Gedung Singa, yang nama resminya Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente te Amsterdam atau Perusahaan Umum Asuransi Jiwa dan Tunjangan Hidup Amsterdam, di Jalan Jembatan Merah Surabaya tidak sekedar sebuah bangunan yang dibangun pada 1901.
Gedung, yang beraksesoris sepasang singa bersayap pada bagian depan pintu masuk utamanya, adalah bangunan paling moderen di awal abad 20. Arsiteknya adalah H.P. Berlage yang berkolaborasi dengan seniman patung Joseph Mendes Da Costa dan seniman lukis Jaan Toroop. Ketiganya adalah orang orang yang sudah terkenal di masanya. Ketenaran mereka ini terekspresikan melalui karya bersama di Surabaya.
Karya arsitek H.P. Berlage di Surabaya ini adalah salah satu dari dua karya di Hindia Belanda (sekarang Indonesia), namun karya di Surabaya jauh lebih bagus dari satunya yang ada di kawasan Kota Tua Jakarta.
Bahkan karya arsitektur Berlage di Surabaya ini yang terindah di dunia. Ukurannya tidak besar dibandingkan karya Berlage di Amsterdam dan lainnya, namun menyimpan keindahan fisik dan non fisik. Gedung Singa menyimpan makna seni dan filosofi sebagai ekspresi perusahaan. Yaitu Perusahaan Umum Asuransi Jiwa dan Tunjangan Hidup Amsterdam.
Secara arsitektural, kehadiran Gedung Algemeene di Willemskade (jalan Jembatan Merah) Surabaya menyajikan dan menambah keindahan perwajahan Kota Surabaya. Jalan Willemskade atau sekarang Jalan Jembatan Merah adalah waterfront nya Surabaya. Sederetan gedung gedung di jalan ini menghadap ke sungai Kalimas yang kala itu menjadi sarana transportasi utama di Surabaya.
Waterfront di Willemskade Surabaya ini tak ubahnya waterfront yang ada di kota Kota di negeri Kincir Angin seperti di Amsterdam, Rotterdam, Utrecht dan Den Haag. Jalan Jembatan Merah di awal abad 20 sudah memiliki landmark Surabaya.
Gedung Berlage sangat kontras dengan gedung gedung lainnya yang ada di sekitarnya. Ketika gedung gedung lainnya masih didominasi dengan gaya glandeour yang menonjolkan pilar pilar di bagian depan, Gedung Berlage (Singa) sudah meninggalkan aksentuasi pilar.
Gedung Berlage berani tampil beda dengan pewarnaan nya. Ketika yang lain didominasi dengan warna monokrom (putih dan hitam), Gedung Berlage berani tampil dengan warna terakota yang tampak pada batu bata exposed pada relung relung di lantai bawah dan atas. Pun demikian dengan di dalam ruangan. Warna warni juga tampak pada lukisan keramik yang dibuat oleh Jaan Toroop.
Berikutnya Gedung Berlage berani menampilkan karya seni dan budaya yang membawa nilai filosofi. Itu tampak pada lukisan keramik karya Jaan Toroop dan patung singa bersayap karya Joseph Mendes Da Costa (JMDC).
Kehadiran karya arsitektur yang sarat akan nilai seni, budaya dan filosofi ini menjadi perhatian sepanjang masa. Tidak hanya dikagumi di masanya, hingga sekarang kerya Berlage di Surabaya masih dikagumi banyak orang. Bahkan dikagumi oleh dunia. Di Belanda ada kelompok arsitek dan umum yang menamakan Pengagum Berlage (Berlage Antusiasts).
Bagaimana dengan di Surabaya? Apa ada pengagum karya Berlage? Tentu sangat ironis ketika mereka begitu antusias, warga Surabaya, utamanya para atsitek diam diam saja terhadap kondisi karya masterpiece Berlage di Surabaya.
Sketsa Kampung Pecinan oleh Berlage, 11 Mei 1923
Buku Mijn Indische Reis
Buku Mijn Indische Reis yang artinya Perjalananku ditulis tahun 1931 tapi mengisahkan perjalanan H.P. Berlage ke Hindia Belanda pada 1923. Ada yang aneh tapi menarik untuk disimak tentang sepak terjang arsitek Berlage ini.
Ia datang ke Hindia Belanda untuk kali pertama pada 1923. Padahal ia mengarsiteki gedung De Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente te Amsterdam yang dibangun pada 1901.
Kalau melihat batu Prasasti yang tertempel pada dinding bagian bawah dari Gedung Singa, di sana terdapat nama Jan Von Hemert yang meletakkan batu pertama pembangunan gedung pada 21 Juli 1901. Pada saat pembangunan, HP Berlage belum di Surabaya. Ketika ia mengunjungi Hindia Belanda pada 1923, ia datang ke Surabaya.
Menurut antusiast Berlage, Petra Timmer asal Belanda, bahwa karya Berlage di Surabaya ini menarik perhatian para pengagum Berlage karena karyanya tidak sekedar sebuah bangunan, tapi menyimpan nilai nilai seni, budaya dan filosofi yang bisa dan patut dipelajari.
Karena itulah Petra Timmer dan Max Meijer, keduanya adalah para pengagum Berlage dan konsultan seni, budaya serta heritage yang berkolaborasi dengan kelembagaan heritage dan museum dunia seperti ICOMOS (International Council on Museum and Sites) yang ada di bawah UNESCO.
Mereka datang ke Surabaya pada 26-27 November 2022 dalam rangka menapaktilasi perjalanan Berlage ke Hindia Belanda 99 tahun yang lalu. Mereka ke Surabaya dalam rangka persiapan peringatan 100 tahun kedatangan Berlage ke Surabaya (Hindia Belanda) pada 2023.
“Berlage datang ke Surabaya pada 1923 dan dalam kunjungan itu ia membuat sketsa beberapa tempat di Surabaya seperti Ampel, Pecinan dan sungai Kalimas. Sketsa sketsa itu dimuat dalam bukunya Mijn Indische Reis,” terang Petra Timmer ketika melihat Gedung Berlage, Minggu, 27 November 2022.
Menurutnya karya Berlage di Surabaya ini menjadi landmark Kampung Eropa karena sosoknya yang begitu monumental. Secara fisik memiliki ragam design yang variatif. Secara non fisik memiliki makna makna seni, budaya, sosial dan filosofi. Karya Berlage di Surabaya ini menjadi simbol arsitektur moderen kelas dunia.
Melihat nilainya yang luar biasa maka gedung Berlage bisa dipakai sebagai kekuatannya kota Surabaya untuk menarik perhatian dunia.
“Kalau pemerintah kota Surabaya akan merevitalisasi kawaaan Kampung Eropa, gedung Berlage bisa menjadi sentra seremonial pada peresmian Wisata Kota Tua Surabaya. Gedung ini juga bisa menjadi starting point atau pusat informasi Kota Tua (Kampung Eropa) Surabaya,” papar Petra Timmer.
Harapan Petra ini sangat beralasan dan masuk akal seiring dengan semangat Pemerintah Kota Surabaya yang akan menata kembali kawasan Kampung Eropa. Pada waktu yang bersamaan pada 2023 adalah moment peringatan 100 tahun kedatangan Berlage ke Surabaya, Hindia Belanda seperti tertulis pada buku Mijn Indische Reis”.
“Ini adalah momen yang tepat bagi Kota Surabaya seiring dengan akan disyahkannya Perda baru yang di dalamnya mengamanahkan dibentuknya Badan Pengelola Cagar Budaya,” tandas AH Thony.
Berdasarkan catatan harian Berlage ketika berkunjung ke Hindia Belanda, ia berada di Surabaya pada 11 – 22 Mei 1923 dan selama ia di Surabaya, ia menyempatkan berkunjung ke Kampung Arab, Kampung Pecinan dan Kampung Jawa (Peneleh).
Dari kunjungan itu, ia membuat sketsa Kampung Arab, Kampung Pecinan dan Kalimaa di Peneleh yang kesemuanya ditandatangani pada tanggal 23 Mei 1923. Ketiga kampung ini adalah Kawasan Cagar Budaya Kota Surabaya.
Ia mulai mencatat perjalanannya pada 28 Februari hingga 25 Juni 1923 dengan mengunjungi Batavia, Bandung, Jogja, Solo, Semarang, Blitar, Surabaya, Padang dan Bali. (*)