Soal Kontroversi HJKS, Pemerintah Harusnya Bisa Membuka Diri

Penetapan Hari Jadi Kota Surabaya (HJKS) pada 31 Mei dianggap ahistoris. Pemerintah Kota Surabaya seharusnya mampu membuka diri dan berendah hati untuk mengkaji kembali HJKS dengan dukungan data dan fakta sejarah.

Demikian benang merah Talkshow Ruang Publik bertajuk “Meluruskan  Sejarah Demi Masa Depan Kota Pahlawan” yang dihelat di TV9, Kamis (2/6/2022) malam. Acara ini menghadirkan dua narasumber, Drs H Imam Syafi’i (anggota Komisi A DPRD Kota Surabaya) dan Nanang Purwono SPd (ketua Begandring Soerabaia)

Imam Syafi’i mengatakan, di Surabaya sudah pernah ada pengalaman perubahan data sejarah. Bukan hanya bersifat lokal, tapi berskala nasional, yakni tentang tempat lahir Soekarno (Bung Karno).

“Dari awal diyakini Soekarno lahir di Kota Blitar, lalu diluruskan informasinya berdasarkan data sejarah bahwa Soekarno dilahirkan di Kota Surabaya. Tepatnya, di Jalan Pandean Gang IV Nomor 40, Kelurahan Peneleh, Surabaya,” kata dia.

Imam menegaskan, pelurusan data sejarah bisa dilakukan jika memang ada temuan data baru dengan berdasarkan pada sumber-sumber kuat dan akurat.  “Dan tentu saja harus ada good will (niat baikdari pemerintah,” tegas dia.

Imam juga melihat peran media massa sangat dibutuhkan untuk penyebarluasan informasi terkait pelurusan sejarah ini. Terlebih sekarang ada media sosial yang sangat efektif untuk menyebarluaskan informasi.

“Saya kira seperti halnya tempat kelahiran Soekarno, data dan fakta sejarah masalah ini (Hari Jadi Kota Surabaya, red) bisa disebarluaskan di media massa maupun media sosial,” tegas mantan wartawan Jawa Pos itu.

Sementara Nanang Purwono menegaskan, sejarah Kota Surabaya ini banyak yang tidak hanya mundur di era Perang Kemerdekaan, tapi jauh mundur ke era sejarah klasik.

Baca Juga  Agatha Retnosari, Anggota Komisi B DPRD Jatim Dalam Surabaya Urban Heritage

“Namun yang menjadi perhatian kami adalah sejarah mendasar bagi Kota Surabaya. Yaitu, pelurusan tentang Hari Jadi Kota Surabaya, letak  Hujung Galuh yang selama ini dianggap berada di wilayah Surabaya dan diyakini sebagai cikal bakal Surabaya, serta penyematan kembali motto atau semboyan “Sura ing Baya”,” jabarnya.

Menurut Nanang, jika yang dicari tentang “Hari Jadi Surabaya”, maka temuannya bisa berbeda dengan “Hari Jadi Kota Surabaya” dan berbeda lagi dengan “Hari Jadi Pemerintah Kota Surabaya”.

“Sejarah adalah fakta. Maka dalam mencari hari jadi, haruslah didukung fakta-fakta yang ada dan logis, yang dicari untuk meminimalkan potensi perubahan atau pelurusan di kemudian hari,” jelas Nanang.

Selain pelurusan sejarah HJKS, pembahasan juga menyoal tentang posisi dan letak Hujung Galuh serta penyematan kembali semboyan kota Surabaya “Sura ing Baya” pada lambang Kota Surabaya.

“Semboyan Sura ing Baya adalah sifat warga Surabaya. Seperti halnya sifat wani dan bonek (bondo nekad) yang selama ini lebih populer. Arek Suroboyo itu wani.  Bonek yang setara artinya dengan Arek Suroboyo itu, “Sura ing Baya,” tandas Nanang.

 

Tentukan Objek Pelurusan

Terkait dengan upaya pelurusan sejarah HJKS, DPRD Kota Surabaya membuka ruang komunikasi untuk menguji apa yang menjadi usulan pegiat sejarah setelah mereka menemukan data-data baru yang logis, kuat, dan akurat.

“Untuk itu, kami siap memfasilitasi untuk berdialog,” kata Imam.

Imam juga mempersilakan pegiat sejarah bersurat kepada ketua DPRD sebagai lembaga yang mengeluarkan Surat Keputusan, meski SK itu merupakan produk mundur.

“Nantinya usulan pelurusan oleh sejarawan dan pegiat sejarah akan diuji melalui panitia khusus (pansus) yang anggotanya lintaspartai dengan menghadirkan narasumber ahli. Jika dicapai kesepakatan, maka pengesahannya dilakukan melalui rapat paripurna,” tegas Imam.

Baca Juga  Menyoal DNA Kota Surabaya

Mengenai pelurusan HJKS, menurut Imam, arah dan sasaran pelurusan harus jelas terlebih dahulu. Misalnya, apa yang yang menjadi objek pelurusan itu? Apakah tentang Surabaya, Kota Surabaya atau Pemerintah Kota Surabaya?

Nanang menimpali jika sumber yang dipakai kuat. Mulai dari literasi, narasumber, hingga sumber premier berupa prasasti. “Apalagi sumber literasi yang kami gunakan merupakan produk hukum yang dikeluarkan kelembagaan dewan, DPRD Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya pada 1975,” jelas Nanang

“Memang seperti itu. Jika dalam sebuah keputusan dewan yang di kemudian hari terdapat kekeliruran dalam penetapannya, maka penetapan itu akan ditinjau kembali,” jawab Imam Syafi’i. (*)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *