Begandring.com: Surabaya (21/10/23) – Sudah saatnya pamer aksara sendiri, setelah mati suri. Kini pamernya ke seorang penulis asal ꧌ꦧꦼꦭꦟ꧀ꦝ꧍ Belanda, Koen, yang moyangnya ngusung aksara latin dari Belanda ke Nusantara. Ketika aksara Latin berkembang di Nusantara, bukan salah mereka. Lantas salah siapa? Tidak usah mencari siapa yang salah.
Seorang penulis ꧌ꦧꦼꦭꦟ꧀ꦝ꧍ Belanda, Koen, yang bersama saya ini, kagum melihat aksara Jawa yang tertulis pada kaus yang saya kenakan. Selama ini, Koen terbiasa dan sudah biasa dengan aksara Latin. Maklum di ꧌ꦧꦼꦭꦟ꧀ꦝ꧍ Belanda, aksara yang digunakan adalah aksara latin seperti A, B, C D sampai Z.
Dalam bahasa sehari hari yang Koen gunakan adalah ꧌ꦧꦼꦭꦟ꧀ꦝ꧍ Belanda dan ꧌ꦆꦔ꧀ꦒꦿꦶꦱ꧀꧍Inggris, dimana kedua bahasa ini menggunakan aksara Latin. Ketika Ia melihat tulisan pada kaus yang beraksara Jawa, ia bertanya itu tulisan apa. Di saat itulah dengan bangga, saya memperkenalkan.
“Beautiful !”, kata Koen singkat, padat dan jelas. Koen merasa ikut senang karena ia sendiri adalah warga ꧌ꦧꦼꦭꦟ꧀ꦝ꧍ Belanda yang leluhurnya asal ꧌ꦩꦢꦸꦫ꧍ Madura.
“Leluhur saya berdarah ꧌ꦩꦢꦸꦫ꧍ Madura dan waktu itu sebagai KNIL dan pernah tinggal di kamp militer di Surabaya”, tambah Koen.
Koen dalam keseharian di ꧌ꦧꦼꦭꦟ꧀ꦝ꧍ Belanda adalah seorang penulis. Dia sedang melacak jejak leluhurnya yang pernah hidup di Surabaya. Kala itu di pertengahan abad 19, leluhurnya yang tergabung dalam kesatuan tentara KNIL pernah tinggal di konsentrasi Surabaya.
“Mostly I am looking for the accommodations for soldiers in Soerabaja around 1860”, jelas Koen.
Di Surabaya pada tahun 1860-an, tempat tinggal militer masih terkonsentrasi di kawasan Kota Tua Surabaya. Yaitu di Mapolresta Surabaya yang dulu adalah Barak Militer, di baratnya di kawasan ꧌ꦏꦽꦩ꧀ꦧꦔꦤ꧀ꦧꦫꦠ꧀꧍ Krembangan Barat terdapat Kantin Militer dan perumahan perwira militer yang sekarang, setelah nasionalisasi, menjadi aset Kodam V Brawijaya.
Ke sanalah Koen saya antarkan, menyusuri tempat tempat yang menjadi jejek militer ꧌ꦧꦼꦭꦟ꧀ꦝ꧍ Belanda. Salah satunya ke residensial komplek yang masih menyimpan tempat perlindungan. Tempat Ini pernah dipakai sebagai kantor cacat ꧌ꦮ꦳ꦺꦠꦼꦫꦤ꧀꧍ veteran kota Surabaya.
Dengan diantarkan oleh penghuni komplek, ꧌ꦄꦒꦸꦱ꧀ꦥꦸꦂꦮꦤ꧀ꦠ꧍ Agus Purwanto, kami bisa melihat perlindungan itu. Koen sempat masuk ke dalam bangker itu. Di sela sela menjelajah kawasan militer KNIL, Koen masih sempat bertanya tentang tradisi lokal Surabaya dan ꧌ꦩꦢꦸꦫ꧍ Madura. Salah satunya tentang aksara Jawa. Diskusipun gayeng sambil minum es campur di kedai SWK Kasuari.
Imaginasi Koen tentang masa lalu, ketika leluhurnya di Surabaya pada 1860-an, kian terbentuk khususnya di saat Koen melihat aksara Jawa yang tertulis pada kaus yang saya kenakan.
“That Javanese Characters help me connect to my ancectral”, kata Koen sambil menunjuk ke kaus yang dikenakan penulis.
Setelah mengamati kondisi terkini peninggalan aset militer Belanda di kawasan kota Tua, dengan menaiki Gojek, Koen menuju ꧌ꦩꦏꦩ꧀ꦌꦫꦺꦴꦥꦥꦼꦤꦺꦭꦺꦃ꧍ Makam Eropa Peneleh. Di sana Koen dan penulis bertemu sahabat komunitas lainnya. Koen ingin melacak apakah leluhurnya dimakamkan di Peneleh.
Atas pelacakan leluhurnya dan dengan dibantu oleh ꧌ꦣꦺ꧈ꦌꦂ꧉ꦣꦺꦤ꧀ꦤꦶꦱ꧀ꦏꦸꦂꦤꦶꦪꦮꦤ꧀꧍ dr. Dennis Kurniawan, pegiat makam Eropa, akhirnya diketahui bahwa leluhurnya dimakamkan di Pemakaman Sukun Malang. Ia pun merencanakan pergi ke Malang.
Dari Pemakaman Eropa Peneleh, Penulis mengajak Koen mampir ke Lodji Besar. Di Lodji Besar, Koen masih melihat plakard yang bertuliskan “Sugeng Rawuh” dan “Sing Ndemok Mati” dalam aksara Jawa.
Mengingat leluhurnya itu ada darah pribumi dimana aksara jawa menjadi media komunikasi kala itu, Koen merasa ada koneksi antara masa lalu dan obyek obyek yang ia lihat di ꧌ꦯꦸꦫꦨꦪ꧍ Surabaya. (nng)