“Salam satu nyali, Wani”. Itulah salam yang selama ini diucapkan oleh suporter Persebaya Surabaya dalam memberikan semangat dan dukungan kepada tim kesayangan dalam berlaga.
Wani, hanya satu kata, menggambarkan satu tekad bulat. Semangat yang luar biasa. Semangat ini juga diresapi dalam sanubari oleh para suporter sehingga ketika bertandang kemanapun (meski tanpa dukungan fasilitas dan logistik), mereka wani berangkat demi memberi semangat kepada tim kesayangan, Persebaya.
Seiring perjalanan waktu, semangat “Wani{ disisipkan untuk dipekikkan layaknya memekikkan “Merdeka”. Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi juga mengucapkan dalam satu rangkaian frasa “Surabaya Wani”.
Wani adalah bahasa Jawa yang berarti berani. Sebenarnya, Wani adalah kata sifat yang juga berarti Surabaya. Surabaya adalah berani, Surabaya adalah Wani.
Beberapa artikel di begandring.com sebelumnya dijelaskan bahwa Surabaya (nama kota), Hiu dan Buaya (lambang kota), serta Sura ing Baya (sesanti kota) adalah kata yang berdiri sendiri tetapi saling memaknai satu sama lain.
Menurut Prasasti Canggu (1358 M) nama desa naditira Churabhaya menjadi asal mula nama Surabaya (kota Surabaya). Kotanya berlambang ikan hiu dan buaya. Bukannya ikan Sura karena tidak ada ikan yang bernama sura.
Pemberian lambang dengan gambar binatang ikan hiu dan buaya adalah ciptaan di masa kolonial oleh Pemerintah Hindia Belanda. Sedangkan kota ini memiliki sesanti yang berbunyi Sura ing Baya.
Ada kemiripan bunyi dan tulisan antara nama Kota Surabaya dan bunyi sesanti Sura ing Baya, yang artinya berani menghadapi bahaya. Jadi Surabaya adalah kota yang warganya berani menghadapi bahaya (tantangan).
Secara historis sifat berani ini memang sudah mewarnai Surabaya sejak era Majapahit, Mataram, Kolonial hingga Kemerdekaan. Harapannya sifat berani juga akan terus mewarnai perjalanan masa depan Surabaya.
Berdasarkan Kamus Sansekerta (Hindi Kuno), ternyata kata Churabhaya memiliki arti memotong rasa takut atau berani atau wani (Jawa).
Churabhaya terdiri dari dua suku kata: Chura dan Bhaya. Chura berarti memotong dan Bhaya adalah rasa takut atau dalam bahaya.
Dalam istilah pemaknaan Ayurveda (ilmu kehidupan) dalam ajaran Budha, Chura adalah memotong dan Bhaya adalah rasa takut.
Menurut Hendra Budiman, seorang penganut Budha, Churabhaya berarti memotong rasa takut. Dengan kata lain Churabhaya adalah berani atau wani. Churabhaya berasal dari bahasa Sansekerta.
Hendra menambahkan, jika nama suatu tempat menggunakan bahasa Sansekerta, berarti tempat itu bukan tempat sembarangan. Diduga Churabhaya kala itu sudah menjadi basis pertahanan terdepan dalam menghadapi berbagai ancaman dari luar.
Entah siapa yang menamakan desa tepian sungai, yang letaknya paling hilir di sungai (anak) Brantas, bernama Churabhaya. Yang jelas ketika Raja Hayam Wuruk (Majapahit) berkeliling negara dan mendapati desa di hilir sungai itu bernama Churabhaya, dan nama itu lantas dicatatnya dalam Prasasti Canggu atau Ferry Charter (1358 M).
Dari telaah literasi di atas, maka untuk sementara dapat ditarik kesimpulan bahwa nama Surabaya (kota) berasal dari nama desa kuno Churabhaya. Yaitu dari bahasa Sansekerta (Churabhaya) yang dijawakan (Surabaya).
Hendra mengatakan, dalam budayanya Hindu-Buddha, yang kitab sucinya kebanyakan menggunakan bahasa Sansekerta menjadi sumber serapan kata, termasuk ke dalam bahasa Jawa Kuna dan bahasa Indonesia.
Tidak hanya diksi, ternyata makna di balik siksi Churabhaya menjadi sifat dan semangat dengan hadirnya sesanti Chura ing Bhaya (Sura ing Baya). Dari Churabhaya (Sansekerta) menjadi Sura ing Baya (Jawa).
Ketika secara umum diketahui bahwa Sura ing Baya berarti berani menghadapi bahaya, ternyata makna Sura ing Baya ini memiliki pemaknaan yang sama dengan Churabhaya, yang berarti memotong rasa takut. Maka di sana terjadi proses dari Churabhaya ke Surabaya dan akhirnya menjadi Wani. (*)