pengusaha.

Adalah Hendrik Brouwer, yang hadir untuk melihat potensi dagang di tempat ini pada 1612. Lima tahun kemudian (1617) disusul kehadiran Jan Pieterzoon Coen, yang kemudian mendirikan sebuah kantor dagang (trading post) VOC di tepi barat Kalimas, berseberangan dengan Kawasan Vreemde Oosterlingen (Timur Jauh) yang dihuni banga China, Melayu, dan Arab. (Asia Maior: Soerabaja 1900-1950).

Dari fungsi kantornya sudah kelihatan sekali apa yang menjadi maksud dan tujuan VOC hadir di Surabaya. Yaitu, dalam rangka urusan dagang dan bisnis.

Seiring berjalannya waktu, perubahan pun terjadi. Bangunan Trading Post beralih fungsi menjadi Military Post. Di selatan Military Post, yang selanjutnya berbentuk benteng, berdiri permukiman yang lengkap dengan kantor administrasi, perkantoran, hingga perumahan penduduk bangsa Eropa, utamanya Belanda.

Kawasan Eropa, yang berkembang di barat Kalimas, mencapai kesempurnaan anatomi sebuah kota pada pertengahan abad ke18. Karenanya, ketika ada penyerahan sebagian wilayah Ujung Timur Jawa (Java’s Oosthoek) dari Mataram ke VOC, Surabaya dipilih sebagai Ibu Kota Ujung Timur Jawa. Secara resmi penyerahan kekuasaan ini terjadi pada 11 November 1743.

Surabaya sebagai ibu Kota Ujung Timur Jawa, yang wilayahnya mulai dari Tuban hingga ke kawasan pantai utara Jawa ke arah timur di Situbondo, dikepalai seorang Gezaghebber atau Sakeber.

Baca Juga  Duh, Eks Rumah Sakit Kelamin Surabaya Dibongkar

Sederetan nama yang pernah menjabat sebagai Gezaghebber, di antaranya adalah Abraham Christopher Courzt, F.J. Rothenbuhler dan Dirk van Hogendorp.

Penyelamatan dan Pemanfaatan Bangunan Langka di Kota Tua Surabaya
Beberapa rumah dari gaya abad 18 dengan piron pada ujung ujung gawel.

Gedung Grahadi di kawasan Sumpang, yang dibangun pada 1794, pernah menjadi kediaman resmi pejabat Java’s Van den Oosthoek, kala itu disebut Istana Simpang atau Rumah Kebun.

Sebelum kediaman resmi Gezaghebber itu dibangun, kantor dan kediaman Gezaghebber berada di dalam lingkungan Kota bertembok (walled town).

Kediaman Gezaghebber ini berdiri persis menghadap Kalimas, yang di depannya ada sebuah dermaga penyeberangan (overvaart), yang menghubungkan Kampung Belanda di barat sungai dengan Kampung Pecinan dan Melayu di timur sungai.

Lambat laun, penyebererangan sungai (overvaart) ini berubah menjadi jembatan kayu, yang bisa diangkat ketika ada perahu perahu yang lalu lalang di bawahnya.

Di tahun 1743, ketika Surabaya menjadi Ibu Kota Ujung Timur Jawa, jembatan kayu bercat merah itu masih berfungsi angkat turun (buka tutup). Tapi seiring perkembangan zaman, jembatan ini diperbaiki menjadi sebuah jembatan dengan rancang besi baja pada 1890-an.

Persis di depan Jembatan bercat merah (Roode Brug) inilah kantor Gezaghebber berdiri. Di sisi utara terdapat alunalun (Surabaya Square) yang bernama Willemsplein lengkap dengan gereja protestan. Ini adalah gereja protestan pertama yang didirikan oleh Gezaghebber Abraham Christopher Courzt pada 1756. Hingga sekarang nisan Courzt masih ada dan disimpan di gereja GPIB Bubutan sebagai pengganti dari gereja di Kampung Eropa.

Kota Bertembok (Walled Town) Surabaya ini luasnya sekitar 4 hektar. Kotanya ditata dan dibagi menjadi empat bagian oleh Jalan Heerenstraat (sekarang Jalan Rajawali) dan Boomstraat (sekarang jalan Branjangan).

Di blok Timur Laut adalah fasilitas publik yang berupa alun alun atau taman kota Willemsplein. Di block Tenggara berupa blok utama karena terdapat infrastruktur administrasi dan perkantoran.

Baca Juga  GNI, Gerakan Kebangsaan dan Dr. Soetomo

Di blok Barat Daya adalah permukiman warga Eropa dan Rumah Sakit. Sedangkan block Barat Laut adalah perbengkelan seperti galangan kapal. Ketika musim kian berganti musim, waktu berputar maju dan zaman telah berubah, ada sejumlah bangunan di bekas kawasan bertembok ini yang tidak berubah.

Umumnya, bangunan di kawasan ini adalah peninggalan dari abad 20 yang berbentuk bangunan berarsitektur moderen. Tapi juga masih ada bangunan dari abad 19 yaitu bangunan dengan depan pilar pilar di depannya. Hanya ada tiga unit.

 

Rawan Musnah

Model dan gaya bangunan dari abad 18 ini memiliki atap model pelana kuda dengan dua sisi miring ke depan dan belakang. Kemiringan ini ditopang dengan struktur gawel segitiga yang meruncing tinggi ke atas.

Pada ujung kedua gawel, yang menjadi bagian dari tembok kiri dan kanan, terdapat mahkota yang disebut “piron”. Dengan kemiringan yang tajam ini, maka konstruksi rumah ini mampu menangkal suara hujan yang berisik bagi penghuni yang berlindung di dalam rumahnya. Apalagi genting terbuat dari terakota.

Penyelamatan dan Pemanfaatan Bangunan Langka di Kota Tua Surabaya
Penyelamatan dan Pemanfaatan Bangunan Langka di Kota Tua Surabaya

Selain beratap tinggi dan miring, bagian facade pada tampak depan bangunan berbentuk simetris. Ada satu pintu persis di tengah dan diapit dua jendela besar di kiri dan kanan pintu.

Ventilasi di atas daun pintu terbuat dari kayu yang berbentuk jaring jaringan. Juga terdapat overstek di atas teras sebagai pelindung dari air hujan dan sinar matahari.

Bagunan dengan model ini umum ditemui dan dilihat pada abad 18 sebagaimana tergambar pada litografi litografi permukiman di dalam benteng.

Sebuah litografi Surabaya tahun 1787, yang dibuat oleh seniman Johannes Rach, mempertontonkan rumah rumah di dalam tembok Kota Surabaya yang bermodel atap pelana kuda.

Baca Juga  Yakin Ada Invisible Hand saat Menyusun Riset Buku Dokter Soebandi

Ternyata hingga sekarang, rumah rumah beratap pelana, yang tinggi meruncing dan ber-facade simetris, masih ada. Bahkan ada dua rumah yang masih beralas tegel terakota yang berbentuk segi empat dan segi enam.

Rumah yang beralas tegel terakota segi enam itu berada di Jalan Kedali di blok Barat Daya area Kota Belanda (Dutch Town). Disampaikan pemilik rumah pada 2010, ketika seorang penulis asal Belanda, Emile Leshuis, melakukan observasi sebagai bahan penulisan buku, bahwa rumah yang ia tempati adalah bekas rumah seorang pastur gereja Katolik yang pernah berdiri tidak jauh dari Jalan Kedali. Yaitu, di Jalan Roomsche Kerkstraat (kini jalan Cendrawasih) Surabaya. Selanjutnya Gereja Katolik itu dibongkar dan pindah ke Templestraat (kini Jalan Kepanjen).

 Kini, kondisi rumah dari abad 18 itu merana dan keberadaannya rawan musnah. Ini lantaran kepentingan ekonomi dan peremajaan kawasan yang dikhawatirkan tanpa memperhatikan nilai kesejarahan bangunan tersebut.

 Bangunan itu dapat diduga sebagai cagar budaya karena sudah memenuhi kriteria cagar budaya sebagaimana tersebut pada pasal 5, UU Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.

Dari usianya sudah jelas lebih dari 50 tahun dan mewakili masa gaya dari abad 18. Bangunan ini terlalu langka adanya dan jelas memiliki arti kesejarahan, ilmu pengetahuan, pendidikan, kebudayaan dan pariwisata.

Bangunan dari abad 18 ini mewarnai kawasan Kota Belanda (Dutch Town) Surabaya, khususnya secara arsitektural. Ada tiga masa di dalam kawasan eks Kota Bertembok Surabaya. Yaitu abad 20, 19 dan 18. (*)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *