Warga lokal menyebutnya Gedung Singa. Karena di depan gedung ini ada sepasang singa bersayap. Gedung yang berada di Jalan Jembatan Merah 19-23, Surabaya ini adalah bekas kantor perusahaan asuransi di masa pemerintahan Hindia Belanda, De Algemeene Maaatchappij van Levensverzekering en Lijfrente te Amsterdam.
Memasuki abad 20, Gedung Singa hadir sebagai bangunan yang paling modern. Tidak hanya di Surabaya, tapi juga di Hindia Belanda. Desain arsitekturnya unik dan berani. Ia tampil lain daripada yang lain. Salah satu elemennya adalah hiasan keramik lukis dan patung singa bersayap.
Gedung ini terlahir dari kolaborasi tiga Seniman besar dan terkenal di Belanda. Ada H.P. Berlage (aristek), Joseph Mendez da Costa (pematung), dan Jan Toorop (seniman keramik lukis).
Dalam perpaduan karya seni ini, lahir warna warna yang menarik perhatian mata. Ada warna terakota, biru, ungu, kuning, coklat dan hitam pada keramik lukis.
Bangunannya sendiri mengusung warna terakota pada batu bata ekspose sebagai penghias relung relung fasade baikm di lantai satu maupun lantai atas. Sementara pada sepasang singa bersayap berwarna natural hewan singa
Bangunan inilah yang selalu membuat mata orang selalu menengok ke arahnya. Gedung Singa menjadi pemanis wajah Kota Surabaya, yang oleh arsitek Berlage (1923) dikatakan sebagai Rotterdam-nya Jawa (Mijn Indische Reis, 1931).
Ketika semua bangunan yang berdiri di depan Kalimas masih berwarna putih, kantor De Algemeene Maaatchappij van Levensverzekering en Lijfrente te Amsterdam sudah berwarna warni indah.
Berlage adalah sang arsitek. Karyanya sumbut dengan ketenarannya. Tidak heran jika Gedung Singa di Surabaya ini menjadi perhatian para arsitek, sejarawan, seniman dan budayawan.
Apalagi karya Berlage terhitung sangat langka di Hindia Belanda. Hanya ada dua. Satu di Batavia (Jakarta) dan lainnya di Surabaya. Karya Berlage di Surabaya jauh lebih baik dari yang ada di Jakarta.
Sayang, masterpiece Berlage di Surabaya ini terbengkalai. Tidak ada yang mengurus. Dari tahun ke tahun kondisinya semakin kusam. Bahkan temboknya ditumbuhi pohon pohon liar yang membahayakan gedung.
Dari pengamatan penulis, sekitar tahun 2011, perabotan meja kursi kuno, brankas, kipas angin dan sketsel yang menjadi ruang layanan nasabah masih ada di tempat. Kini sudah hilang semua. Diduga kuat dicuri orang yang punya akses ke dalam gedung. Entah siapa.
Yang paling mengkawatirkan adalah ketika gedung ini ditawarkan untuk dijual oleh pemiliknya pada 2021 setelah kosong selama bertahun tahun. Pemiliknya perusahaan asuransi milik negara, PT. Jiwasraya.
Lokasi di mana Gedung Singa berada adalah tempat strategis dan ekonomis di kota Surabaya. Ini adalah kawasan bisnis dan perdagangan.
Cepat atau lambat, Gedung Singa, yang menyimpan nilai-nilai penting ini bisa lenyap. Beralih fungsi dengan menghilangkan bagian-bagian dari gedung.
Secara struktur, Gedung Singa ini dirancang dengan cermat dan teliti. Bahkan melalui pertentangan kritik arsitektur antararsitek terkenal.
Awalnya, dirancang oleh M.J. Hulswit, kemudian mendapat kritikan dari HP Berlage. Sampai sampai Hulswit meninggalkan Surabaya dan desain diselesaikan oleh Berlage.
Selanjutnya gedung dibangun pada 1901 dengan peletakan batu pertama oleh Jan Von Hemert pada 21 Juli 1901. Jan Von Hemert (8 tahun) adalah anak dari Piere Theodore Von Hemert, direktur De Algemeene Maaatchappij van Levensverzekering en Lijfrente te Amsterdam di Surabaya.
Karena itulah, Begandring Soerabaia hadir demi pelestarian dan pemanfaatan gedung itu. Begandring Soerabaia adalah perkumpulan yang peduli terhadap cagar budaya dengan melakukan program-program mulai yang bersifat investigatif, eksploratif, edukasi, dan advokasi.
Bagi Begandring, Gedung Singa adalah cagar budaya penting karena kehadirannya bisa dimanfaatkan untuk tujuan pendidikan, penelitian, ilmu pengetahuan, kesenian, kebudayaan dan pariwisata yang ending-nya adalah ekonomi kreatif.
Begandring tidak menolak penjualan Gedung Singa oleh PT. Jiwasraya, tapi khawatir jika gedung cagar budaya ini jatuh ke tangan yang salah, yang hanya berorientasikan pada bisnis tanpa memandang nilai-nilai penting dari keberadaan gedung tersebut.
Sebelumnya, pernah terjadi kasus di Surabaya, ada gedung yang telah terdaftar sebagai bangunan cagar budaya yang dilindungi oleh undang-undang kemudian dibongkar pemiliknya. Karena alasan itulah, Begandring bersikap.
Dalam aksinya Begandring sempat mengingatkan dengan berkirim surat kepada PT. Jiwasraya yang berkantor pusat di Jakarta agar berhati-hati dan melalui proses penjualan yang benar karena asetnya di Jalan Jembatan Merah 19-23 adalah gedung cagar budaya yang dilindungi undang-undang.
Aksi lain yang dilakukan Begandring adalah merancang kegiatan yang bisa mengedukasi publik. Ada kegiatan jelajah sejarah yang diberi nama Surabaya Urban Track (Subtrack).
Kegiatan Subtrack ini mengajak publik dan bahkan Wakil Wali Kota Surabaya Armuji datang ke Gedung Singa dan sekitarnya (Kota Lama Surabaya).
Begandring juga memproduksi film yang menjadi alat komunikasi kepada publik, sekaligus mencari dukungan mulai lokal, nasional, hingga mancanegara. Di antaranya, i-Discover di Hongkong dan Oost Indische Doof di Nederlands.
Bahkan, Begandring ikut mendaftar sebagai peserta lelang dengan tujuan agar bisa memantau progres dan proses lelang yang menjadi cara dan upaya penjualan oleh PT. Jiwasraya.
Lelang sempat dibuka dua kali karena pada setiap periode lelang, tidak ada peserta yang berminat. Upaya penjualan oleh PT. Jiwasraya ini karena perusahaan negara ini mengalami kebangkrutan.
Sebenarnya, Gedung Singa adalah salah satu dari sekitar 20 asetnya yang dijual. Sejak dua periode lelang berhenti, maka tidak ada kabar tentang upaya penjualan. Kabar ini sempat menggembirakan.
Namun terdengar kabar terbaru bahwa seluruh aset perusahaan negara Jiwasraya ini dilimpahkan kepada mitra perusahaannya yang juga bergerak di jasa asuransi, yaitu IG Life.
Sejauh ini, belum diketahui bagaimana kelanjutan lelang dan apa yang akan dilakukan IG Life terhadap Gedung Singa.
Waktu terus berjalan. Kondisi Gedung Singa semakin memprihatinkan dan butuh penyelamatan sebelum semuanya benar-benar mengecewakan. (nanang purwono)