SIDOARJO DITENGGELAMKAN

Lagi-lagi Belanda tak menepati janji meskipun telah ada kata mufakat, mereka yang berjanji namun kemudian mereka yang mengingkari, upaya perdamaian dan gencatan senjata diatas kertas perjanjian Linggajati hanya semacam kertas usang untuk pihak Republik. Upaya menguasai Sidoarjo secara penuh sejak awal telah dilakukan Inggris pasca pertempuran Surabaya dan dilanjutkan oleh militer Belanda hingga Februari 1947 dengan target “mendorong” para pejuang Indonesia keluar hingga batas sungai Porong dan delta Sungai Brantas.

Brigade Marinir di Porong 27 Januari 1947. Tampak Panser M8 Greyhound dan Marinir Belanda yang menggunakan Browning M1918 dan Browning M2 kaliber 50.

Perjanjian Linggjati yang telah disepakati pada 15 November 1946 dilanggar, Belanda melaksanakan operasi militer berskala besar pada 24 Januari 1947 dengan melibatkan 2 Brigade, yaitu Brigade-X dan Brigade Marinir, operasi militer ini difokuskan untuk menyerang kedudukan Tentara Republik Indonesia dan Badan Perjuangan di Sidoarjo, pertempuran besar terjadi di beberapa sektor :

  • Sektor Krian (Legundi, Krian, Popoh, Watutulis dan Prambon)
  • Sektor Tulangan (Sukodono, Pilang, Cemengkalang, Tulangan dan Krembung)
  • Sektor Sidoarjo (Gedangan, Buduran, Sidoarjo, Candi, Tanggulangin dan Porong)

Setelah terjadi pertempuran selama 4 hari akhirnya militer Belanda berhasil menguasai kota Sidoarjo dan pejuang Indonesia berpindah ke daerah selatan sungai Porong dan Mojokerto.

Wilayah Watutulis yang terdampak banjir pada bulan Maret 1947

Sebenarnya salah satu syarat gencatan senjata pada bulan Oktober 1946 yang selanjutnya membawa hal tersebut ke meja perjanjian di Linggajati adalah harus disediakannya pasokan air yang cukup untuk Surabaya dan air irigasi untuk sawah-sawah di daerah yang diduduki oleh pasukan Belanda. Pihak Indonesia mematuhi perjanjian ini sebaik mungkin dan memastikan pasokan air yang cukup, tetapi sejak pasukan Belanda mulai melanggar garis demarkasi dan melakukan intervensi ke penduduk lokal termasuk melakukan pembongkaran terhadap kunci-kunci irigasi di wilayah Republik maka dilakukan langkah-langkah antispasi dari Genie T.R.I dengan memasang bom besar di beberapa pintu air di Lengkong, terutama aliran menuju ke Surabaya dan Sidoarjo.

Baca Juga  TENTARA PETA SIDOARJO MEMBERONTAK
Pintu air di Kanal Mangetan yang dirusak dan airnya meluber hingga ke persawahan

Belanda menuduh Republik menyalahgunakan air untuk keperluan militer. Bahkan di seberang garis demarkasi di wilayah Belanda, ada area yang terendam banjir akibat pembangunan bendungan dan jebolnya tanggul. Militer Belanda kemudian melakukan pembongkaran bendungan Ponokawan di Terusan Mangetan pada awal Desember 1946, hal ini semakin memperburuk situasi dan semakin meyakinkan jika tidak ada itikad baik dari Militer Belanda.

Awal Februari 1947, 40 anggota T.R.I [Tentara Republik Indonesia] meledakkan pintu air Lengkong di Mlirip Mojokerto, menutup pintu-pintu air dan membuka beberapa pintu-pintu air dengan tujuan “menenggelamkan” Sidoarjo dan Surabaya yang dikuasai Belanda, akibatnya terjadi banjir besar diwilayah barat daya Sidoarjo seluas 50 Km persegi dan semakin hari semakin meluas.

Pintu Air menuju Sungai Porong dihancurkan oleh pejuang Republik.

Komandan Divisi “A” Mayjen De Bruyne dalam laporannya tanggal 1 Maret 1947 melaporkan bahwa :

  1. Sidoarjo berstatus darurat.
  2. Sebagian besar kota Sidoarjo terendam banjir, hanya jalan utama yang bisa dilewati, pabrik gula, gudang gula, penggilingan beras, sawah dan pabrik minyak terendam air setinggi pinggang.
  3. Banyak rumah roboh, sementara jembatan dan jalan terancam rusak berat.
  4. Banyak jalan utama diluar kota Sidoarjo tidak dapat dilalui, banjir mengisolasi pusat-pusat populasi yang besar, pasokan makanan melalui palang merah dan perawatan medis terhambat secara serius, mengakibatkan peningkatan jumlah korban yang sangat banyak.
  5. Akibat banjir ini, ditambah dengan kondisi kesehatan penduduk yang sangat tidak stabil, bahaya wabah penyakit seperti malaria, tifus dan penyakit perut menular lainnya, sementara situasi kesehatan juga sangat terancam karena tinggal di daerah lembab.
  6. Jika terjadi musibah, bantuan medis seringkali tidak mencukupi dan malapetaka tidak dapat dihindari.
  7. Sebagai besar pasukan sudah mundur dari Sidoarjo ke Surabaya. Komunikasi dengan pos-pos di garis depan menjadi sangat sulit dan pada beberapa titik tidak mungkin dilakukan. Sambungan komunikasi Krian ke Sidoarjo putus total.
  8. Ancaman terhadap kesehatan pasukan karena perkembangan kondisi higienis yang secara umum diperkirakan akan membawa bencana jika tidak dilakukan evakuasi.
Baca Juga  T.R.I.P dan T.G.P Pelajar Pejuang Surabaya

Banjir itu memaksa Mayjen De Bruyne mengambil tindakan militer dengan melakukan serangan besar terhadap Mlirip dan Mojokerto pada tanggal 17 sd 18 Maret 1947, Mlirip diserang dari jurusan Legundi via Perning. Waktu yang diperlukan untuk kesiapan pasukan dan sumber daya serta analisis karena banjir besar itu hanya 4 hari, Mlirip berhasil dikuasai pada 18 Maret 1947 jam 14.10, uniknya ada persaingan antara Marinir dan Brigade X untuk berlomba lomba siapa yang paling cepat mengusai Mojokerto terutama Mlirip.

Warga Krian yang menggungsi karena banjir

Namun menguasai Mlirip untuk melakukan perbaikan pintu air Lengkong menimbulkan masalah baru bagi Sidoarjo, banjir besar di Sidoarjo akibat dihancurkannya pintu air Lengkong harus segera diatasi, maka itu Kepala Pekerjaan Umum Hindia Belanda di Surabaya Ir. R.J Klein berkoordinasi dengan Direktorat Pengairan di Batavia memohon bantuan untuk melakukan peninggian dan pengurukan di area Pabrik Gula Krembung, PG Tulangan, PG Candi dan PG Watutulis masing masing 45O hektar.

Rumah salah satu warga Krian yang terdampak banjir

PG Krembung bergantung pada saluran Porong, PG Candi bergantung pada saluran Mangetan dan PG Watutulis serta PG Tulangan bergantung pada kedua saluran tersebut, namun pasokan air untuk musim kemarau jauh dari kata terjamin, hal ini dikarenakan :

  1. Masih diperbaikinya distribusi air di Lengkong, jebolnya saluran Mangetan yang belum teratasi dan sulitnya mengalirkan air ke saluran Porong.
  2. Jika Mojokerto memutuskan untuk mengembalikan pintu air Porong yang rusak maka yang dapat dibayangkan adalah stagnasi pasokan air.
  3. Belum dapat di kontrolnya gangguan limpahan air ke saluran Porong dan Purboyo yang dapat merusak tanaman padi yang masih muda maupun yang siap panen.
Banjir diwilayah Prambon Sidoarjo.

Dalam hal ini Sidoarjo terancam gagal panen, kelaparan dan mewabahnya penyakit penyakit yang diakibatkan oleh banjir besar tersebut. Tentunya banjir besar di Sidoarjo ini mengakibatkan pengungsian ke beberapa wilayah di Jawa Timur hingga ke Jember dan Madiun.

Baca Juga  Rumah Sakit Militer Simpang
Tampak truk 3 ton merek Ford F60 Kanada milik Brigade Marinir Belanda melintasi jalan di Krian menuju ke Watutulis.

Oleh Achmad Zaki Yamani

 

Sumber :

Departemen Pekerjaan Umum, situasi pengelolaan air di bagian hulu Sidoarjo,

Inventaris arsip Sekretariat Jenderal Pemerintah Hindia Belanda di Jawa Timur 1944-1950.

Pelajar Pejuang Tentara Genie Pelajar 1945 -1950 oleh Drs Moehkardi, Yayasan Ex Batalyon TGP Brigade XVII, Surabaya, 1983.

Rakyat Jawa Timur Mempertahankan Kemerdekaan 1 oleh Dra Irna H. N Hadi Soewito, Grasindo, Jakarta, 1994.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *