Kebun Binatang Surabaya (KBS) alias Bonbin punya catatan sejarah panjang. Salah satu ikon Kota Surabaya itu bukan hanya sebagai lembaga konservasi exs-situ (tempat penangkaran satwa di luar habitatnya), tapi juga sarana edukasi. Untuk itu, KBS harus dirawat agar tidak rusak dan punah.
Demikian benang merah diskusi publik yang digelar Perkumpulan Begandring Soerabaia di Lodji Besar, Jalan Makam Peneleh 46, Surabaya, Kamis (24/3/2022) malam.
Diskusi bertajuk “Kebon Binatang Surabaya Dulu dan Mendatang” itu, bukan cuma membahas nilai-nilai cagar budaya, tapi juga terkait pengelolaan Bonbin yang lebih layak. Berikut menyangkut penyelamatan satwa dan seisinya.
Dhahana Adi, penulis buku Bonbin Dalam Kisah dan Tjerita, menjelaskan soal riwayat Dierentuin. Dia mengatakan, keberadaan Bonbin memang fenomenal. Dulu, Bonbin jadi tempat pariwisata yang paling komplet. Bukan hanya satwa, ada juga pertunjukan sinemanya.
Bahkan, kata dia, banyak artis kondang era 50-60an yang menjadikan Bonbin sebagai tempat bulan madu. “Cerita ini saya dapatkan dari Pak Misbach Yusa Biran (sutradara film),” katanya.
Tri Prio Wijoyo, ketua Bidang Penelusuran Begandring Soerabaia, memamparkan peta buatan VOC tahun 1719. Peta itu terkait pertempuran Arya Jayapuspita, di mana Surabaya digempur habis-habisan oleh pasukan Mataran dan VOC.
“Di sana tergambar sebuah sungai yang ada pulau yang sekarang dipakai nama kampung, yakni Pulo Wonokromo,” katanya.
Dari jejak sejarah itu, Priyo menduga adanya situs arkeologi di dalam area Bonbin. Bentuknya berupa gundukan tanah, menyerupai bukit kecil dan lebat dengan pepohonan. Pada bagian depan terdapat sepasang Arca Dwarapala.
“Dari dua arca ini, salah satunya yang berada di sebelah kanan terlihat asli, terbuat dari batu andesit dengan wajah bergaya Majapahitan dan lapik dengan hiasan tengkorak berjajar melingkar yang menjadi ciri Bhairawa,” terang Priyo.
Achmad Zaki Yamani, ketua Bidang Pendidikan Begandring Soerabaia, menceritakan Bonbin dalam kaitannya dengan sejarah Pertempuran Surabaya. Menurut dia, rerimbuan pohon di area Direnten pernah menjadi titik pertahanan tentara Sekutu yang kala itu tengah menghadapi tentara Jepang maupun pejuang Surabaya.
“Pernah pada suatu ketika muncul gagasan dari pejuang Surabaya yang selanjutnya disampaikan kepada kolonel Soengkono dan didengar oleh Roeslan Abdoel Gani. Pesannya berupa imbauan untuk melepas binatang binatang buas. Tujuannya agar binatang-binatang itu memangsa tentara Sekutu yang ngepos di area Direnten,” jabar dia.
Namun, timpal Zaki, Cak Roeslan yang mendengar laporan itu langsung nyeletuk, “Iya kalau Inggris, kalau orang kita bagaimana?“
Kisah ini menunjukkan bahwa area Bonbin menjadi bagian dari cerita Pertempuran Surabaya di wilayah Wonokromo.
Tak hanya itu saja. Satu objek yang bisa diduga sebagai bangunan cagar budaya karena menjadi saksi bisu pertempuran itu adalah Menara Intai yang digunakan pasukan Sekutu mengawasi musuh, baik pada masa perang Surabaya maupun pada masa agresi militer.
Isu Tak Sedap
Diskusi juga mencuatkan isu tak sedap di lingkungan Bonbin. Itu berdasar kesaksian orang-orang yang pernah menjabat di Bonbin. Yakni, Prof I Komang Wiarsa (mantan Direktur Utama KBS dan guru besar Kedokteran Hewan Unair), Singky Suwaji (mantan Kepala Staf Presiden South Eas Asian Zoos and Aquaria Association atau Asosisasi Kebun Binatang se-Asia Tenggara) dan drh Iwan Priswanto yang pernah menjalani tugas Ko Asistensi mempraktikkan keilmuan pascakelulusan dari Unair.
Meski mereka sudah tidak menjabat, tapi mereka masih memberi perhatian besar terhadap Bonbin. Mereka ingin pamor KBS tidak meredup dan tetap menjadi ikon Kota Pahlawan yang membanggakan.
Sebagaimana terpampang pada bingkai majalah dinding Perpustakaan Bonbin, di sana diinformasikan bahwa fungsi utama KBS adalah sebagai pusat konservasi, utamanya adalah satwa.
Sesuai prasasti cagar budaya yang terpasang di tengah area Bonbin tertulis: “Cagar Budaya Lansekap”. Pun jika mengacu pada awal berdirinya Direnten ini, maka selain satwa, fauna juga menjadi perhatian. Karenanya, tempat ini bernama Soerabaiache Platen en Dierentuin yang artinya Taman Flora dan Fauna Surabaya.
Hal praktis dan ironis yang menjadi kritik kasat mata adalah adanya bunga dan tanaman palsu (artificial) untuk setting fotografi. Penambahan sarana ini tentu kontradiktif dengan fungsi konservasi dan nilai cagar budaya yang ada.
“Masak, pusat konservasi diberi sarana fotografi dengan menggunakan bunga dan tanaman palsu. Ini tidak mendidik,” kritik Komang Wiarsa.
Singky Suwaji mengungkapkan, ada pimpinan yang tepat untuk mengelola aset kota yang menjadi kebanggaan masyarakat.
“Jangan sampai ke depannya, Bonbin semakin terpuruk. Bahkan hilang. Maklum, kawasan Bonbin di Wonokromo ini tempat yang bernilai ekonomis tinggi,” terang Singky.
Ia menyebut, Bonbin pernah akan dipindahkan ke pinggiran kota (kawasan Surabaya Barat). Arealnya lebih luas. Untungnya, rencana salah kaprah itu tidak terealisasi.
Karenanya, kata Singky, dibutuhkan pimpinan yang memahami konservasi. Satwa butuh lingkungan, setidaknya sesuai habitatnya agar tujuan konservasi binatang bisa tercapai. Binatang bisa berkembang biak dan Bonbin bisa berkontribusi kepada kebun binatang lainnya.
Soal itu juga diamini Komang. “Binatang butuh pasangan. Jangan dibiarkan jomblo. Pimpinan harus tau kebutuhan biologis binatang. Maka, mereka yang paham konservasi akan bisa memperlakukan binatang sebagaimana mestinya,” tegasnya.
Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya A. Hermas Thony mengapresiasi diselenggarakannya diskusi publik ini. “Meski temanya berkembang dan meluas, tetapi justru memberikan potret dinamis yang perlu disikapi demi penyelamatan Bonbin. Baik fisik maupun nilai-nilai yang terkandung di sana,” katanya.
Thony juga siap menerima rangkuman diskusi dan bahkan rekomendasi dalam upaya menjaga dan melestarikan Bonbin. “Kita akan tidak lanjuti bila ada fakta dan data yang akurat,” tandas politisi Partai Gerindra ini. (*)