Curabhaya, Surapringga, Su Shui dan Sourabaya

Sungai Kalimas, yang mengalir melewati kota Surabaya, menjadi pijakan peradaban Surabaya. Lini masa sejarah Surabaya memang bertumpu pada Kalimas. Sekarang, Kalimas adalah bagian dari Surabaya. Sebaliknya dulu, Surabaya adalah bagian dari Kalimas.

Dalam perjalanan sejarah Surabaya, Surabaya sebagai identifikasi dan entitas tempat, teruntai pada Kalimas. Ada untaian Surabaya di sepanjang Kalimas. Berarti ada Surabaya Surabaya di alur Kalimas.

Apa saja itu?

Kita simak saja, berdasarkan prasasti Canggu 1358, Curabhaya diidentifikasi berada di Peneleh-Pengampon, yang menurut GH Von Faber, keberadaannya sudah ada pada 1270.

Pada era itu, Curabhaya sebagai sebuah desa kecil di tepian sungai (naditira pradeca) adalah tempat dimana bangsa lokal bermukim. Bahkan naditira pradeca Curabhaya berada di antara dua sungai besar: Kali Maas dan Kali Pegirian.

Ketika gelombang imigran dari dataran China datang ke pedalaman Jawa dan masuk melalui Kalimas pada akhir abad 13, mereka sempat berhenti di Surabaya sebelum melanjutkan ke pedalaman, Majapahit.

Pada paruh pertama abad 15, kedatangan Cheng Ho dalam lawatannya ke Majapahit, menurut catatan Ma Huan dalam buku Yeng Yai Sheng Lan (1433), mereka juga berhenti di Surabaya sebagaimana pernah disinggahi oleh pendatang pendahulu di abad 13.

Apakah Surabaya, yang mereka singgahi itu, adalah Surabaya sebagaimana Von Faber deskripsikan? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu menyimak kedatangan imigran Cina pada gelombang berikutnya.

Menurut catatan Tiongkok yang bermula dari periode akhir Dinasti Ming, ketika The Seng Kong (Zheng Chenggong) dan anaknya The Keng (Zheng Jing), yang merupakan loyalis Dinasti Ming, sedang berperang dengan bangsa Manchu. Akibat dari perang itu adalah kekacauan dan kehancuran cukup besar bagi kawasan Fujian Selatan.

Baca Juga  Keraton Lama Surabaya sebelum Ditaklukkan Mataram

Dari tahun 1646 – 1680 banyak warga asal Chiangchiu (Zhangzhou) mengungsi ke Pulau Jawa. Mereka datang ke pulau Jawa karena pulau ini sudah menjadi jujugan para pendahulunya.

Mereka, yang pada akhirnya sampai di pesisir Jawa Timur, membawa serta rupang dewa pelindung yaitu 泗洲佛 (Su-ciu-hut / Sizhoufu) dan Kwan Im (dengan rupa pria).

Kemudian mereka membangun kuil sebagai bentuk rasa syukur dan penghormatan, karena dalam perjalanannya, mereka dilindungi dari serangan hewan buas di laut (ikan hiu) dan di muara (buaya).

Kuil itu dijuluki 海神男相观音泗洲佛, yang terjemahannya kira-kira: Kuil Dewa Laut Su-ciu-hut dan Kwan Im, dan disingkat jadi 泗水庙 (Su-sui-bio atau Kuil Su-sui), yang berarti Kuil Surabaya.

Merujuk pada nama tempat ibadah dimana kuil itu dibangun, diketahui bahwa tempat itu adalah Su-Sui (Mandarin: Si-shui), yang mana menjadi nama Tionghoa untuk Surabaya kini.

Menyusul pada tahun 1700-an ada gelombang imigran lagi dari daratan Cina yang masuk pulau Jawa yang sebagian masuk dan hidup di Surabaya.

Mereka menempati tempat sebagaimana kedatangan pendahulunya bermukim. Yakni di tempat yang bernama Su Sui (empat air), Surabaya. Su Sui atau Surabaya yang sekarang dikenal dengan Pecinan.

Di kota Surabaya sekarang, khususnya tempat ibadah tua yang tidak jauh dari sungai Kalimas karena menjadi sarana transportasi mobilisasi imigrasi adalah Klenteng Hok An Kiong di kawasan Pecinan Surabaya.

Jadi kawasan Pecinan adalah sebuah tempat yang bernama Su-Sui atau Surabaya bagi para imigran Cina.

Mengapa Kuil ini merujuk ke klenteng Hok An Kiong? Karena Hok An Kiong adalah klenteng dimana patung Dewa Laut itu berada dan dihormati.

 

Curabhaya, Surapringga, Su Shui dan Sourabaya

 

Hok An Kiong

Klenteng Hok An Kiong atau yang juga terkenal dengan sebutan Klenteng Suka Loka merupakah tempat ibadah umat Tridharma (Budha Gautama, Khonghucu dan Thaisme).

Baca Juga  Dari Gerakan Pemuda ke Pintu Gerbang Kemerdekaan

Klenteng ini dibangun mulanya tidak sekedar untuk tempat ibadah, tetapi sekaligus sebagai sebuah asrama untuk menampung para awak kapal untuk beristirahat sambil menunggu waktu berlayar kembali ke Tiongkok.

Bangunan klenteng, yang didominasi warna merah dan kuning ini, memiliki keunikan tersendiri. Salah satunya adalah konstruksi bangunannya yang dibangun tanpa menggunakan paku-paku logam.

Keunikan lainnya adalah bahwa di klenteng ini terdapat arca suci (kimsin) atau Dewi Laut, Makco Thian Siang Sing Boo, yang tidak dapat dijumpai di klenteng lain di Surabaya.

 

Curabhaya, Surapringga, Su Shui dan Sourabaya

 

Kota Eropa

Waktu terus berjalan. Dinamika terus terjadi. Berikutnya giliran bangsa Eropa hadir di Surabaya.

Mereka tidak bertempat dan bermukim Curabhaya atau Surapringga sebagai kota pribumi. Yaitu Peneleh – Pengampon. Mereka juga tidak bermukim di Su Shui, Surabaya kota Pecinan. Tapi orang orang Eropa ini membuka lahan sendiri yang terpisah dari warga pribumi dan warga Pecinan.

Surabaya sebagai Kampung Eropa berada di luar dari batas sungai Kalimas dan Pegirian. Mereka membuka lahan baru di barat Kalimas. Di sanalah mereka membuat perkampungan baru yang bernama Stad van Sourabaya.

Kotanya sangat eksklusif. Kotanya diberi batas tembok yang lengkap dengan pos pos jaganya. Tidak hanya tembok, mereka juga memanfaatkan sungai Kalimas untuk membatasi Kampung Eropa dari Kampung Pecinan (Su Shui) dan Kampung Pribumi (Curabhaya, juga Surapringga). Kampung Eropa ini bernama Sourabaya.

Tiga lokasi permukiman dengan nama dan lokasi berbeda tumbuh dan berkembang mengikuti zaman dan segala perubahannya baik secara alami maupun kultur.

Mula Surabaya adalah Curabhaya yang juga pernah disebut Surapringga. Berikutnya seiring dengan datangnya imigran Cina, mereka menempati kawasan di tepian sungai yang lebih ke utara, yaitu di tempat yang dikenal sebagai Kampung Pecinan.

Baca Juga  Relasi Prasasti Canggu dengan Rekam Jejak Surabaya Masa Klasik

Selanjutnya pendatang baru lainnya adalah bangsa Eropa, yang membuka lahan baru di luar batas sungai. Mereka bermukim di barat Kalimas di sebuah kampung yang bernama Sourabaya.

Sekarang semua titik titik peradaban awal dan lama di tepian Kalimas ini menjadi kota Surabaya. Sekarang, Kalimas dan peradaban lamanya menjadi bagian dari Kota Surabaya. Dulu, Surabaya sebagai desa kecil adalah bagian dari Kalimas. (nanang puwono)

 

 

 

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *