Proklamasi Bahasa Madura di Radio Bekupon

Sengko kabbhi bangsa Indonesia klaban reja anjata’agi kamardhika’anna Indonesia. Hal-hal tasangkot bi’ ngallena kakobasa’an ban en-laenna elampa’agi klaban tjara se tartib tor edalem bakto se pande’. Djakarta tanggal 17 boelan 8 2605. Attas nyamana bangsa Indonesia, Soekarno Hatta”.

Itulah bunyi siaran radio Nederlands Indische Radio Omroep (NIROM) yang di era pendudukan Jepang namanya telah berganti menjadi Soerabaja Hosyo Kyoku atau Siaran Radio Surabaya.

Isinya adalah tentang berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Digunakannya  bahasa Madura itu dengan tujuan untuk menghindari sensor dari Polisi Militer Jepang. Meski proklamasi dibacakan Soekarno pada 17 Agustus 1945, namun berita itu baru diterima oleh masyarakat Surabaya pada 18 Agustus 1945 pada 19.00.

Tidak semua orang Surabaya langsung mengerti berita proklamasi itu, kecuali orang Madura dan mereka yang bisa menangkap siaran di Pulau Madura dan daerah Tapal Kuda.

Ketidakmengertian orang Surabaya itu tampak pada adegan reka ulang dalam proses pembuatan film dokumenter kepahlawanan 10 November Surabayadi Lodji Besar, Jalan Makam Peneleh Surabaya, Rabu (19/10/2022).

Mereka benar-benar tidak mengerti karena bukan orang Madura. Mereka adalah mahasiswa FIB Unair yang terlibat dalam pembuatan film dokumenter ini. Selain berasal dari Surabaya, sebagian dari Lamongan dan ada yang dari Riau.

Dalam reka adegan itu mereka sangat menjiwai akan ketidakmengertian isi berita radio yang memang di voice over (dibacakan) dalam bahasa Madura.

“Saya sama sekali tidak mengerti. Saya dari Riau, belum lama tinggal di Surabaya,” aku Monika Astria, mahasiswi semester 3 jurusan Bahasa dan Sastra Inggris Unair.

Hal senada juga disampaikan Sheila Sabika Amani Naura, yang terpilih sebagai Ning Surabaya 2021.

Baca Juga  Buka Pameran Foto, Wali Kota Surabaya Canangkan Kebangkitan Kebudayaan

“Saya gak ngerti dan bahkan baru tau kalau proklamasi itu pernah dibacakan dalam bahasa Madura,” ujar dia.

Behind the Scene adegan mendengarkan siaran radio dari Radio Bekupon.

 

Monika dan Sheila ini dua dari 9 mahasiswa yang ikut mendukung dan terlibat dalam pembuatan film dokumenter kepahlawanan 10 November Surabaya yang diproduksi TVRI Jatim bekerja sama dengan Begandring Soerabaia dan FIB Unair.

Dalam reka adegan itu mereka berperan sebagai rakyat Surabaya yang sedang berada di sebuah rumah. Kemudian terdengarlah suara radio yang tengah disiarkan oleh Surabaya Hosyo Kyoku.

Spontan, mereka yang sedang beraktivitas masing masing, lantas meninggalkan aktivitasnya dan berkumpul di depan radio. Setelah mendengarkan siaran dalam bahasa Madura itu, mereka baru menyadari kalau Indonesia baru merdeka.

Kerumunan orang juga terjadi di luar rumah. Mereka menghampiri radio yang dipasang di tempat umum, di kampung. Radio itu dikenal dengan nama radio bekupon. Bentuk radionnya seperti kandang merpati.

Hal ini sebagai bentuk penyamaran perangkat alat penerima gelombang radio untuk publik agar masyarakat luas bisa menerima informasi informasi penting terkait perjuangan dan sekaligus hiburan. Kala itu tidak setiap orang memiliki radio.

Di gang Pandean I, Radio Bekupon menjadi jujugan warga yang dengan seksama mendengarkan pidato Gubernur Suryo yang menyerukan kepada rakyat Surabaya untuk senantiasa siap menghadapi dan melawan tentara Sekutu.

Berulang-ulang telah kita kemukakan bahwa sikap kita ialah: Lebih baik hancur daripada dijajah kembali. Juga sekarang dalam menghadapi ultimatum pihak Inggris, kita akan memegang teguh sikap itu. Kita tetap menolak ultimatum itu”. Itulah petikan bunyi pidato Gubernur Suryo yang dipancarkan lewat gelombang radio.

Semangat dan jiwa rakyat Surabaya pun semakin terbakar setelah mendengarkan pidato Gubernur Suryo dan mereka bersiap dalam menghadapi ultimatum Inggris. Pemuda Kampung Pandean dan Peneleh terlihat sigap dan siap dalam menyongsong hari esok, 10 November, merdeka atau mati.

Baca Juga  Mulai Menggeliat, Biro Pariwisata Taiwan Buka Layanan di Hotel Shangri-La

Pemuda Rakyat dan pejuang ini diperankan oleh mahasiswa Unair serta komunitas yang datang dari berbagai daerah, seperti Bangil dan Mojokerto. Peristiwa 10 November adalah sejarah bersama bangsa Indonesia yang pecah di Surabaya. Karenanya peran dan partisipasi publik dalam pembuatan film dokumenter ini datang dari berbagai tempat.

“Saya ikut membayangkan dan merasakan bagaimana kala itu di tahun 1945 ketika pemuda-pemuda berdatangan dari berbagai daerah untuk membela kedaulatan bangsa di Surabaya. Ini saya rasakan ketika saya harus datang dari Bangil untuk mendukung pembuatan film dokumenter ini,” kata Fajar Kurniawan dari Reenactor Bangiler, Bangil.

Perang 10 November 1945 adalah perang rakyat. Ini tidak hanya perangnya arek-arek asli Surabaya melawan Sekutu, tapi juga pemuda pemuda yang datang dari luar Surabaya. Kehadiran mereka ini dikuatkan oleh pidato Bung Tomo melalui corong radio.

Saudara-saudara,

Di dalam pertempuran-pertempuran yang lampau kita sekalian telah menunjukkan bahwa Rakyat Indonesia di Surabaya: Pemuda-pemuda yang berasal dari Maluku, Pemuda-pemuda yang berasal dari Sulawesi, Pemuda-pemuda yang berasal dari Pulau Bali, Pemuda-pemuda yang berasal dari Kalimantan, Pemuda-pemuda dari seluruh Sumatera, Pemuda Aceh, pemuda Tapanuli, dan seluruh pemuda Indonesia yang ada di Surabaya ini,…. “, petikan pidato Bung Tomo yang juga membakar semangat pejuang pejuang.

Pembuatan film dokumenter Kepahlawanan 10 November Surabaya ini mendapat apresiasi dari dosen FIB Unair, Gesang, yang sekaligus ikut berperan sebagai pejuang rakyat dalam film ini. Pelibatan mahasiswanya dalam film ini cukup memberikan makna dan manfaat akademis bagi mahasiswanya.

“Ya, dalam kegiatan yang sangat edukatif ini, mereka bisa secara langsung terlibat dalam produksi media. Ini wujud nyata dari aplikasi mata kuliah introduction to media. Juga mata kuliah mata kuliah lainnya yang selama ini mereka terima secara teoristis. Di sini mereka mendapat pengalaman praktis”, jelas Gesang

Baca Juga  Giliran SMP Muhammadiyah 14 Jelajah Situs Kebangsaan

Andre Arisotya, sutradara TVRI Jatim, mengaku sudah menyelesaikan empat scene. Yakni, penduduk mendengar pidato keramat Gubernur Suryo, pejuang berangkat bertempur, pejuang mempersiapkan senjata dan proklamasi dalam bahasa Madura. Semua scene ini berlokasi di Kampung Pandean dan Peneleh, Surabaya. (*)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *