Tugu Pahlawan bukan sekadar simbol, tapi pengingat peristiwa heroik dan rill dalam upaya mempertahankan kemerdekaan RI. Tugu Pahlawan juga sebagai dasar semangat Arek-Arek Suroboyo dalam mengisi kemerdekaan untuk meraih cita-cita, sebagai mana tertuang dalam UUD 1945.
Tugu Pahlawan tidak hanya simbol lokal, tapi menasional. Sebagai ekspresi peristiwa masa lalu, maupun sifat dan semangat yang harus dimiliki bangsa Indonesia dalam menatap masa depan.
Karenanya, Tugu Pahlawan digunakan sebagai simbol Hari Pahlawan yang diperingati secara nasional. Nilai-nilai Kepahlawanan dan Kejuangan yang layak diwarisi generasi sekarang dan mendatang.
Nilai Kepahlawanan adalah sikap dan perilaku yang dilandasi oleh sifat-sifat berani, jujur, pantang menyerah, dan tanpa pamrih dalam melaksanakan perjuangan membela Tanah Air, baik untuk memperjuangkan maupun menegakkan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Direktorat Kepahlawanan, Kemensos RI)
Kejuangan berasal dari kata dasar “Juang” yang berarti “memperebutkan sesuatu dengan mengadu tenaga dan bahkan mengorbankan jiwa dan raga untuk mencapai kemerdekaan”.
Konsep Soekarno
Adalah Doel Arnowo, wali kota Surabaya pascakemerdekaan yang semula berpikir tentang pembangunan Tugu Pahlawan. Letaknya di lahan bekas gedung Raad van Justitie (era Belanda) yang kemudian di era pendudukan Jepang dipakai sebagai Kantor Polisi Kempetai.
Di era Perang Kemerdekaan, gedung ini menjadi sasaran para pejuang Surabaya dan tidak sedikit di antara mereka yang tewas di tempat itu. Gedung berhasil dibakar habis hingga roboh, kecuali tinggal pilar-pilar depan.
Menurut Doel Arnowo, dikutip dari buku karya Sarkawi Husein, Negara di Tengah Kota: Politik Representasi dan Simbolisme Perkotaan (Surabaya 1930-1960)” Jakarta Lipi Press 2010, menyebutkan bahwa tidak mungkin membangun kembali gedung itu karena membutuhkan banyak biaya, maka digagaslah pembangunan Tugu Pahlawan untuk menghormati jasa-jasa para pahlawan yang gugur dalam pertempuran Surabaya.
“Oleh karena di tempat itu dulu pernah ada pertempuran yang hebat antara pemuda pemuda kita dengan Jepang, maka di tempat itu lalu saya rencanakan untuk dibuat tugu Pahlawan” (Bargowo, 1974: 31)
Selanjutnya, Doel Arnowo membentuk tim hingga dihasilkan beberapa desain Tugu Pahlawan. Gambar-gambar ini diajukan kepada Presiden Soekarno, tetapi tidak satu pun gambar yang disetujui.
Maka Soekarno yang seorang insinyur, membuat desain yang berbentuk paku dalam posisi terbalik. Ujung paku menghadap ke atas, sementara kepala paku sebagai dasarnya.
Atas dasar gambar itu, pada 10 November 1951, dilakukanlah peletakan baru pertama oleh Presiden Soekarno sebagai tanda dimulainya secara resmi pembangunan Tugu Pahlawan. Pembangunan diserahkan kepada Walikota Besar Surabaya Doel Arnowo, kemudian dilanjutkan oleh Walikota Moestadjab Soemowidigdo yang bertindak sebagai ketua panitia. Di antara salah satu anggota kepanitiaan adalah R. Soeratmoko (arsitek) yang kala itu menjabat sebagai Kepala Jawatan Gedung Gedung Surabaya.
Dalam proses pembangunan, R. Soeratmoko bertindak sebagai ketua proyek pembangunan dan menunjuk R. Sarodja B.A.E, ahli teknik sipil, sebagai pelaksana sekaligus asisten pelaksana.
Berikut Time line pembangunan. Pada 10 November 1951 peletakan baru pertama oleh Soekarno. 10 November 1952 peresmian Tugu Pahlawan oleh Presiden RI Soekarno.
Sabuk Api Perjuangan
Tugu Pahlawan tidak hanya sebagai pengingat masa lalu, tetapi sekaligus semangat untuk meraih masa depan. Di balik tugu yang kasat mata dan makna menjadi perpaduan spirit kota dalam bekerja dan berkarya meraih cita-cita tanpa meninggalkan masa lalunya.
Tugu yang berbentuk paku terbalik ini pada bagian badannya terdapat lekuk yang berjumlah 10 sebagai perlambang tanggal 10. Sedangkan badan tugu ini terdiri dari susunan panel panel yang berjumlah 11 sebagai perlambang bulan November (11).
Sementara pada dasar tugu terdapat relief Sabuk Api Perjuangan, di mana reliefnya menggambarkan Trisula, Cakra, Stamba dan Padmamula yang terbingkai dalam formasi gunungan gunungan. Formasi tersebut adalah simbolisasi Api Perjuangan.
Padma mula berarti tempat benih sebagai asal mula manusia (sperma), yang melahirkan sumber daya, kekuatan, dan keberanian. Stamba merupakan alat penyalur kekuatan (alat vital), yang selanjutnya melahirkan pusaka pusaka. Cakra dan Trisula sebagai perwujudan pusaka. Cakra adalah pusaka Krisna. Trisula menjadi pusaka Arjuna.
Ketika proses pembangunan, sedianya monumen dibangun setinggi 45 meter, tapi karena andang untuk pembangunan hanya 40 meter, maka ukuran disesuaikan alat yang tersedia. Maka diubahlah satuan ukuran dari 45 meter menjadi ukuran 45 yards atau 41 meter. Maka tinggi monumen dalam ukuran 45 yards.
Lambang Kota
Tugu Pahlawan diresmikan oleh Presiden Soekarno pada 10 November 1952. Sejak itu, Kota Surabaya memiliki ikon baru. Karena Tugu Pahlawan ini hanya tetenger masa lalu, tapi juga semangat untuk menatap masa depan. Cukup beralasan kalau kemudian gambar Tugu Pahlawan disematkan pada logo Kota Surabaya.
Pada 1953, Ketua DPRDS Kota Besar Surabaya Soepraptomengusulkan perubahan logo kota dari yang semula peninggalan lama (1906), menjadi yang baru dengan gambar Tugu Pahlawan di dalamnya. Proses perubahan memakan waktu 3 tahun hingga pada akhirnya ditetapkan oleh DPRDS KBS dengan Penetapan Nomor 34 tahun 1956.
Kala itu, Soeprapto menghendaki agar lambang kota disesuaikan dengan keadaan kota. Misalnya, menambahkan gambar Tugu Pahlawan pada lambang yang baru.
Pasal 3 DPRDS KBS nomor 34 tahun 1956 berbunyi: “Bahwa Lambang Kota Surabaya berupa perisai segi enam yang distilir dan berwarna biru. Di tengah tengah perisai terdapat lukisan Tugu Pahlawan berwarna perak (putih). Di belakang lukisan tugu pahlawan terdapat seekor hiu berwarna emas (kuning) di sebelah atas dan di sebelah bawah seekor buaya berwarna emas (kuning) pula, keduanya dalam sikap saling menyerang.”
Sayangnya perubahan itu menghilangkan semangat “Sura ing Baya”, yang memiliki arti “Berani Menghadapi Bahaya”. Semangat ini adalah spirit kearifan lokal (local wisdom) yang mencerminkan sifat Arek Suroboyo sejak dulu (era Majapahit). Meski dalam era kolonialisasi, memangat lokal ini tetap tersematkan pada lambang kota Surabaya seiring dengan ditetapkannya Surabaya sebagai kota otonom pada 1 April 1906.
Satu satunya bukti otentik yang masih ada dari peninggalan kolonial adalah emblem kota yang dipasang di SMA Trimurti Surabaya, yang dulu dipakai Museum Kota Surabaya (Stedelijk Museum van Soerabaia). (*)