Penelitian awal rangkaian Ekspedisi Bengawan Solo 2022 menyebutkan, dari Desa Bedanten, Kecamatan Bungah, Gresik kemudian bergerak ke arah barat mengikuti alur Naditira Pradace Bengawan Solo. Ini berdasarkan Prasasti Canggu (1358 M).
Di wilayah Kabupaten Gresik, desa-desa tepian Bengawan yang disinggahi Raja Hawam Wuruk, berturut-turut adalah i Madanten (Bedanten), i Wringin Wok (Wringin Wok), i Brajapura (Mojopuro), i Sambo (Sambo gunung atau Sambopinggir), i Jerebeng (Jrebeng), i Luwayu (Luwayu) dan i Pabulangan (Bulangan).
Sesuai agenda pengarungan Bengawan yang dimulai dari Wonogiri hingga Gresik, berarti pergerakan akan mengikuti alur air yang mengalir dari hulu (barat) ke hilir (timur). Ketika memasuki wilayah administrasi Gresik, titik-titik pemberhentian (pit stop) bertempat di Naditira Lowayu yang secara fisik akan berhenti di Dusun Kaliagung, Desa Tiremenggal, Kecamatan Dukun.
Pit stop berikutnya di Bendung Gerak Sembayat, Sidomukti. Ini karena para tim pengarung (paddler) harus naik ke tepi karena adanya bendungan.
Pit stop terakhir, Naditira Bedanten, desa paling hilir dari catatan Hayam Wuruk. Di Bedanten inilah seremonial acara penutupan Ekspedisi Bengawan Solo 2022 akan digelar.
Lowayu disebut sebagai Naditira Pradeca (desa tepian Bengawan yang menyediakan jasa tambangan) di masa Kerajaan Majapahit. Logikanya karena Lowayu dianggap berada di tepi Bengawan. Meski sebenarnya Lowayu masih dihubungkan oleh sungai untuk terhubung dengan Bengawan Solo.
Wilayah administrasi Desa Lowayu (permukiman), Kecamatan Dukun, masih berjarak 2 kilometer dari bibir Bengawan Solo. Sementara di antara Bengawan Solo dan Desa Lowayu terdapat Dusun Kaliagung yang secara administratif masuk wilayah pemerintahan Desa Tiremenggal, Kecamatan Dukun.
Namun, sedikit di utara Dusun Kaliagung, terdapat Waduk Lowayu dan tercatat sebagai aset dan wilayah desa. Jarak antara bibir Waduk Lowayu terdekat dengan bibir Bengawan Solo hanya sekitar 900 meter. Waduk Lowayu dan Bengawan Solo terhubung dengan kanal tua yang dibuat berdasarkan sungai alami yang bernama Kali Gedhe. Kali Gedhe menjadi akses pembuangan air dari Waduk Lowayu ke Bengawan Solo.
Dalam catatan kartografi Belanda tahun 1866, struktur dan kontruksi Waduk Lowayu sudah tergambar. Dari pengamatan tim peneliti Ekspedisi Bengawan Solo 2022, Rabu (18/5.2022), Kali Gede yang panjangnya 900 meter, cukup dalam jika diukur berdasarkan permukaan air di saat surut dengan permukaan bantaran kali. Kedalaman sungai ini menjadi dugaan bahwa Kali Gedhe adalah sungai kuno.
Sungai ini adalah salah satu dari sungai sungai yang mengalir dan mengintari Dusun Kaliagung. Selain Kali Gedhe, sungai-sungai lainnya adalah Kali Kebon, Kali Ganggang. Kali Malang dan Kali Makam
Karena keberadaan beberapa sungai di wilayah Dusun ini, maka dusun ini disebut Kaliagung. Dusun yang banyak sungainya dan sungai sungai yang kaya air “agung”. Sungai-sungainya selalu penuh dengan air dan oleh karena itu dusunnya disebut Kaliagung.
Apa Kaitan Lowayu dan Kaliagung?
Nama Kaliagung sudah ada dalam catatan kolonial, seperti tersebut pada peta yang berangka tahun 1866. Ketika peta kolonial ini dibuat, tentu penulisan penamaan dusun dibuat berdasarkan temuan informasi di lapangan. Artinya, nama Kaliagung tentu sudah ada sebelum peta 1866 itu dibuat.
Sejak kapan nama Kaliagung ada? Belum ada catatan mengenai hal itu. Tetapi jika ditanya, sejak kapan nama Lowayu itu ada, jawabannya sejak tahun 1358 M. Nama itu tercatat secara otentik pada Prasasti Canggu tahun 1358.
Secara fisik dan geografis, Naditira Pradeca Lowayu tidak langsung bersinggungan dengan Bengawan Solo. Yang bersinggungan langsung adalah Dusun Kaliagung. Wilayah Kaliagung dan Lowayu. Jaraknya hanya satu kilometer.
Jika memperhatikan tingkat kepadatan penduduk di kedua wilayah berdasarkan dari citra satelit, Desa Lowayu jauh lebih padat dengan areal permukiman jauh lebih luas ketimbang Dusun Kaliagung. Ini menunjukkan bahwa di Lowayu memiliki peradaban yang jauh lebih tua.
Peradaban tua di Desa Lowayu ini dapat dibuktikan dengan ditemukannya kekunoan dan keberadaan situs arkeologi. Sementara di Kaliagung belum diketemukan kekunoannya. Namun dapat diketemukan adanya banyaknya sungai yang mengalir di Dusun Kaliagung.
Banyaknya sungai di Kaliagung dan sedikitnya penduduk menjadi petunjuk sedikitnya peradaban di tempat itu, maka dapat diduga bahwa Kaliagung di era Majapahit merupakan sebuah kawasan muara yang menghubungkan Lowayu dengan Bengawan Solo.
Kala itu, Lowayu (pusat peradaban dan permukiman) yang berjarak sekitar 2 kilometer dari Bengawan, terhubungkan dengan sungai-sungai yang bermuara di Bengawan Solo.
Jasa Tambangan
Tercatat sebagai Naditira Pradeca karena di desa ini memiliki jasa tambangan. Bahkan hingga sekarang jasa tambangan itu masih ada. Tepatnya di Dusun Tirem, bersebelahan dengan Kaliagung. Dusun Tirem dan Dusun Kaliagung berada dalam satu wilayah administrasi Desa Tiremenggal.
Tempat tambangan ini (Tirem) hanya 100 meter dari Kali Gedhe (Kaliagung) yang bermuara di Bengawan Solo. Karena kala itu, di era Majapahit, Kaliagung yang dialiri sungai-sungai yang salah satu sungainya relatif besar dengan nama Kali Gedhe yang secara alami menghubungkan Lowayu dan Bengawan Solo. Maka, dapat diduga, Kaliagung (di era Majapahit) adalah bagian dari Lowayu.
Sementara tambangan yang ada, hingga saat ini, menghubungkan Dusun Tirem-Kaliagung dengan desa di seberang Bengawan yang secara administratif masuk wilayah Kabupaten Lamongan. Desa di seberang Bengawan ini bernama Desa Candi.
Menurut seorang warga yang menggunakan jasa tambangan, bahwa di desa Candi pernah diketemukan struktur batu bata kuno yang ukurannya besar besar. Struktur batu bata kuno berdimensi besar besar ini dapat diduga berasal dari struktur bangunan peribadatan. Apalagi daerahnya bernama Candi.
Karena tambangan kala itu berjasa memberi layanan perhubungan demi kepentingan keagamaan, maka tempat di mana dermaga tambangan berada berikut pelayan tambangannya menjadi perhatian raja dan ditetapkanlah daerah itu dengan peradaban yang ada, Lowayu, sebagai Naditira Pradeca. (*)