Tentang Robohnya Museum Trowulan Kami di Tahun 1960an

Penulis: Eva N.S. Damayanti*

“Iyo, angin e teko etan. Rubuh e iku gak bruuuug banter ngunu, tapi rubuh e aloooon…aloooon. Trus pucuk e iku ngeneki bangunan sebelah e. Aku eroh mergo aku pas ndek kunu karo bapak.”

(Iya, angin nya dari timur. Robohnya tidak langsung begitu, tapi robohnya perlahan-lahan. Terus kemuncak nya mengenai bangunan sebelahnya. Saya mengetahui karena saya sedang di situ dengan bapak)

Begitulah kesaksian Pak Hariadi Sabar (yang saat itu berusia sekitar 9 tahun) kepada saya mengenai robohnya salah satu bangunan Museum Trowulan puluhan tahun yang lalu.

Seniman patung asal Dusun Kedungwulan, Desa Bejijong, Trowulan ini memang sejak kecil tinggal di kawasan tersebut karena ayahnya, yaitu Mbah Sabar merupakan pegawai yang sehari-hari bertugas menjadi juru kunci Museum Trowulan.

Apa yang dikatakan beliau ternyata sama dengan apa yang pernah saya baca yaitu berupa Laporan Ambruknya Museum Trowulan, sebuah arsip tahun 2010 hasil ketikan ulang laporan asli tahun 1966 koleksi Perpustakaan Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XI Jawa Timur.

Selain laporan tersebut, buku yang berjudul Petunjuk Singkat Warisan Majapahit di Trowulan tahun 1983 juga menyinggung tentang penyebab robohnya bangunan yang disebut sebagai bangunan C tersebut.

Cikal bakal Museum Trowulan

Cikal bakal keberadaan Museum Trowulan bermula ketika Ir. Henri Maclaine Pont mendirikan sebuah yayasan partikelir yang bernama Oudhiedkundige Vereeniging Madjapahit pada tahun 1924. Yayasan tersebut bertujuan untuk mengadakan penyelidikan keberadaan jejak ibukota Kerajaan Majapahit yang berada di Trowulan.

Tahun 1925, Maclaine Pont pindah ke Trowulan dan menempati sebuah bangunan dan lahan yang disewanya dari Pabrik Gula Mojoagung seluas 1,7 ha.

Bangunan tempat tinggal tersebut disebut sebagai bangunan A. Guna menampung ribuan artefak baik pecahan maupun yang utuh, Maclaine Pont akhirnya membangun 2 bangunan semi terbuka di sebelah timur bangunan A, yang nantinya disebut sebagai bangunan B dan bangunan C.

Baca Juga  Genealogi Seni Majapahit Baru: Peran Tuan Kreweng dan Mbah Sabar dalam Sejarah Industri Kerajinan Bejijong-Trowulan
Bangunan Museum Trowulan dulu. Diambil dari buku Petunjuk Singkat Warisan Majapahit. Foto: koleksi pribadi
Bangunan Museum Trowulan dulu. Diambil dari buku Petunjuk Singkat Warisan Majapahit. Foto: koleksi pribadi

Dirangkum dari buku Petunjuk Singkat Warisan Majapahit dan Laporan Ambruknya Museum Trowulan bahwa bangunan B adalah bangunan yang semi-terbuka berdinding kayu dengan atap berbentuk joglo.

Lokasi bangunan berada di sebelah timur bangunan A, sedikit menjorok ke barat laut. Di dalam bangunan B inilah dahulu disimpan model-model candi, jambangan-jambangan, pot, pipa-pipa air, yang kesemuanya terbuat dari bahan tanah liat bakar (terrakotta).

Bangunan B ini dibangun dalam tahun 1926 dan runtuh sekitar tahun 1967 karena keadaannya sudah sangat tua, seluruh bangunan dibuat dari bahan-bahan yang tidak tahan lama. Bangunan B adalah bangunan musium yang pertama kali.

Kronologis Runtuhnya Bangunan

Bangunan C adalah bangunan ketiga, sebuah bangunan yang bentuknya cukup menarik. Keseluruhan bangunan bentuknya mirip dengan buah belimbing, yang dijadikan contoh adalah model Kasunanan Cirebon. Bangunan C ini terletak di sebelah timur bangunan B, didirikan pada tahun 1927 dan selesai pembangunannya sekitar tahun 1928.

Konstruksi bangunan sengaja tidak menggunakan tiang-tiang akan tetapi dengan konstruksi rusuk-rusuk. Pada bagian atap bangunan terdapat enam buah rusuk sehingga bentuk atap bangunan menjadi segi-enam. Setiap rusuk terdiri dari enam sampai delapan lapis kayu jati yang dilekatkan dengan menggunakan baut dan paku.

Bentuk rusuk-rusuk seperti ini hanya untuk memudahkan membuat lengkungan dari pada kalau dibuat dari bahan kayu yang utuh, tidak dibuat berlapis-lapis. Ujung dari rusuk- rusuk ini diikat menjadi satu dan pada bagian atasnya diberi hiasan puncak (kemuncak).

Sedangkan ke bawah terus dibuat menjulur mengikuti bentuknya, kemudian diletakkan (bertumpu) pada balok-balok kayu yang ditanam dalam beton.

Untuk memperoleh bentuk lengkungan dan ketegangan yang dikehendaki sesuai dengan bentuk bagian atap, maka antara rusuk-rusuk dan balok-balok kayu itu direntangkan dengan besi beton yang dapat dikendorkan dan dikencangkan.

Baca Juga  Refleksi Gedung Singa, Bangunan Paling Modern Abad 20

Di antara rusuk-rusuk ini direntangkan kawat-kawat dalam susunan yang dibuat seperti reng (sebagai pengganti kayu reng) kemudian ditempatkan genting-genting dalam ukuran yang lebih kecil. Genting-genting ini memang sengaja dibuat khusus karena di bagian tengahnya harus diberi lubang untuk memasukkan kawat-kawat reng itu.

Konstruksi bangunan museum. Foto: Diambil dari buku Tegang Bentang
Konstruksi bangunan museum. Foto: Diambil dari buku Tegang Bentang

Pada tahun 1945 salah satu bagian rusuknya yang patah dan mengingat situasi pada saat itu tidaklah mungkin diadakan pengamanan seperlunya. Pencegahan akan kerusakan-kerusakan lebih lanjut baru dilakukan setelah penyerahan kedaulatan pada tahun 1950.

Pada sekitar tahun 1954 salah satu rusuk bangunan patah, kemudian disusul lagi pada tahun 1964 beberapa bagian rusuk telah patah. Akibat patahnya rusuk-rusuk secara beruntun ini menyebabkan keseimbangan di bagian atap bangunan terganggu.

Usaha untuk mengembalikan keseimbangan di bagian atap telah juga dilaksanakan akan tetapi keadaannya sudah begitu parah. Bagian atap telah miring ke arah barat. Dari penelitian tahun 1964 itu ternyata rayap telah sampai ke bagian puncak rusuk.

Pada bulan April 1966 rusuk sebelah barat laut patah sekaligus sebanyak 6 lapis. Akibat patahnya itu lengkung rusuknya agak menurun, balok tempat bertumpunya bergeser dan besi beton perentangnya melengkung. Mengingat hal itu maka telah diambil tindakan-tindakan sebagai berikut :

  1. memperkuat seperlunya bagian-bagian yang patah/bergeser
  2. mengusahakan pembasmian rayap-rayap
  3. mengungsikan benda-benda ke dalam bangunan A dengan cara mengambil paling sedikit satu contoh dari setiap jenis

Berselang 3 bulan kemudian, tepatnya pada tanggal 17 Juli 1966 pada pukul 17.00 bangunan C roboh. Adapun dalam laporan yang dibuat pada tahun 1966 adalah sebagai berikut:

“Karena konstruksinya menggunakan sistim pembagian gaya-berat seluruh atap ke masing – masing satuan rusuk-kawat-genting dan balok-balok tumpuan, maka robohnya seakan-akan “terpimpin”. Masing-masing kawat yang malang-melintang sekitar atap menjadi cegahan kerobohan itu, sehingga atap mencapai tanah dengan per-lahan-lahan.

Bunyi yang keras serta terpelantingnya batu-batu adalah setelah balok-balok tempat bertumpu rusuk-rusuk itu mencuat terbetot dari dalam semen beton dan menghamburkan pecahan-pecahan semennya. Di dalam bangunan itu sendiri terdapat rak-rak dari semen/beton tempat menyimpan benda-benda, rak-rak iiupun menjadi pecahan sebelum atap mencapai tanah.

Dengan demikian maka benda-benda yang disimpan di dalam bangunan C itu praktis tidak ada yang rusak, seperti yang diberitakan d surat-surat kabar. Benda-benda yang disimpan di dalamnya memang sudah merupakan fragmen dan bukan hancur karena ambruknya.

Dalam waktu sebulan setelah ambruknya itu, puing-puing telah dibersihkan dan benda-benda telah diatur kembali di tempat-tempat yang cocok.”

Demikianlah kronologis runtuhnya bangunan C Museum Trowulan yang terjadi hampir 60 tahun yang lalu. Saat ini bangunan A yang pernah menjadi rumah tinggal Maclaine Pont masih berdiri kokoh dan menjadi ruang perpustakaan.

Baca Juga  Tim Ahli Cagar Budaya Anggap Reklame Tak Tutupi Viaduct Gubeng
Bangunan A yang sekarang menjadi ruang perpustakaan Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XI Jawa Timur. Foto: Koleksi Penulis
Bangunan A yang sekarang menjadi ruang perpustakaan Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XI Jawa Timur. Foto: Koleksi Penulis

Sedangkan bangunan B, dan bangunan C berubah menjadi bangunan baru dalam lingkup Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XI Jawa Timur.

Bangunan baru yang berdiri di lokasi bangunan B dan bangunan C. Foto: Koleksi Penulis
Bangunan baru yang berdiri di lokasi bangunan B dan bangunan C. Foto: Koleksi Penulis

*Eva N.S. Damayanti. Reenactor Modjokerto, perangkai repihan sejarah Trowulan.

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *