Bengawan Jero di Kabupaten Lamongan adalah kawasan langganan banjir. Bengawan Njero merupakan wilayah yang berbentuk cekungan mangkuk dengan dasar yang bergelombang dengan elevasi -0,70 m di sebagian wilayah bahkan sampai -1,20 m. Dikatakan Bengawan Jero karena wilayah ini dialiri oleh anak Bengawan Solo.
Saat ini, akibat dari banjir alami itu, secara umum sudah dikatakan sebagai bencana. Tidak hanya pemerintah lokal yang turun tangan, bencana ini sudah menjadi perhatian pemerintah propinsi dan bahkan pihak pihak dari pemerintahan pusat. Warga terdampak banjir menjadi berharap adanya bantuan atas bencana banjir itu.
Prof Suparto Wijoyo yang asli putra Lamongan, membandingkan sikap masyarakat dulu dan sekarang.
“Dulu, ketika saya masih kecil, luapan air dan banjir itu dianggap sebagai berkah. Kami menyongsong dengan membuat dan mempersiapkan perahu perahu untuk berbagai kebutuhan. Termasuk membuat dan mempersiapkan peralatan penangkap ikan karena banyak ikan yang bisa ditangkap dan dimanfaatkan. Kami bersuka ria menerima berkah. Bukan bencana,” jelas wakil direktur Pascasarjana Universitas Airlangga ini.
Menurut Suparto, masyarakat tempo dulu memiliki sikap arif dan adaptif dari terhadap alam.
“Jika kita bisa hidup berdampingan dengan alam, sesungguhnya tidak ada yang namanya keluhan. Justru yang ada rasa bersyukur karena Tuhan menunjukkan kebesaran dan ciptaannya,” imbuh dia.
Tak bisa disalahkan jika masyarakat punya sikap seperti ini. Mengeluh atas datangnya kebesaran Ilahi itu. Hal itu dikarenakan pola pandang dan sikap yang telah bergeser dan berubah. Dengan berbagai kemudahan teknologi, manusia jadi terlena, terninabobokkan oleh keadaan dan perkembangan teknologi.
Berikut ini adalah sebuah refleksi yang dapat dipakai menjadi sebuah pegangan dan pedoman. Yaitu, pola pikir dalam konsep tradisional orang Jawa. Meski demikian bukan berarti konsep ini tidak berlaku bagi kultur lain. Konsep ini memiliki sifat universal yang baik diterapkan oleh siapa pun dan dimana pun.
Tata Pikir
Christ Wibisono, budayawan Surabaya, membedah pandangan dan sikap budaya Jawa yang menjadi falsafah hidup. Dewasa ini, meski sudah menjadi falsafah hidup, bukan berarti orang orang Jawa masih memakainya. Sudah ada pergeseran nilai. Namun ada baiknya kembali menengok kembali falsafah hidup orang Jawa di era moderen ini.
Dalam menjalani kehidupannya orang Jawa mempunyai nilai-nilai falsafah hidup. Dipahami bahwa segala sesuatu memiliki makna, besar atau kecil, bahkan yang tak bermakna sekali pun tetap memiliki arti atau pesan khusus (yang tersirat dibalik yang tersurat).
1. Ramah
Ketenangan dan Keramahan dalam pergaulan dengan masyarakat sekitar menjadi ciri kuat dalam relationship orang Jawa. Istilah orang Surabaya blater, cepat akrab dengan yang lain, baik yang sudah dikenal ataupun belum.
Senjata utama orang Jawa adalah insting senyuman dan secara spontan mengucapkan kata kulanuwun (uluk salam/permisi) yang serta merta dijawab dengan kata mangga (silakan) dalam setiap perjumpaan dengan orang lain.
Ketika jurus spontanitas pertama sudah gayung bersambut, barulah dilanjut jurus kedua “dialog” yang bisa berlangsung mulai dari sekadar basa-basi sampai fase perkenalan identitas dan akrab, berteman-bersahabat meningkat menjadi teman rasa saudara. Sebab ada pemeo mengatakan, berteman dengan seribu orang masih kurang dibanding bermusuhan dengan seseorang terlalu banyak.
2. Norma Kesopanan
Bagi yang pernah tinggal di kota dengan mayoritas penduduk orang Jawa pasti bakal akrab banget dengan norma kesopanannya yang sangat kuat. Dari cara mereka berbicara dan pememilihan kosakata, orang Jawa punya banyak kasta dalam bahasanya dan sampai saat ini masih tetap dilestarikan.
Orang yang lebih muda jika berbicara kepada orang yang lebih tua menggunakan bahasa Jawa Krama Inggil yang lebih sopan sebagai bentuk penghormatan. Sedangkan untuk yang seumuran menggunakan bahasa Jawa yang lebih fleksibel, kasta ngoko. Nah, jadi antara orang tua dan yang lebih muda tetap merasa dihargai hanya dengan cara penggunaan tata bahasa yang tingkatannya tepat.
Itu terjadi karena sikap ngugemi dawuhing asepuh (memegang perintah orang tua) bahwa ajining diri ana ing lathi (kehormatan diri terletak di bibir), dipahami bahwa mulut itu memiliki kuasa lidah, setiap kata yang keluar dari padanya adalah berkat atau kutuk.
Ketika mulut mengucapkan kata-kata dengan sungguh hati itu merupakan doa, dan doa orang benar ketikan sungguh-sungguh diucapkan besar kuasanya. Maka sangat mungkin terjadi dengan seijin Tuhan.
Di sini orang Jawa yang dengan laku bratanya, sangat berhati-hati mengelurkan kata-kata. Agar tidak berbuah kutukan, hal yang sangat dihindari bagi orang, yaitu menaruh hormat kepada pihak lain. Bahkan ketika mengucapkan “uluk salam”, itupun dilakukan dengan menundukkan badan, pertanda lugas rasa hormatnya. Semua itu dilakukan untuk menghindari rasa “tidak enak” pada pihak lain.
3. Rukun Agawe Sentosa
Ciri perikehidupan orang Jawa adalah kebersamaan, berkumpul, saling mengunjungi, anjangsana walaupun Cuma asal ngobrol, omongan ringan sekedar cangkrukan minum teh atau kopi. Di hampir segala lini masyarakat tua maupun muda kebiasaan cangkrukan pasti ada.
Ada pula istilah “sambatan” yang artinya sesambat karena sedang kerepotan atau kesusahan. Repot sedang merenovasi rumah atau apa saja, maka datanglah tetangga kiri kanan suka rela membatu yang sedang kerepotan tanpa minta bayar.
Bekerja bersama-sama saling tolong menolong itu justru merupakan kebanggan tersendiri yang membahagiakan kebersamaan antar sesama warga kampung. Apalagi dalam acara kerja bakti bersih desa, atau bahkan ritual adat yang melibatkan ratusan orang, ini sangat menggembirakan sekali. Orang desa merindukannya.
Manifestasi sebuah kerukunan Rukun agawe Sentosa merupakan quote pijakan yang tidak akan bisa lepas dari kehidupan orang Jawa. Ada dua segi dalam tuntutan kerukunan yang dalam hal ini berarti keselarasan:
Pertama, dalam pandangan Jawa masalahnya bukan keadaan keselarasan sosial, melainkan lebih untuk tidak mengganggu keselaran yang diandaikan sudah ada. Dalam perspektif Jawa, ketenangan dan keselarasan sosial merupakan sebagai keadaan normal (titik nol) yang akan ada dengan sendirinya selama tidak diganggu.
Prinsip kerukunan terutama menuntut untuk mencegah segala cara kelakuan yang bisa mengganggu keselarasan dan ketenangan dalam masyarakat. Rukun berarti berusaha untuk menghindari pecahnya konflik-konflik. Oleh karena itu prinsip kerukunan bukan disebut prinsip keselarasan, melainkan prinsip pencegahan konflik (Ann.R. Willner, 1970)
Kedua, prinsip kerukunan awalnya tidak menyangkut suatu sikap batin atau keadaan jiwa, melainkan penjagaan keselarasan dalam tata pergaulan. Yang perlu diatur adalah sebuah permukaan hubungan sosial dan mencegah terjadinya konflik secara terbuka disebut sebagai harmonious social appearances (Hilldred Geertz, 1961)
Suatu konflik biasanya pecah apabila kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan bertabrakan. Apabila kedua belah Pihak yang berkonfik mau sedikit mengalah dan setidaknya menomorduakan kepentingan pribadi, persoalan bisa selesai. Dalam kebersamaan kelompok orang Jawa bisa saling kontrol dan mengingatkan. (Selosoemarjan, 1969)
Mengusahakan keuntungan pribadi tanpa memperhatikan persetujuan masyarakat, berusaha untuk maju sendiri tanpa mengikutsertakan kelompok dinilai kurang baik. Begitu pula mengambil inisiatif sendiri condong untuk tidak disenangi.
Inisiatif-inisiatif dengan mudah dapat melanggar kepentingan-kepentingan yang sudah tertanam dan sudah diintegrasikan secara sosial, dan oleh karenanya dapat menimbulkan konflik. Individu seharusnya selalu bertindak bersama dengan kelompok. (Frans Magnis Susena SJ, 1984)
Ketiga, makan ora makan asal kumpul. Lebih bermakna, berkumpul lebih baik daripada berpisah hanya untuk mengembara mencari sesuap nasi, berkumpul untuk melihat keluarganya sehat semua, aman semua. Artinya ada kepentingan orang lain yang lebih utama daripada urusan pribadi.
Menjadi distorsi manakala peradaban bergulir menuju modern. Rasa homogenitas keluarga berubah ke pola sosio heterogenitas. Kebersamaan tak lagi utama dibanding kebutuhan yang harus dipenuhi. (Umar Kayam, 1987)
Warna lokal Jawa agaknya harus dilihat lebih dari kearifan dalam memandang kehidupan. Bagi orang Jawa hidup adalah harmoni dan tidak selalu hitam putih. Hidup seperti yang tersirat dalam kehidupannya tidak bisa dilihat secara ekstrim karena banyak problem, orang Jawa selalu betah melakoninya karena baginya hidup tak pernah jadi proses yang soliter. (Goenawan Mohamad, 1990)
Banyak kesulitan tapi jarang terdengar nada getir dari mulutnya karena masih karena masih banyak orang yang menyenangkan di sekitarnya. Ibunya meneriakinya dari luar kamarnya karena seharian anaknya terpuruk di dalamnya “Le, (panggilan untuk anak laki-laki) mbok ya metu, neng jaba mengko akeh padang hawa” (Nak, keluarlah, di luar nanti akan banyak pencerahan).
Hal itu mengandung siratan makna, bahwa tidak baik menggumuli problema hanya dengan suntuk terpuruk sendiri, di luar (bersama teman-teman) pasti akan ada jalan keluar. Hidup mesti hetero sosio bukan soliter.
Keempat, Alon-alon waton kelakon. Orang Jawa itu terlihat hidupnya santai dan tidak ngoyo, itu karena mereka punya prinsip alon-alon waton kelakon yang artinya pelan-pelan yang penting kesampaian. Artinya dalam hidup, mereka menjalaninya dengan kesederhanaan karena inti dari kebahagiaan hidup terletak dari kenikmatan saat menjalaninya.
Kekayaan tidak selalu menjamin kebahagiaan. Jadi tidak perlu tergesa dan berambisi meraihnya. Hal ini membuat mereka fokus pada apa yang ada pada mereka saat ini seperti keluarga, kerabat, dan hal-hal sederhana yang mereka punya tanpa memusingkan sesuatu yang belum mereka miliki.
Itulah beberapa rahasia kenapa orang Jawa bisa akrab, guyub dan rukun. Kerukunan serta rasa saling memiliki inilah yang membuat ikatan orang Jawa selalu kuat sepanjang masa tanpa iri, dengki, atau hal lain yang sering menimbulkan perpecahan.
Alon-alon ( pelan-pelan) mengandung arti bahwa dalam melakukan suatu pekerjaan hendaknya kita lakukan dengan pelan-pelan. Pelan-pelan di sini mengandung pula pengertian hati-hati, cermat dan meminimalisir kesalahan yang bisa terjadi.
Selain itu juga mengandung pengertian bahwa dalam melakukan suatu pekerjaan tidak boleh tergesa-gesa (bedakan dengan cepat dan efisien). Kalau suatu pekerjaan itu sudah terikat dengan waktu maka pengertiannya adalah melakukan dengan penuh hati-hati dan terencana sehingga dapat selesai tepat waktu.
Waton dalam bahasa Jawa berarti dasar. Berasal dari kata Watu (batu) yang sering digunakan untuk membuat dasar bangunan baik rumah maupun bangunan-bangunan lain seperti jembatan, bendungan dan lain-lain.
Prinsip ini mengajarkan bahwa dalam melakukan sesuatu kita harus tahu dasarnya (dasar hukumnya). Tidak boleh melakukan sesuatu tanpa dasar yang jelas, hanya berdasarkan perkiraan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Dalam perkembangan jaman sekarang, dasar ini juga bisa dimaknai dengan visi, misi dan tujuan yang jelas. Sehingga seseorang menjadi lebih mantap dalam melangkah, lebih terpacu untuk bekerja lebih giat dan tahu dengan jelas arah dan hasil yang akan diperoleh.
Kelakon adalah hasil. Hal yang diinginkan dari melakukan suatu pekerjaan adalah terlaksananya tujuan yang ingin dicapai, seberapa pun panjang proses yang harus dilalui. Prinsip ini mengajarkan bahwa tujuan utama manusia melakukan sesuatu adalah tercapainya suatu hasil, karena ukuran kesuksesan dalam bekerja tidak hanya dinilai dari prosesnya tetapi juga hasil akhirnya. Oleh sebab itu tercapainya tujuan pekerjaan menjadi syarat mutlak bahwa pekerjaan itu telah diselesaikan dengan baik.
Dengan demikian alon-alon waton kelakon tidak lagi diartikan biar lambat asal selamat, tetapi diartikan sebagai mengerjakan sesuatu dengan dasar yang jelas, dengan cara yang efektif dan efisien dan tujuan tercapai dengan baik.
Itulah konsep bijak, arif dan adaptif terhapan lingkungan dan sesama untuk mencapai kebahagiaan dimana pun berada. (*)