Dokumentasikan Kesaksian Perjuangan Darmosugondo

Sejak merilis cerita kepahlawanan Mayor Darmosugondo, banyak tanggapan masuk ke begandring.com. Mereka rata-rata penasaran, siapa sejatinya Darmosugondo yang ikut mempertahankan kedaulatan bangsa pada masa agresi Belanda tahun 1945-1949.

Kamis (10/02/2022), tim Begandring melakukan pendokumentasian cerita tentang Darmosugondo dengan Seniman alias Mbah Man (89) di kediamannya. Mbah Man adalah saksi hidup yang sangat dekat dengan Darmosugondo.

“Bapak saya (Seno) adalah salah satu dari tiga rekan seperjuangan Darmosugondo di Desa Made,” ungkap Mbah Man.

Seno lahir tahun 1910. Dia mengembuskan napas terakhir pada tahun 2005, di usia 95 tahun. Kala itu, pada tahun 1949, usia Seno 39 tahun.

Mbah Man pada masa perjuangan itu sering mengikuti bapaknya. Ketika itu, saat masih usia belasan tahun, dia ikut merawat kuda Darmosugondo bersama ayahnya, Seno. Dia juga menjadi saksi pendirian Pos Komando Gerilya oleh Batalyon Darmosugondo di Desa Made pada 1 April 1949.

Mbah Man juga mengetahui keberadaan Darmosugondo yang disebut sebagai komandan K.DM Soerabaja (Komandan Distrik Militer) di Desa Made.

Achmad Zaki Yamani, Mbah Man, dan Moh Fathurrozi. foto:begandring

Mbah Man juga sering melihat Darmosugondo bersemedi di punden Made, yang terkenal dengan nama Punden Singojoyo.

“Lho, Punden itu sudah lama ada di situ dan menjadi jujugan Darmosugondo yang nama kecilnya, Kamin. Warga Made memberi nama Darmosugondo yang berarti semerbaknya kebaikan, “ ingat Mbah Man.

Ia lalu menjelaskan, nama Darmo berarti darma atau kebaikan. Sedangkan Gondo adalah bebauan. Ringkasnya, bebauan yang baik. Harapannya dengan nama Darmosugondo bisa berkiprah baik dan senantiasa semerbak di Nusantara sepanjang masa.

Menurut Mbah Man, Kamin atau Darmosugondo asli Arek Suroboyo. Lahir di Dukuh Banjar Melati, Desa Jeruk, Kecamatan Karangpilang. Sekarang secara administratif menjadi Kelurahan Jeruk, Kecamatan Lakarsantri, Surabaya.

Baca Juga  Jambore Pegiat Aksara Jawa, Sebuah Gagasan Berkemajuan Kebudayaan

Opo sing tak ceritakno iki kabeh ojok mbok elek satus persen. Kudu dicek ambek sumber-sumber liyane. Jenenge menungso, mbok menowo onok lupute. (Apa yang saya ceritakan jangan langsung ditelan seratus persen. Harus dicek lagi dengan sumber-sumber lain. Namanya manusia, barangkali ada salahnya),” tutur Mbah Man.

Ada lagi kejadian dramatis yang diceritakan Mbah Man. Saat tentara Belanda memburu Darmosugondo. “Kabeh sing lewat diperikso awake, sikile, digoleki gambar jagoe. Lek ketemon gambar jago berarti mata-mata. (Semua yang melintas diperiksa badannya, kakinya, dicari gambar jago. Kalau ketahun gambar jago dianggap mata-mata,red),” ujar Mbah Man.

Apakah di Made pernah terjadi bak tembak pasukan Mayor Darmosugondo dengan tentara Belanda?

Mbah Seniman menatap tajam, lalu matanya mulai berkaca-kaca. Dia bersandar di kursinya, matanya menerawang. Dia kemuudian berucap, “Waduh, Nak. Waktu iku, Pak Darmosugondo ngadakno pertemuan nang Alas Malang, dino Jumuah Legi. Karo bapakku dilarang soale pas Jumuah Legi. Tapi wes kadung nyebar udangane. Waktu iku, akeh sing teko, Nak. Aku melu waktu iku, pas Pak Darmosugondo pidato tentara Londo teko. Rakyat langsung teriak-teriak Merdeka…!!! Merdeka…!!!.”

(Ketika itu Pak Darmosugondo mengadakan pertemuan di Alas Malang, hari Jumat Legi. Bapak saya sebenarnya melarang karena harinya Jumat Legi.  Tapi undangan sudah terlanjur menyebar. Ketika itu, banyak yang datang, Nak. Aku ikut saat itu, pas Darmosugondo pidato tentara Belanda datang. Rakyat langsng berteriak, Merdeka..!! Merdeka…!!)

Tentara Londo nibakno senjatae. Terus melebu nang tengah-tengah rapat. Mungkin maksute kape nyekel Pak Darmosugondo. Wong-wong podo bubar. Londo goleki Pak Darmosugondo gak ketemu. Terus Londo mbalik, senjatae dijopok maneh. Wong-wong melayu kabeh soale Londo njupuki senjatae maneh. Pas wong-wong melayu iku onok sing ketembak Londo. Wong kene (Made) onok sing ketembak sikile.”

(Tentara Belanda menjatuhkan senjata. Kemudian masuk di tengah-tengah rapat. Mungkin mau menangkap Pak Darmosugondo. Orang-orang pada bubar. Tentara Belanda mencari Pak Darmosugondo tidak ketemu. Terus mereka kembali, senjatanya diambil lagi. Orang-orang pada berlarian karena tentara Belanda mengambil senjatanya lagi. Saat orang-orang berlarian ada yang ditembak tentara Belanda. Orang sini (Made) onok sing tertembak kakinya).”

Baca Juga  Nilai Pembauran Budaya Pada Arsitektur Bangunan di Surabaya

Rio Willly, pegiat sejarah Gresik yang sedang menulis buku riwayat perjuangan Darmosugondo, mengungkapkan, Darmosugondo adalah sosok yang punya jiwa nasionalisme tinggi, berdedikasi, dan memiliki andil penting dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia dari serangan Tentara Sekutu dan NICA. Terutama di Kabupaten Surabaya yang kala itu wilayah administrasinya termasuk Gresik.

Para pegiat sejarah berbincang dengan Mbah Man di kediamannya. foto:begandring“Darmosugondo dikenal sebagai sosok pahlawan yang bertanggung jawab dan memiliki rasa setia kawan yang tinggi terhadap pasukannya. Namun sayang, kiprahnya tidak banyak dikenal orang. Termasuk oleh warga Surabaya,” terang Rio.

Saat ini, nama Darmosugondo sudah diabadikan menjadi nama jalan di tiga daerah. Yakni di Kabupaten Gresik, Kota Prabumulih, Sumatera Selatan, dan Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah.

Di Kelurahan Made, nama Darmosugondo masih terlalu asing. Padahal, Made menjadi saksi bisu perjuangan Darmosugondo. Itu bisa dikenali dari punden Made. Di mana, Darmosugondo sering melakukan semedi dan menjadi tempat persembunyian dan perlindungan. (*)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *