Tragedi sepak bola di Stadion Kanjuruhan, Malang pada 1 Oktober 2022, adalah tragedi kemanusiaan. Dalam peristiwa lebih dari 130 penonton meninggal dunia.
Sepak bola, yang seharusnya menjadi hiburan segar untuk semua lapisan masyarakat, berubah bak “medan perang”. Mengerikan! Kebahagiaan dan keceriaan berubah total menjadi teror horor yang menakutkan.
Kecaman atas tragedi ini pun berdatangan. Tak terkecuali dari mereka di mancanegara. Apalagi baru digelar ajang Kualifikasi Piala Asia U-20 di Surabaya, Jawa Timur.
Apa kata dunia atas tragedi ini?
SBS6, sebuah program televisi di Belanda, menayangkan talkshow HALF8 dengan koresponden Indonesia, Bud Wicher, yang melaporkan langsung dari Malang pascaperistiwa memilukan itu. Sementara pemberitaan media masa lainnya terus memuat dalam beberapa hari terakhir. Insiden Kanjuruhan jadi perhatian khalayak.
Sukses motor GP di Mandalika yang sudah dipromosikan sebagai ajang wisata olahraga agar mengilhami jenis olahraga lainnya di negeri ini termasuk misalnya sepak bola, menjadi pupus.
Datang ke stadion semestinya menonton pertandingan sepak bola yang atraktif, akrobatik, indah, mengagumkan, dan bisa menjadi inspirasi lainnya. Bukan menjadi tontonan yang menakutkan dan membahayakan bagi mereka yang datang ke stadion.
Tentu saja, hal ini menjadi pantangan dalam dunia pariwisata. Ajang pariwisata olahraga harus bisa menjamin keamanan dan kenyamanan bagi pengunjung atau penontonnya. Peristiwa Kanjuruhan ini membalikkan semua harapan.
Fakta ini telah terjadi dan seolah mengalahkan kasus wabah dari pandemi covid-19. Dalam hitungan 15 menit, ada sekitar 130 orang meninggal di lokasi yang sama, disaksikan secara langsung oleh penonton lainnya bagaimana proses kericuhan itu terjadi.
***
Di Indonesia, perseteruan antarsuporter masih kerap terjadi. Baik di Liga 1, Liga 2, maupun Liga 3. Hal serupa juga sering terjadi di level kompetisi amatir.
Fakta yang menyesakkan dada tersebut seperti penyakit kronis. Upaya menghilangkan penyakit kronis itu tidak mudah. Butuh penyadaran semua pihak. Tujuannya untuk mengamputasi perseteruan antarsuporter.
Rivalitas mestinya menyehatkan untuk membangkitkan kreativitas dan produktivitas. Bukan fatalitas (kematian). “Dokter” dari penyakit ini harus beragam. Mulai dari pemuka agama, pemuka adat, pemuka masyarakat, aparat, orang tua, pemerintah, penyelenggara, dan lembaga pendidikan.
Perseteruan antarsuporter ini boleh dibilang jenis penyakit sosial yang tidak mudah dalam mengatasinya. Tapi bukan berarti tidak ada cara dan tidak bisa.
Perseteruan bebuyutan seolah menjadi kebiasaan yang natural terwariskan pada generasi muda dari waktu ke waktu. Ada beragam model perseteruan yang tersaji, mulai dari yel-yel, ujaran verbal, hingga slogan pada baner yang mengandung kata-kata sarkasme kepada pihak lawan.
Sifat-sifat negatif ini terus terpelihara. Bahkan ujaran dan gambar-gambar sarkasme itu menjadi pola motif menjual marchendise yang dijual dimana- mana. Menjadikan perseteruan sebagai komoditas bisnis. Padahal dampaknya besar, karena memelihara perpecahan dan permusuhan.
Dari pengamatan lapangan, para suporter bola ini umumnya mereka yang usia muda. Mereka yang butuh pendampingan dan arahan yang baik, sebagai bekal psikologis dalam pertumbuhan dan perkembangan diri. Jika kondisi seperti saat ini dibiarkan, kelak ketika tumbuh dewasa, mereka akan terus menjadi orang yang berseberangan dengan lawan grupnya.
Dalam dunia olahraga memang ada rivalitas, lawan dalam laga pertandingan. Tapi rivalitas tidak boleh berbuntut permusuhan. Dalam berbagai bentuk. Apalagi jika rivalitas dan permusuhan ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu demi meraup keuntungan.
Tragedi Kanjuruhan sepantasnya menjadi pelajaran atas kesadaran kita semua: sudah saatnya mengakhiri permusuhan itu. Jangan lagi ada nada-nada permusuhan melalui beragam kreativitas yang diciptakan oleh para suporter dan pihak-pihak yang mengais keuntungan dari kondisi ini.
Buatlah produk-produk yang bernada menyejukkan, kebersamaan, dan rasa hormat. Buatlah slogan-slogan persatuan yang mampu menggugah semangat berkompetisi yang sehat.
Peristiwa kemanusiaan harus jadi momentum dan tonggak persatuan. Mari berjabat tangan untuk mengakhiri warisan perseteruan. Menang dan kalah adalah bagian dari pertandingan. Persaingan itu hanya berlangsung 90 menit. Tapi sebelum dan sesudahnya kita tetap bersahabat. (*)