Hujunggaluh memiliki makna nama jabatan dan tempat. Sedangkan nama Hujunggaluh yang tertulis pada Prasasti Kamalagyan adalah nama tempat.
Hal itu ditegaskan Dr. Abimardha Kurniawan (epigrafer Unair) dalam diskusi bertajuk “Mencari Letak Hujunggaluh” yang digelar dalam Peringatan 1 tahun Begandring.com di Lodji Besar, Jalan Makam Peneleh 46, Surabaya, Senin malam (6/3/2023).
Selain Abimardha, diskusi tersebut juga menghadirkan Dr. Amin Widodo (geolog ITS), dan Nanang Purwono (ketua Begandring Soerabaia) dengan moderator TP Wijoyo (pegiat sejarah klasik Surabaya).
Abimardha mengatakan, letak Hujunggaluh berada di sekitar antara lokasi berdirinya prasasti (Desa Kelagen, Kecamatan Krian, Kabupaten Sidoarjo) dan Desa Wringin Sapto (tempat yang tersebut pada prasasti sebagai lokasi di bangunan bendungan).
“Dengan kata lain bahwa letak Hujunggaluh berada di hulu sungai. Jika Hujunggaluh sebagaimana tertulis di Prasasti Kamalagyan dianggap berada di Surabaya, maka data ini perlu ditinjau kembali,” tegas Abimardha yang piawai membaca naskah naskah kuno dan prasasti tersebut.
Pendapat Abimardha ini dikuatkan temuan Nanang Purwono yang didapat berdasarkan kajian literatur dan analisa lapangan. Beberapa literatur yang menjadi referensi menyebut dan menuliskan nama Hujunggaluh.
“Tapi Hujunggaluh yang ditulis dalam buku-buku kuno, misalnya oleh N.J. Krom, Kern, Groenneveld, termasuk oleh sejarawan Didik Pradjoko dan Bambang Budi Utomo dalam Atlas Pelabuhan Pelabuhan Bersejarah di Indonesia (2013), tidak ada kaitannya dengan nama Hujunggaluh yang tersebut pada Prasasti Kamalagyan,” jelas Nanang.
Dalam paparannya, Nanang memunculkan hipotesa ada dua nama Hujunggaluh. Pertama, Hujunggaluh sebagai pelabuhan laut di pantai utara Jawa bagian Timur dan Kedua, Hujunggaluh sebagai nama pelabuhan sungai yang letaknya di pedalaman Jawa.
Menurut Nanang, kenapa Hujunggaluh dianggap berada di Surabaya dan menjadi cikal bakal Surabaya, adalah karena hasil penelitian para sejarawan, ilmuan, dan peneliti yang tergabung dalam tim peneliti Hari Jadi Kota Surabaya. Hal itu dilakukan dalam proses pencarian dan penentuan Hari Jadi Kota Surabaya selama kurun waktu dua tahun (1973-1975).
“Dari hasil kajian merekalah muncul hasil hipotesa bahwa Hujunggaluh berada di Surabaya. Pernyataan ini tertulis dan terdokumentasikan dalam sebuah buku berjudul Hari Jadi Kota Surabaya, 682 Tahun Soera-ing-Baia yang diterbitan Pemerintah Kotamadya Surabaya (1975),” jelas jurnalis senior itu.
Dalam buku ini dituliskan beberapa alasan, yang melatarbelakangi Hari Jadi Kota Surabaya yang lahir pada 31 Mei 1293. Pertama, ada nama jalan Galuhan yang dianggap sebagai nama yang berasal dari nama Hujunggaluh.
Kedua, nama kawasan Ujung (di Tanjung Perak) yang dianggap dari nama Hujunggaluh.
Ketiga, Surabaya sebagai Hujunggaluh dianggap sebagai pintu keluar Tartar dari pulau Jawa. Ada pun pintu keluar itu adalah Kali Jagir di kawasan Ngagel Wonokromo.
Ketiga alasan itu, sebut Nanang, terbantahkan oleh hasil temuan dan penelitian The Begandring Institute. Di mana hasil temuan pertama, nama Jalan Galuhan di kawasan Bubutan adalah nama jalan baru yang disematkan pada nama yang berbau kolonial.
“Pergantian nama itu terjadi pada Maret 1950,” ujar Nanang yang membeber sejumlah bukti.
Hasil temuan kedua, kawasan Ujung bukan kawasan kuno. Karena Ujung baru terbentuk setelah ada sudetan kanal Kalimas awal abad 19 dan dikembangkannya kawasan pelabuhan akhir abad 19 hingga abad 20.
“Jadi Ujung bukanlah dari Hujunggaluh,” tegas dia.
Hasil temuan ketiga adalah kali Jagir yang dianggap tempat keluarnya serdadu Tartar pada 1293. Ternyata di sana baru ada kanal pada kisaran tahun 1860-an. Pada peta 1706, sungai Jagir belum ada,” cetus Nanang.
“Dari hasil temuan dan kajian The Begandring Institute itulah maka tiga alasan, yang menjadi latar belakang sejarah hari jadi kota Surabaya, bisa dianggap gugur,” tegas Nanang.
Nanang menyimpulkan, ada dua nama Hujunggaluh yang masing-masing berada di tempat yang berbeda. Satu ada di wilayah pantai utara Jawa bagian Timur dan satu lagi ada di wilayah pedalaman.
Masih Misterius
Amin Widodo yang tidak bisa hadir pada malam itu mengirim karya videonya yang memaparkan letak pusat pusat pemerintahan klasik saat itu. Ternyata letak pusat pusat pemerintahan itu tidak jauh dari aliran aliran sungai.
Geolog ITS Surabaya itu memaparkan bahwa secara geologis letak garis pantai kawasan Sidoarjo di abad abad pada masa perpindahan pemerintahan klasik dari Jawa Tengah ke Jawa Timur yang kemudian dilanjutkan oleh pemerintahan Airlangga pada abad XI menjorok ke pedalaman hingga Krian.
Sayangnya, Amin melalui videonya tidak menjelaskan di mana letak Hujunggaluh.
Menurut Yayan Indrayana, peneliti The Begandring Institute, hipotesa mengenai garis pantai itu ditentukan berdasarkan dari hasil penelitian spesies yang hidup di kawasan pedalaman, baik fauna maupun flora. Ternyata ada spesies hewan dan tanaman pantai yang hidup di pedalaman.
“Maka diduga bahwa di tempat di mana ditemukan spesies pantai, di situlah garis pantai di masa kuno,” jelas Yayan yang juga seorang arsitek itu.
Letak Hujunggaluh sampai sekarang masih menjadi misteri. Diskusi ibu mencoba untuk mengidentifikasi letak Hujunggaluh yang selama ini menjadi perdebatan yang tidak berkesudahan.
Para sejarawan Belanda di masa pemerintahan Hindia Belanda sudah memiliki pandangan yang berbeda beda mengenai letak Hujunggaluh. Sejarawan N.J. Krom dan Kern dalam buku Geschiedenis Van Nederlansche Indie, Feel I (1938), menegaskan jika Hujunggaluh ada di Sidayu, Gresik.
Perdebatan dan silang pendapat mengenai Hujunggaluh dan letaknya itu masih terjadi hingga sekarang. Padahal, selama ini Hujunggaluh dianggap terkait dengan sejarah Surabaya masa lalu. (tim)